ARTIKEL
HUKUM
Pemerintah, tidak harus hanya menjadi sekadar regulator, namun juga harus
menjadi eksekutor sekaligus ikut terjun berkecimpung dalam kegiatan pasar. Itulah
potret negara hukum dan negara berkesejahteraan (welfare state) yang ideal. Indonesia, pada saat kini, selalu dan
hanya mengandalkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk membentuk “harga
pasar” yang diyakini sebagai jalan keluar atau solusi yang sebetulnya tidak
solutif untuk jangka panjang, karena rekayasa pementukan harga demikian
cenderung dapat dengan mudah “diakali” oleh kekuatan pemodal besar.
Betul bahwa liberalisme dapat menciptakan persaingan usaha tidak sehat
bila tiada intervensi pemerintah, karena mekanisme pasar sejatinya tidak
mengalir secara natural, namun banyak diwarnai persekongkolan antar pelaku usaha
yang melakukan praktik kartel harga dan manipulasi distribusi, penguasaan pasar
secara monopolistik, dan kesepakatan-kesepakatan lain yang motifnya ialah untuk
memeras kalangan konsumen di dalam negeri. Namun mengapa intervensi pasar
selalu dimaknai sebagai “pengaturan harga”? Mengapa intervensi pihak pemerintah
tidak mulai dimaknai sebagai “ikut terjun sebagai pemain” dalam pasar
bersangkutan?
Telah terbukti sejak lama, bahwa “tangan-tangan ajaib” (the invisible hand) sebagaimana
diasumsikan Adam Smith, di Bapak Pasar Bebas Liberalisme Kapitalisme, telah
melahirkan berbagai depresi ekonomi makro di berbagai negara, sehingga menimbulkan
antinominya lewat ideologi Marxisme yang mencoba mendobrak ideologi pesar
bebas, namun justru berujung pada pengekangan ekonomi akibat regulator
terlampau over-regulated yang disaat
bersamaan tidak menawarkan solusi apapun sehingga menciptakan suatu keadaan “keluar
dari satu depresi menuju bentuk depresi lainnya”. Praktis, tiada lagi negara di
dunia yang secara murni menerapkan ideologi liberalisme ataupun sebaliknya komunisme.
Setiap negara cenderung bergeser pada tipe negara sosialisme.
Seperti yang telah penulis utarakan di muka, bahwa Negara Kesejahteraan
yang ideal tidak memposisikan pemerintah selaku regulator semata, namun juga
sekaligus sebagai “pemain” yang berfungsi sebagai penyeimbang pasar. Ketika pemerintah
terlampau banyak ikut-campur dari segi “melarang”, “memperintahkan”, dan “membolehkan”,
itulah yang mengakibatkan suatu sistem negara terperosok dalam belenggu
dilematis bernama “over-regulated”
yang pada akhirnya dapat menyadera dan mencekik kesejahteraan warga masyarakatnya
yang semestinya dilindungi dan diayomi—bahkan sering diberitakan juga telah
menyandera pihak pemerintah itu sendiri sehingga sukar mengambil “manuver”
kebijakan ke pasar. “Over-regulated”,
ibarat tumor yang tidak boleh dibiarkan tanpa pembenahan secara menyeluruh.
Sejatinya menjadi “monumen” bukti kegagalan pihak Badan Usaha Milik
Negara atau Milik Daerah (BUMN/D) pemerintah itu sendiri, yang mengakibatkan
harga berbagai komoditas pangan dan sektor jasa di Tanah Air menjadi permainan
para pelaku usaha swasta. Bila saja BUMN/D milik pemerintah bersedia dan mau
memasuki segmen pasar yang bersangkutan, maka dipastikan para pemodal swasta tidak
dapat
“bermain seorang diri” dan menguasai pasar oleh tangan-tangan pihak swasta yang berorientasi profit sekalipun dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Tidak ada pengusaha swasta manapun yang berorientasi sosial, bisnis adalah bisnis.
“bermain seorang diri” dan menguasai pasar oleh tangan-tangan pihak swasta yang berorientasi profit sekalipun dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Tidak ada pengusaha swasta manapun yang berorientasi sosial, bisnis adalah bisnis.
Kita tahu, bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Daerah
(APBN/D) banyak terkuras untuk belanja pegawai, dimana jumlah Pegawai Negeri
Sipil / Aparatur Sipil Negara (PNS / ASN) kita mendapat berbagai gaji,
tunjangan, serta insentif yang jauh melampaui rata-rata upah pegawai swasta,
sehingga menjadi pertanyaan besar: mengapa kinerja BUMN/D kita bisa kalah
bersaing dengan pengusaha swasta?
BUMN/D selalu difavoritkan dan dianak-emaskan oleh pemerintah selaku
regulator dan pemilik saham mayoritas BUMN/D, sehingga menjadi ironis bila
BUMN/D berjalan “terseok-seok” atau bahkan “megap-megap” hampir gulung-tikar
akibat kalah bersaing terhadap palaku usaha swasta dalam menggarap “pasar”. Bila
memang faktor demand dalam pasar bersangkutan
masih cukup tinggi, “matinya” BUMN/D ibarat tikus mati di lumbung padi.
Adalah suatu stategi pragmatis memilih opsi langkah mengatur pihak swasta
harus “begini” dan “begitu”, hingga mengatur harga demi alasan kesejahteraan
rakyat, yang sejatinya memang mengekang dunia usaha dan berpotensi membonsai
kreativitas dan inovasi kalangan pelaku usaha swasta, tanpa dapat kita pungkiri.
Sebagai contoh, inventor swasta berhasil membentuk bibit padi varietas
baru, dimana beras yang dipanen memiliki tekstur dan aroma seperti buah pisang,
namun karena pemerintah telah mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET), maka tiada
inventor swasta yang berniat untuk berinvestasi di sektor-sektor yang telah “dikekang”
pihak regulator. Untuk apa menjual beras “rasa pisang” bila harganya dietapkan
sama dengan beras “rasa beras”?
Jika memang pemerintah menemukan adanya indikasi kompetisi tidak sehat di
pasar, atau bahkan terbukti terjadi monopoli atau kartel, pemerintah sejatinya dapat
membentuk BUMN/D yang benar-benar berorientasi memenuhi kebutuhan masyarakat. Sikap
“potong kompas” menyikapi tingginya “demand”
demikian dengan mengekang pihak swasta, dinilai bentuk kerdilnya kreativitas
pihak pemerintah yang mengambil sikak / kebijakan “tidak ramah terhadap pelaku
usaha”, semata karena “impotensi” pihak pemerintah untuk bermain dalam ceruk
pasar bersangkutan—yang ironisnya, diatur oleh pihak pemerintah namun
pemerintah sendiri “takut” untuk bermain di dalam sektor pasar yang diaturnya. Hal
tersebut ibarat merongrong “dapur” milik pihak lain.
Bila pihak pemerintah itu sendiri tidak “sudi” untuk bermain di pasar
bersangkutan, maka mengapa pemerintah justru ikut-campur terlampau jauh dalam
hal penetapan harga, distribusi, dsb? Sikap intervensi yang mencolok dan
terkesan “vulgar” demikian, sejatinya mencerminkan kegagalan dan kerdilnya pihak
pemerintah, bukan justru menyalahgkan pihak swasta.
Untuk mengatur harga, sejatinya semudah pihak pemerintah lewat BUMN/D-nya
ikut bermain dalam pasar bersangkutan, sehingga kompetisi betul-betul menjadi
sehat dan terbentuklah “harga pasar” yang ideal. Itulah yang penulis sebut
dengan intervensi “berdikari”, tidak bersikap “potong kompas” dengan berbagai
kebijakan pengaturan harga yang tidak kreatif—yang mengakibatkan berbagai pelaku
usaha bermain “kucing-kucingan” dengan regulator.
Terbukti, berbagai penindakan hukum oleh KPPU tidak pernah bertahan lama.
Para pelaku kartel harga yang dihukum oleh KPPU, cepat atau lambat akan kembali
melakukan praktik monopoli usaha dan persaingan tidak sehat serupa di kemudian
hari, dengan modus yang lebih canggih tentunya, belum lagi pelaku usaha swasta “nakal”
yang gagal dilacak dan tidak mampu di-“endus” modus aksinya oleh KPPU.
Namun teori hanya menjadi sekadar teori, bila implementasinya justru
pihak BUMN/D itu sendiri yang bermental monopolistik dan berkiblat pada prinsip
kartelisasi yang tidak ubahnya mental pelaku usaha swasta. Seperti kita jumpai
dalam kasus tarif kartel berbagai operator seluler dalam layanan Short Message
Service beberapa tahun lampau, BUMN operator seluler milik pemerintah justru
ikut terlibat dalam kartel harga bersama dengan para operator swasta, yang
bahkan juga turut dihukum oleh KPPU bersama pihak swasta. BUMN/D yang dihukum
oleh KPPU, merupakan cerminan kegagalan total pemerintah dalam mensejahterakan
rakyatnya sendiri.
Lalu untuk meningkatkan kesempatan kerja, atau untuk menurunkan angka tingkat
pengangguran, mengapa pemerintah kita tidak membentuk BUMN seperti perusahaan
yang mewadahi pengiriman lamaran kerja secara online dan perusahaan yang hendak memasang iklan lowongan kerja. Peluang
usaha begitu besar, bisa bantu warga dalam mencari lowongan kerja, membuka lapangan
kerja baru, dan bisa dapat keuntungan untuk negara dari pemasang iklan lowongan,
mengapa hingga kini pihak pemerintah tidak kunjung masuk ke pasar “vital”
demikian, padahal kita tahu banyak generasi muda kita yang dapat direkrut untuk
menjadi motor sekaligus pembangun insfrastruktur digital yang tidak kalah
canggih dan tidak kalah inovatif dengan pelaku usaha swasta penanam modal asing.
Apapun kebijakannya, selama hal tersebut diterapkan secara “separuh hati”,
maka tidak akan ada hasil konkret yang dapat diharapkan demi kesejahteraan
rakyat. Janganlah sampai pemerintah menggelontorkan dana membangun berbagai
BUMN/D hanya untuk menghabiskan anggaran negara tanpa hasil kinerja yang jelas,
yang pada akhirnya menjadi ladang baru untuk digerogoti para “tikus-tikus hitam
berdasi” (koruptor).
Yang pada saat ini terbentuk “harga pasar” secara ideal, barulah peran
pemerintah dalam sektor perbankan, lewat berbagai BUMN/D perbankan “plat merah”,
sehingga praktik kartel maupun monopoli usaha dapat dikatakan tertekan ke angka
“nihil” sama sekali. Menjadi pembelajaran dan contoh sempurna, mengapa
pemerintah tidak meniru konsep serupa yang dijalankan berbagai BUMN/D perbankan
“plat merah” demikian yang telah terbukti mensejahterakan rakyat sekaligus
menjadi sumber pendapatan negara bukan pajak?
Kompetisi adalah hal yang baik, sehingga prinsip meritokrasi dapat
diberlakukan demi peningkatan layanan, kualitas jasa / produk, dan harga
terbaik untuk menjadi opsi bagi rakyat selaku pemakai barang / jasa. Kompetisi demikian,
hanya dapat dibangun lewat pihak pemerintah ikut bermain dalam pasar
bersangkutan, bukan hanya sekadar menjadi “anjing pengawas” (wacth dog) yang menjadi tipikal Negara Nukum
(rechtsstaat) yang tidak seideal tipe
Negara Kesejahteraan (welfare state).
Saat kini pemerintah selama beberapa tahun disibukkan mengatur sektor
transportasi berbasis daring (mobil / ojek online)
untuk diatur dari segi pembagian porsi pasar dan pengaturan harga tarif, yang
pada akhirnya menjadi polemik tidak berkesudahan dan menjadi “bulan-bulanan”
kalangan driver maupun kalangan
konsumen.
Menjadi pertanyaan, mengapa pihak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak
memasuki ceruk pasar yang terbuka lebar tersebut, dan menjadi pemain di pasar
bersangkutan. Selebihnya, tinggal konsumen yang akan memilih, jenis tarif dan
layanan manakah yang paling berpihak dan menguntungkan pihak rakyat.
Mengapa pemerintah kita, yang konon diduduki para pengusaha sukses
sebagai pejabat negara, tidak kunjung mampu melihat peluang pasar yang demikian
terbuka lebar, sementara aset kekayaan serta sumber daya manusia ASN kita
begitu bertumpuk secara mubazir? Penulis meiihatnya sebagai kegagalan penyusun
kebijakan negara untuk mengalokasikan sumber daya keuangan dan sumber daya
manusia secara tepat guna. Disitulah letak pemborosan yang paling utama.
Jika semata bertumpu pada KPPU, maka itulah cerminan sekaligus bukti
betapa “cengeng”-nya pihak pemerintah selaku regulator yang hanya sekadar duduk
nyaman di bangkut penonton, namun justru mengintervensi terlampau jauh para
pemain di lapangan. Kita tahu, komentator selalu lebih riuh ketimbang pemainnya
sendiri. Masalahnya, pemerintah kita terlampau “usil” sekaligus terlampau “pemalas”
untuk menjadi pemain. Suatu sikap yang layak menyandang gelar “negarawan pecundang”,
tentu saja—karena takut dan gentar untuk terjun yang pasar yang diatur olehnya
sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.