LEGAL OPINION
Question: Bila di hukum tenaga kerja ada istilah ‘pekerjaan yang sekali selesai’, itu maksud dan implementasinya seperti apa? Jika berupa pesanan insidentil dari customer, termasuk juga sebagai kriteria itu sehingga boleh rekrut pegawai dengan kerja kontrak beberapa tahun saja?
Brief Answer: Tidak ada kegiatan usaha yang kelangsungan usahanya pasti dan stabil / stagnan selalu (namun selalu bersifat labil), pasang dan surut dalam dunia bisnis adalah hal yang lumrah. Maka, ada atau tidak adanya order / pesanan dari pihak pembeli / pelanggan, tidak dapat dibenarkan menjadi alibi untuk menyimpangi norma hukum dibidang ketenagakerjaan.
Bila dibenarkan alasan-alasan seperti roda ekonomi dan kegiatan perusahaan bergantung pada ‘ada atau tidak adanya’ pesanan dari pihak pembeli, maka dibolehkan mengikat setiap karyawan yang bekerja dengan status hubungan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), maka tidak ada satu pun bidang usaha yang tidak dapat menggunakan dalil serupa sebagai alasan pembenar.
Yang disebut dengan ‘pekerjaan yang sekali selesai’ dalam konteks hubungan industrial, hanya dapat dimaknai sebagai usaha yang ‘timbul’ dan ‘tenggelam’ dalam arti yang sesungguhnya, yakni kegiatan usaha yang bersifat musiman belaka, sehingga sifat organisasinya sangat cair, informal dan sederhana (oprasionalnya manual, tidak high tech)—biasanya berupa home industry atau industri rumahan belaka, sehingga sifat masa kerjanya paling lama lazimnya hanya sampai hitungan beberapa bulan, tidak sampai setengah tahun lamanya.
Kaedah hukum bentukan preseden (best practice peradilan) demikian tidak dapat diremehkan, sebab dibaliknya menunggu ancaman berupa pembayaran kompensasi pesangon 2 kali ketentuan normal bila Pekerja di-putus hubungan kerja (PHK) dengan kategori ‘tanpa adanya kesalahan’ dari pihak Pekerja dengan alasan masa kerja kontrak PWKT telah berakhir.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret sebagai cerminan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk secara relevan dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 907 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 7 November 2016, perkara antara:
- PT. CIPTA DWI BUSANA, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- 16 orang Pekerja, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat bekerja di perusahaan Tergugat dengan sistem kontrak berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang masing-masing mulai bekerja pada waktu yang berbeda-beda dan dengan posisi yang saling berbeda, namun dengan upah terakhir yang sama, serta di-PHK oleh Tergugat dengan alasan yang sama, yaitu masa kontrak yang telah berakhir.
Sebelum diterima bekerja, Penggugat menandatangani surat perjanjian kerja yang sebagian besar tidak diberikan copy kontraknya kepada pihak Pekerja. Meski, norma Pasal 54 ayat (3) UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, mengatur: “Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja / buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.”
Penggugat bekerja pada unit kerja dengan jenis dan sifat pekerjaan yang terus menerus (berkesinambungan), yang merupakan bagian dari rangkaian produksi. Tidak pernah sekalipun kegiatannya berhenti pada waktu tertentu. Dari sejak Perusahaan berdiri, bagian dan pekerjaan dimana Para Penggugat menjalankan tugasnya, sampai hari ini tetap eksis dan beroperasional. Ketika Para Penggugat di-PHK, posisi Para Penggugat digantikan oleh Pekerja baru lainnya—suatu indikator nyata itikad pihak Pengusaha.
Menyangkut unit kerja gudang di perusahaan, beberapa diantara pihak Penggugat menangani tugas dan pekerjaan diantaranya menerima bahan baku, baik itu kain ataupun benang dari supplier dan memberikan bahan ke bagian cutting untuk dipotong. Sementara untuk unit kerja cleaning service, sebagian diantara pihak Penggugat bertugas membersihkan sisa potongan bahan dibagian cutting. Kedua unit tersebut ada dan dibentuk sejak pabrik berdiri dan sampai sekarang segala aktivitas yang ada di dalamnya masih tetap ada dan beroperasi. Karena sifatnya permanen, maka wajar bila hubungan kerja “demi hukum” beralih menjadi hubungan kerja berdasarkan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu).
Adapun tugas pokok masing-masing pihak Penggugat, ada yang ditempatkan dibagian produksi yang menangani tugas dan pekerjaan diantaranya menggambar pola, memotong bahan, menandai bahan yang sudah dipotong, menyiapkan bahan yang sudah diperiksa lalu diantar ke bagian pemotongan dan pengepakan (pengepakan produk dan langsung dimuat untuk di Ekspor), quality control Inspect yang bertugas mengecek kondisi bahan sebelum diproduksi, dan bagian QC Lab yang bertugas mengecek bahan yang sudah jadi.
Bagian-bagian tersebut, merupakan bagian dari suatu rangkaian proses produksi yang berlangsung secara terus-menerus dan tidak pemah ada berhentinya dalam satu periode tertentu. Terbukti hingga kini, bagian-bagian dimaksud masih tetap eksis dan berkegiatan.
Karena itulah, sistem PKWT tidak dapat diterapkan karena melanggar norma Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya, akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan;
2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.”
Pada Unit tempat masing-masing pihak Penggugat bekerja, terdapat pula karyawan lain yang berstatus karyawan tetap, melaksanakan pekerjaan yang sama dengan Para Penggugat, menjadi suatu sikap diskriminatif apabila mereka diperlakukan secara berbeda dalam hal status hubungan kerjanya. Oleh karena itu, Penggugat menuntut agar oleh pengadilan diangkat dan ditetapkan sebagai karyawan tetap terhitung sejak mereka diterima bekerja oleh Tergugat.
Begitupula khusus untuk Penggugat VI yang di-PHK, hanya lantaran karena tertidur di tempat kerja secara tidak disengaja. Seharusnya sanksi yang dijatuhkan terhadap Penggugat VI adalah surat peringatan semata, disesuaikan dengan kadar kesalahannya, bukan lalu seketika di-PHK. Hal demikian menunjukkan betapa mudahnya PHK dilakukan oleh Tergugat.
Sejak dilakukan PHK secara sepihak, upah Para Penggugat sudah tidak dibayarkan lagi oleh Tergugat. Mengingat PHK-nya bersifat sepihak dan tidak sah, maka kepada Tergugat berkewajiban tetap membayar “upah proses”, terhitung sejak Penggugat diberhentikan sampai dengan perkara ini diputus.
Mengingat perkara ini akan diputus dan diperkirakan dibacakan pada bulan Juli 2016 yang berarti sudah memasuki hari raya agama, maka Para Penggugat juga berhak menerima pembayaran THR (secara hukum hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat belum terputus), maka Para Penggugat berhak atas THR.
Pasal 151 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, dengan tegas menyatakan: Pengusaha, pekerja / buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Menjadi kontradiksi, jika memang tenaga kerja masih dibutuhkan, mengapa Penggugat di-PHK? Sementara setelah Penggugat di-PHK, Tergugat justru merekrut pekerja baru untuk menggantikan posisi Penggugat.
Penggugat telah berupaya menempuh musyawarah, namun Tergugat tetap pada pendiriannya, melakukan PHK terhadap Penggugat. Maka Penggugat mencatatkan perselisihan ke Disnaker Kabupaten Sukabumi. Dalam mediasi, Tergugat tidak pernah sekalipun hadir, sehingga Mediator Hubungan Industrial menerbitkan anjuran tertulis, yang pada pokoknya menyatakan agar Tergugat mempekerjakan kembali pihak Penggugat dengan hubungan kerja yang bersifat tetap (alias permanen).
Penggugat memberikan tanggapan, menyatakan menerima isi anjuran dan siap melaksanakannya. Namun pihak Tergugat tidak mengindahkannya, dan tetap berpendirian untuk mengukuhkan PHK. Sehingga dalam gugatan ini, pihak Pekerja menuntut agar dapat dipekerjakan kembali.
Meski demikian, mengingat tuntutan bekerja kembali sangat sulit dalam realisasi proses eksekusinya sekalipun gugatan dikabulkan karena bergantung pada itikad baik pihak perusahaan, maka Penggugat memohon agar pengadilan juga menetapkan “uang paksa” (dwangsom).
Terhadap gugatan kalangan Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 48/PDT.SUSPHI/2016/PN.BDG tanggal 18 Juli 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang oleh karena terbukti perjanjian kerja waktu tertentu antara Para Penggugat dengan Tergugat demi hukum menjadi perjanjian kerja tidak tertentu, dan terbukti hubungan kerja telah diputus oleh Tergugat diluar kesalahan Para Penggugat;
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara;
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak diterbitkan surat keputusan PHK oleh Tergugat terhadap masing-masing Para Tergugat;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar Uang Pesangon sebesar 2 (dua) kali Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali Uang Penghargaan Masa Kerja sebagaimana Pasal 156 ayat (3), dan Uang Penggantian Hak sebagimana Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kepada Para Penggugat masing-masing sebagai berikut: ... Dengan jumlah total sebesar Rp172.136.600,- (seratus tujuh puluh dua juta seratus tiga puluh enam ribu enam ratus rupiah);
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp381.000,-;
5. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa perusahaan Tergugat dalam proses produksinya berdasarkan order dari pihak konsumen dalam hal ini pihak pembeli / pelanggan, sehingga pekerjaannya sangat bergantung terhadap ada atau tidaknya permintaan dan disesuaikan dengan waktu tertentu, yang mana waktu pekerjaannya rata-rata 4 sampai 5 bulan dan setelah itu baru berikutnya dapat menerima pesanan baru.
Tergugat bersikukuh, perusahaan Tergugat merupakan usaha dengan bidang kriteria “pekerjaan yang sekali selesai” atau sementara waktu dengan didasarkan atas order, dimana pesanan demikian sewaktu-waktu dapat dihentikan oleh pihak pelanggan. Oleh karenanya hubungan kerja semata dilandaskan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dengan disepakati jangka waktu 1 tahun masa kerja. PKWT tersebut telah pula dicatatkan ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten.
Maka berdasarkan Pasal 61 Ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, secara tegas diatur bahwa berakhirnya hubungan kerja antara Pemberi Kerja dengan Pekerja adalah dikarenakan berakhirnya Jangka Waktu Perjanjian Kerja, maka tidak berhak atas pesangon apapun
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 10 Agustus 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 6 September 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh Termohon Kasasi adalah pekerjaan yang tidak termasuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya, sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Kepmenakertrans RI Nomor 100 Tahun 2004, karena itu berdasarkan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, hubungan kerja antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi demi hukum berubah dari hubungan kerja melalui PKWT berubah menjadi PKWTT;
“Bahwa karena Termohon Kasasi di-PHK oleh Pemohon Kasasi bukan akibat kesalahan Termohon Kasasi dan belum ada penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai dengan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 berdasarkan keadilan adalah patut Pemohon Kasasi wajib membayar uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UPMK 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UPH sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa namun demikian Hakim Agung Anggota I H. Dwi Tjahyo Soewarsono, S.H., M.H., menyatakan beda pendapat (dissenting opinion) dengan mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
“Bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan pekerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah pekerjaan utama yang dikerjakan berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a, b, c dan d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, oleh karena apa ditentukan dalam Pasal 59 ayat (1) tersebut telah diselesaikan maka perjanjian PKWT berakhir demi hukum; [Note SHIETRA & PARTNERS: Pertimbangan hukum yang sangat menyimpang, karena secara terang Undang-Undang telah melarang pekerjaan utama diikat dengan PKWT.]
“Bahwa oleh karena itu putusan Judex Facti harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagai berikut:
- Membatalkan putusan Judex Facti;
Mengadili sendiri:
- Menyatakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berakhir demi hukum;
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan musyawarah dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka sesuai Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009, Majelis Hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak;
“Bahwa keberatan-keberatan Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan karena Judex Facti PHI Bandung sudah tepat dan benar dalam putusannya serta pertimbangan dan penerapan hukumnya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. CIPTA DWI BUSANA, tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. CIPTA DWI BUSANA, tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.