LEGAL OPINION
Brief Answer: Sebelum membeli hak atas tanah berbentuk SHGB (Sertifikat
Hak Guna Bangunan), terlebih dahulu pastikan “SHGB murni” ataukah “SHGB tidak
murni”. Yang dimaksud dengan “SHGB tidak murni”, artinya HGB berdiri diatas Hak
Pengelolaan (HPL) milik instansi pemerintah atau milik pemerintah daerah.
Sementara itu, hanya “SHGB murni” yang lebih menyerupai “hak milik” (quasi hak milik, maka dari itu keliru
pendapat yang menyatakan bahwa SHGB/U bukanlah “hak milik”).
Konsekuensi bila dibawah SHGB terdapat HPL, maka
sewaktu-waktu keberadaan SHGB dapat terancam gugur akibat habisnya masa berlaku
SHGB dan dapat tidak mendapat izin oleh pemegang HPL untuk diperpanjang
keberlakuan SHGB tersebut. Dengan kata lain, untuk pembaharuan ataupun
perpanjangan hak dalam SHGB, dibutuhkan izin dan persetujuan dari pemegang HPL
sebagai prasyarat mutlak. Tentunya hal demikian akan dapat sangat merugikan
dikemudian hari, bilamana eksistensi SHGB bergantung pada kesediaan pemegang
HPL untuk “dapat diperpanjang” atau “tidak” masa berlakunya.
Berbeda halnya dengan “SHGB murni”, dimana hak
pemegang SHGB untuk memperpanjang atau memperbaharukan haknya murni semata di
tangan pihak pemegang SHGB, maka dapat disebut juga bahwa “SHGB murni” merupakan
quasi “Hak Milik”—dan jenis hak atas
tanah itulah yang paling layak untuk dibeli.
Harus juga diwaspadai pemegang HPL “nakal”, yang
akan memeras pemegang SHGB untuk membayar izin / harga sewa tanah HPL dengan
tarif yang sangat tinggi, yang jika tidak dituruti pemegang SHGB, maka
perpanjangan SHGB tidak akan diberikan, yang konsekuensinya hak atas bangunan
terancam gugur dan pemerintah setempat tidak akan menerbitkan izin domisili
usaha bila tiada izin dari otoritas pemegang HPL atas tanah bangunan usaha demikian
yang berjenis “SHGB non murni”.
Pemegang “SHGB non murni” seumur hidup secara
yuridis dikodratkan untuk tersandera oleh itikad pihak pemegang HPL. “SHGB non
murni” lebih tepat disebut sebagai “hak sewa” atau sebatas “hak pakai”, meski
kemasannya bernama “SHGB”.
PEMBAHASAN:
Otoritas pemegang HPL tidak
dapat dipaksa untuk memberi izin perpanjangan terhadap SHGB yang berdiri di
atasnya, dan menjadi hak prerogatif pemegang HPL, sekalipun pihak pemegang SHGB
bersedia dan hendak memperpanjang hak atas tanahnya sebelum masa berlaku HGB
berakhir dan bersedia membayar biaya perpanjangan hak atas tanah ke kas negara.
Terdapat sebuah ilustrasi
konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan secara relevan
dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa perizinan tanah register Nomor 2425
K/Pdt/2015 tanggal 30 Desember 2015, perkara antara:
- PT. HARGAS INDUSTRIES
INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
- PT. KAWASAN BERIKAT NUSANTARA
(Persero), selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Semula antara Penggugat den Tergugat menandatangani Perjanjian tertanggal
30 Januari 1989, yakni “Perjanjian Pengalihan Hak” atas sebidang tanah seluas 64.461
meter persegi. Tergugat sepakat menyerahkan tanah tersebut kepada Penggugat
untuk mengelola tanah selama 20 tahun.
Perikatan hukum antara Penggugat dan Tergugat adalah perikatan yang
beralih “demi hukum” sebagai akibat likuidasi PT. Pusat Perkayuan Marunda
(Persero) dan penambahan penyertaan modal negara yang berasal dan kekayaan
negara hasil likuidasi perusahaan perseroan (persero) tersebut ke dalam modal
saham Perusahaan Perseroan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero).
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1990 memiliki dampak hukum terhadap
perikatan yang sebelumnya pernah dibuat oleh PT. Pusat Perkayuan Marunda (Persero),
sehingga “demi hukum” PT. Hargas Industries Indonesia (Penggugat) dan PT.
Kawasan Berikat Nusantara (Persero), terikat dengan Perjanjian Pengalihan
tersebut.
Dengan telah dibayarkannya biaya ganti-rugi kavling tersebut oleh
Penggugat, maka Penggugat berhak atas pengelolaan objek tanah sampai dengan 20
tahun sejak ditandatanganinya perjanjian. Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor
57, tanggal 8 Februari 1993, bilamana dicermati lebih lanjut, jangka waktu
dalam SHGB terdapat perbedaan dengan jangka waktu sebagaimana tertuang di dalam
perjanjian.
Sisa Perbedaan Waktu demikian telah dikompensasikan oleh Penggugat kepada
Tergugat dengan membayar biaya perpanjangan hak pengelolaan lahan, maka maka
jangka waktu perjanjian yang sebelumnya berakhir pada tanggal 30 Januari 2008,
dengan begitu menjadi berakhir pada tanggal 30 Januari 2013.
Norma Pasal 26 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha. Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, mengatur: hak guna
bangunan atas tanah hak pengelolaan diperpanjang atau diperbaharui atas
permohonan pemegang hak guna bangunan setelah mendapat persetujuan dari
pemegang hak pengelolaan.
Sementara dalam Perjanjian tentang Pengalihan Hak, terdapat klausul
pemberian persetujuan untuk memperpanjang jangka waktu sertifikat hak guna
bangunan, diatur dalam Pasal 20: “Pihak
pertama memberikan persetujuan kepada pihak kedua untuk perpanjangan penggunaan
tanah tersebut, apabila langka waktu hak guna bangunan berakhir dengan
mengajukan permohonan satu tahun dimuka.”
Perjanjian tersebut demi hukum telah menegaskan adanya kewajiban hukum
dari Tergugat, untuk memberikan persetujuan perpanjangan yang dimohonkan oleh
Penggugat sebelum jangka waktu keberlakuan SHGB berakhir. Karena itu Penggugat
menyampaikan Surat Permohonan Rekomendasi Perpanjangan SHGB kepada Tergugat
pada tanggal 27 Oktober 2011, yang ditembuskan juga ke Kantor Pertanahan.
Penggugat mengajukan permohonan rekomendasi perpanjangan tersebut pada
tanggal 27 Oktober 2011 [diajukan 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan sebelum HGB
berakhir]. Karenanya, demi hukum Tergugat memiliki kewajiban hukum untuk
memberikan persetujuan perpanjangan HGB kepada Penggugat.
Telah ternyata Tergugat tidak kunjung memberikan tanggapan maupun
persetujuan untuk memberikan rekomendasi perpanjangan sebagaimana telah diatur
di dalam Perjanjian. Sehingga Tergugat secara terang dan nyata telah tidak
melakukan apa yang seharusnya menjadi kewajiban hukum yang sebelumnya telah
disepakati dalam Perjanjian, alias wanprestasi.
SHGB yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang setelah
mendapatkan persetujuan dan pemegang hak pengelolaan. Dalam hal ini, Penggugat
selaku hak pemegang SHGB baru dapat mengajukan perpanjangan bilamana telah mendapatkan
izin dari pemegang hak pengelolaan tanah (Tergugat).
Justru pihak Tergugat menunjukkan suatu itikad tidak baik, yaitu menaikkan
biaya ganti-rugi yang sangat jauh dari harga yang telah disepakati di dalam
perjanjian sebelumnya. Tergugat secara sepihak telah menentukan biaya perpanjangan
penggunaan tanah industri sebesar Rp34.746.300.000,00—dengan mendalilkan bahwa
angka nominal tersebut sesuai hasil penilaian Appraisal tanah independen KJPP
(Kantor Jasa Penilai Publik). Namun yang menjadi keberatan pihak Penggugat, ialah
bahwa nilai tersebut ialah harga pasar untuk jual-beli, bukan untuk nilai
perpanjangan hak atas tanah.
Konsekuensinya, kini Tergugat menghentikan segala pemberian fasilitas
(utilities) seperti penggunaan akses jalan, listrik, air bersih, dan lain-lain yang
selama ini dipergunakan oleh Penggugat termasuk penggunaan alamat/domisili
usaha, papan nama atau kabel perusahaan, dan papan reklame di dalam areal
Kawasan Berikat Nusantara.
Terhadap gugatan sang pemegang ex-SHGB “non murni”, pihak otoritas
pemegang HPL mengajugan gugatan balik (rekonpensi), dimana untuk itu Pengadilan
Negeri Jakarta Utara kemudian menjatuhkan putusan Nomor 506/Pdt.G/2013/PN Jkt
Ut., tanggal 11 Agustus 2014, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Tergugat telah wanprestasi dalam memenuhi kewajibannya terhadap
Akta Perjanjian Nomor 195, tertanggal 30 Januari 1989 beserta perubahannya;
3. Menyatakan Tergugat telah berikhtikad tidak baik dalam menentukan harga
secara sepihak;
4. Menetapkan biaya perpanjangan PPTI HGB di atas HPL yang harus dibayarkan
Penggugat kepada Tergugat sejumlah Rp4.555.626.000,00 untuk jangka waktu selama
20 tahun terhitung sejak tanggal 7 Februari 2013 sampai dengan tanggal 7 Februari
2033;
5. Menghukum Tergugat untuk melaksanakan isi Perjanjian Nomor 195, tertanggal
30 Januari 1989 dan segera membuat dan menerbitkan Persetujuan Perpanjangan HGB
Nomor 57/Cilincing atas Penggugat dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
sejak putusan a quo mempunyai kekuatan hukum tetap;
Dalam Rekonvensi:
- Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi tersebut.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, alih-alih gugatan berbuah
manis, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara di atas kemudian dibatalkan
oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor 719/PDT/2014/PT.DKI., tanggal
19 Januari 2015, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, ... Tidak
diberikan perpanjangan penggunaan lahan tidak dapat dikategorikan /
dikualifikasikan sebagai wanprestasi;
“MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Tergugat Dalam Konvensi
/ Penggugat Dalam Rekonvensi;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 11 Agustus 2014,
Nomor 506/Pdt.G/2013/PN Jkt Ut., yang dimohonkan banding tersebut
“Mengadili Sendiri:
Dalam Konvensi:
- Menolak gugatan konvensi untuk seluruhnya;
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat Rekonvensi telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menghukum Tergugat Rekonvensi atau orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya untuk menyerahkan penguasaan tanah bekas HGB Nomor 57/Cilincing
kepada Penggugat Rekonvensi;
4. Menghukum Tergugat Rekonvensi dan atau orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat Rekonvensi sebesar
Rp4.759.763,123 setiap hari, terhitung sejak berakhirnya HGB Nomor 57/Cilincing,
yakni tanggal 7 Februari 2003 sampai dengan Tergugat Rekonvensi menyerahkan
tanah eks HGB Nomor 57/Cilincing, atau sampai putusan ini berkekuatan hukum
tetap;
5. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selain dan selebihnya.”
Pihak pemegang SHGB mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan
bahwa habisnya masa berlaku SHGB karena Penggugat keberatan membayar biaya
perpanjangan penggunaan tahan industri (PPTI) yang tidak wajar yang ditetapkan
secara sepihak yang nominal yang tidak wajar oleh Tergugat, sehingga dinilai cenderung
memeras Pemegang SHGB.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar
putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi tersebut
tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti dengan seksama memori
kasasi tanggal 17 April 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 8 Mei 2015 dan
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
ternyata tidak salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai
berikut:
“Bahwa Penggugat sudah tidak
mempunyai hak lagi atas tanah sengketa, karena masa pengelolaan yang
diperjanjikan telah berakhir;
“Bahwa meskipun telah ada
permohonan perpanjangan yang diajukan Penggugat, tidaklah serta-merta mesti
dikabulkan, karena tentu Tergugat mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu
yang harus dipenuhi Penggugat sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
berlaku;
“Bahwa tidak disetujuinya perpanjangan
Perpanjangan Penggunaan Tanah Industri yang diberikan status HGB di atas HPL
oleh Tergugat, bukanlah merupakan suatu wanprestasi ataupun perbuatan melawan
hukum lainnya, karena itu memang hak Tergugat;
“Bahwa ditolaknya gugatan
konvensi, kemudian dikabulkannya gugatan rekonvensi, maka sudah dinilai sangat
tepat, sehingga pertimbangan dan putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah
sesuai hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa Putusan Judex Facti (Pengadilan
Tinggi) dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT.
HARGAS INDUSTRIES Indonesia tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. HARGAS
INDUSTRIES INDONESIA tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.