LEGAL OPINION
Question: Apakah mungkin, sertifikat tanah yang sudah
disita oleh pengadilan, bisa dijaminkan ke bank?
Brief Answer: Bila merujuk prosedur hukum yang berlaku di
Kantor Pertanahan, itu hal yang tidak dimungkinkan, oleh sebab agar Akta
Pembebanan Hak Tanggungan dapat ditindak-lanjuti dengan terbitnya Sertifikat
Hak Tanggungan, maka pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah akan berkoordinasi dengan
Kantor Pertanahan setempat guna melakukan “checking”
alias pengecekan “bersih” atau tidaknya hak atas tanah dari segala pembebanan
maupun sita.
Sebaliknya, bila Kantor Pertanahan sampai
bersedia menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan (Kantor Pertanahan dan produk
hukumnya semestinya menjadi sebentuk kepastian hukum bagi warga masyarakat)
sehingga kreditor atas dasar itu memutuskan untuk mengucurkan dana kredit
kepada debitor, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan sejatinya merupakan kreditor
yang “beritikad baik” karena telah melalui serangkaian prosedural, mengingat
dimana hanya Kantor Pertanahan yang paling mengetahui betul status suatu hak
atas tanah.
Bila ternyata baru terungkap dikemudian hari
bahwa objek agunan sebelumnya telah dan masih berstatus dibebani sita
pengadilan, maka menurut norma dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7
Tahun 2012, pemohon sita hanya dapat menuntut ganti-rugi berupa nominal “uang”
kepada si debitor / pemberi agunan, bukan membatalkan Sertifikat Hak Tanggungan
milik sang kreditor yang sejatinya merupakan “pihak ketiga”.
Dialektik tingkat kedua, “apanya juga yang dapat
disita, bila tidak ada bunyi dalam butir amar putusan yang dapat dieksekusi?”
Menjadi ambigu, bila Pengadilan Negeri menetapkan Sita Jaminan, namun tiada
satu pun butir dalam amar putusan yang dapat dieksekusi. Mahkamah Agung dalam
surat-menyuratnya, pernah membuat statement
sebagai berikut:
“Pengadilan hanya dapat
melaksanakan amar putusan yang berisi penghukuman (condemnatoir), oleh karena
itu terhadap amar putusan dalam perkara Nomor ... tanggal ... , yang
bersifat declatoir sebagaimana amar putusan Nomor ... s.d ... tidak dapat
dilakukan eksekusi kecuali terhadapnya diajukan gugatan yang
menghasilkan amar putusan penghukuman.”
PEMBAHASAN:
Adalah percuma, demikian
produktif mencetak peraturan perundang-undangan, namun implementasinya sangat
minim, menjadi “kecentilan regulator” belaka yang seolah mempermainkan warga
selaku subjek hukum. Sebagaimana SHIETRA & PARTNERS temukan, tampaknya
praktik di Mahkamah Agung RI tidaklah cukup konsisten antara pengaturan norma
dan penerapan norma, tercermin lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register
Nomor 1275 K/Pdt/2017 tanggal 7 Agustus 2017, perkara antara:
1. SAHARA UMAR; 2. MAYAPRASTHA
ANAND, sebagai Para Pemohon Kasasi, semula selaku Para Pelawan; melawan
1. Hi. MUBIN RAJA DEWA; 2.
ADNAN UMAR ADNAN, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Terlawan.
Bermula berdasarkan Berita Acara Eksekusi Nomor 697/PK/2012, juncto Nomor 85/Pdt.G/2008/PN.PL, Panitera
Pengadilan Negeri Palu meletakan Sita Eksekusi terhadap 2 bidang tanah dan
bangunan, yang menurut klaim Pelawan, bukan milik Terlawan Tersita (Terlawan II).
Sita eksekusi demikian merupakan pelaksanaan putusan perkara perdata Nomor
85/Pdt.G/2008/PN.PL. juncto putusan
Mahkamah Agung Nomor 697/PK/Pdt/2012.
Salah satu objek tanah tersebut, kini menjadi Jaminan Pelunasan Hutang di
Bank Rakyat Indonesia (BRI) berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan pada tahun 2013.
Baik dalam perkara Perdata Nomor 85/Pdt.G/2008/PN.PL., maupun perkara
Peninjauan Kembali Nomor 697/PK/Pdt/2012, Pelawan I dan Pelawan II tidak
terlibat sebagai pihak-pihak, oleh karena itu, menurut hukum perkara-perkara
tersebut persoalan internal antara Terlawan Penyita (Terlawan I) dengan
Terlawan Tersita (Terlawan II), sehingga Para Pelawan semata sebagai “pihak ketiga”.
Untuk mengamankan kepentingan hukumnya, Pelawan mengutip kaedah
yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI Nomor 476 K/Sip/1974, tanggal 14 November
1974, yang mengandung kaedah norma hukum preseden: “Sita jaminan tidak dapat dilakukan terhadap barang milik pihak ketiga.”
[Note SHIETRA & PARTNERS: Namun bagaimana dengan barang milik pihak ketiga
yang pada mulanya bersumber dari salah satu pihak yang saling bersengketa? Itulah
isu hukum utama dalam ulasan ini.]
Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Negeri Palu kemudian menjatuhkan putusan
Nomor 130/Pdt.Plw/2015/PN.PAL., tanggal 21 April 2016, dengan amar serta
pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa selain itu mengenai
tanggal atau waktu peralihan objek sita eksekusi tersebut dari Anand Umar
Adnan, S.H., M.H in casu Terlawan Tersita (Terlawan II) kepada Sahara Umar
berdasarkan Akta Hibah Nomor 164/2015 tanggal 02 Juli 2015,
apabila dikaitkan dengan adanya putusan Peninjauan Kembali Nomor
697-PK/Pdt/2012 ialah tanggal 28 November 2013, maka perbuatan
hukum penghibahan dilakukan setelah adanya Putusan Peninjauan Kembali Nomor
697-PK/Pdt/2012 yang pada pokoknya bahwa sita jaminan yang diletakkan
berdasarkan Berita Acara Penyitaan Nomor 85/BA.Pdt.G/2009/PN.PL tanggal 24
Februari 2009 yang dilaksanakan berdasarkan penetapan Majelis Hakim Nomor
85/Pen.Pdt.G/2008/PN.PL tanggal 23 Februari 2009 dinyatakan Sah dan berharga,
sehingga dengan demikian majelis berpendapat bahwa Anand Umar Adnan, S.H., M.H
in casu Terlawan Tersita (Terlawan II) selaku pemberi Hibah tidak mempunyai
kewenangan untuk memberikan Hibah kepada Sahara Umar atau dengan kata
lain perbuatan hukum penghibahan tersebut tidak sah oleh karena bertentangan
dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap in casu
Peninjauan Kembali Nomor 697-PK/Pdt/2012 tanggal 28 November 2013;
“Menimbang, bahwa dengan
demikian dalil gugatan perlawanan Pelawan II yang menyatakan bahwa pelawan II
merupakan pemilik yang sah atas sebidang tanah dan bangunan sebagaimana
Sertifikat Hak Milik Nomor 2506 kelurahan Lolu Tahun 1997 atas nama pemegang
Hak Mayaprastha Anand yang juga merupakan Objek sita Eksekusi berdasarkan
Berita acara Eksekusi Nomor 697/PK/2012, juncto Nomor 85/Pdt.G/2008/PN.PL.
tidak beralasan hukum dan haruslah di tolak;
“Menimbang, bahwa terhadap
dalil gugatan Perlawanan para Pelawan bahwa objek sita eksekusi berupa sebidang
tanah dan bangunan rumah toko (ruko) di atasnya, Sertifikat Hak Milik Nomor
2506/Lolu Tahun 1997 sekarang ini menjadi jaminan hutang di Bank Rakyat Indonesia
(BRI) atas perjanjian Kredit pembiayaan atas nama Anand Umar, S.H., M.H. dengan
Sertifikat Hak Tanggungan Nomor 02715/2013 tanggal 12 Agustus 2013,
juncto Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor 168/VI/2013 tanggal 13 Juni 2013,
yang mana sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. Nomor 7 Tahun 2012 maka
barang yang menjadi jaminan Hutang / Hak Tanggungan tidak boleh diletakan Sita
Eksekusi maka Majelis berpendapat bahwa oleh karena terbukti menurut hukum
bahwa Para Pelawan dipandang sebagai pelawan yang tidak beritikad baik, maka
terhadap Objek Sita Eksekusi berupa sebidang tanah dan bangunan rumah toko
(ruko) di atasnya, Sertifikat Hak Milik Nomor 2506/Lolu Tahun 1997 sekarang ini
menjadi jaminan hutang di Bank Rakyat Indonesia (BRI) haruslah dikembalikan
seperti semula menjadi objek Sita eksekusi;
[Note SHIETRA & PARTNERS:
Pendirian Majelis Hakim telah mengorbankan kepentingan kreditor pemegang hak
tanggungan, karena sebagaimana terbukti dari kronologi waktu, terjadi perbedaan
tempo antara tanggal 12 Agustus 2013 hingga tanggal 28 November 2013.]
“Menimbang, bahwa selain itu
berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor 697-PK/Pdt/2012 tanggal 28
November 2013 yang amarnya pada pokoknya menyatakan sita jaminan (conservatoir
beslag) yang diletakkan atas barang-barang tidak bergerak milik Anand Umar
Adnan, S.H., M.H in casu Terlawan Tersita (Terlawan II) sesuai berita acara
penyitaan Nomor 85/BA.Pdt.G/2009/PN.PL tanggal 24 Februari 2009 yang
dilaksanakan berdasarkan penetapan Majelis Hakim Nomor 85/Pen.Pdt.G/2008/PN.PL tanggal
23 Februari 2009 adalah sah dan berharga;
[Note SHIETRA & PARTNERS: Terdapat
sebuah ‘missing link’, apakah pada
tingkat ‘Kasasi’, penetapan Sita Jaminan Pengadilan Negeri justru digugurkan? Sementara
kita ketahui, upaya hukum Peninjauan Kembali tidak membuat para pihak yang
saling bersengketa menjadi tersandera tidak dapat mengalihkan hak atau
mengagunkan, ataupun tidak dapat mengeksekusi.]
“Menimbang, bahwa seyogyanya
pihak Bank BRI menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menerapkan objek jaminan
(in casu objek sita eksekusi), terlebih ternyata sita jaminan terhadap objek
jaminan tersebut dinyatakan sah dan berharga dalam putusan pengadilan;
[Note SHIETRA & PARTNERS:
Namun pertanyaan yang patut mengemuka, ialah: Prinsip kehati-hatian semacam
apakah yang semestinya dilakukan oleh pihak calon kreditor? Adalah tidak
mungkin Sertifikat Hak Tanggungan dapat terbit tanpa didahului proses
“checking”, dan Sertifikat Hak Tanggungan tersebut diterbikan juga oleh
pihak Kantor Pertanahan itu sendiri, lembaga yang paling mengetahui kondisi dan
paling berwenang dibidang objek pertanahan.]
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan Para Pelawan adalah Para Pelawan yang tidak beritikad
baik.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Para Pelawan, putusan Pengadilan
Negeri diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah
dengan Putusan Nomor 71/Pdt/2016/PT.PAL., tanggal 11 November 2016.
Pihak Pelawan mengajukan upaya hukum kasasi, dengan mengemukakan fakta
empirik yang menarik, bahwa mengutip substansi yang tertuang dalam Surat
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 78/PAN.2/IX/173 SPK/Pdt/2014 tanggal 13
September 2016, yang ditujukan Kepada Hi. Mubin Raja Dewa, (Terlawan Penyita),
berisi informasi sensitif sebagai berikut:
“Menanggapi
surat saudara tanggal 11 Desember 2015 perihal seperti pada pokok surat, dengan
ini disampaikan bahwa Pengadilan hanya dapat melaksanakan amar putusan yang
berisi penghukuman (condemnatoir), oleh karena itu terhadap amar putusan dalam perkara
Nomor 697-PK/Pdt/2012 tanggal 28 November 2013, yang bersifat declatoir
sebagaimana amar putusan Nomor 3 s.d 7 tidak dapat dilakukan eksekusi kecuali
terhadapnya diajukan gugatan yang menghasilkan amar putusan penghukuman.”
Berdasarkan Surat Mahkamah Agung tersebut (yang ironisnya akan dipungkiri
sendiri dalam tingkat kasasi perkara sekarang ini), pada prinsipnya mengenai
amar Putusan dalam Perkara Nomor 697-PK/Pdt/2012 tanggal 28 Nopember 2013
hanyalah bersifat Declaratoir (“menyatakan”
belaka), dan bukan bersifat Comdemnatoir,
sehingga apabila dikaitkan dengan Surat Sita Eksekusi Nomor
85/Pdt.G/2008/PN.PL, maka tindakan eksekusi berdasarkan putusan dalam Perkara
Nomor 697-PK/Pdt/2012 tanggal 28 Nopember 2013, berupa Sita Eksekusi terhadap objek
sengketa, adalah tidak valid—karena memang tiada yang dapat dieksekusi dalam
amar putusannya, sehingga apa lagi gunanya sita eksekusi?
Dimana terhadapnya, secara antiklimaks, Mahkamah Agung membuat
pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut
tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori
kasasi tanggal 21 Desember 2016 dan kontra memori kasasi pada tanggal 26
Januari 2017 dan 14 Februari 2017 dan dihubungkan dengan pertimbangan Judex
Facti dalam hal ini Pengadilan Negeri Palu dan Pengadilan Tinggi Sulawesi
Tengah tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Perjanjian kredit pembiayaan atas nama Anand Umar, SH MH telah disetujui
oleh isterinya yakni Pelawan II, dan dalam perkawinan keduanya tidak terdapat
perjanjian perkawinan (pemisahan harta) sehingga obyek sengketa yang dijadikan
jaminan Perjanjian Kredit pembiayaan merupakan harta dan utang suami isteri;
- Bahwa terhadap Sertifikat Hak Milik Nomor 2506/Lolu Tahun 1997 telah dilaksanakan
sita eksekusi pada Tahun 2009 berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Nomor
697/PK/2012 Juncto Nomor 85/Pdt.G/2008/PN.PL, sebagaimana Berita Acara Penyitaan
Nomor 85/BA.Pdt.G/2009/PN.PL tanggal 23 Februari 2009, sedangkan Sertifikat Hak
Milik a quo dijaminkan ke BRI pada Tahun 2013 berdasarkan Sertifikat Hak
Tanggungan Nomor ... tanggal 12 Agustus 2013 Juncto Akta Pemberian Hak Tanggungan
Nomor ... tanggal 13 Juni 2013, sehingga terdapat itikad tidak baik dari
Pelawan untuk menjaminkan obyek sengketa yang telah diletakkan sita oleh
Pengadilan, dan juga terdapat kelalaian dari pihak BRI Syariah yang menerima
obyek jaminan yang telah diletakan sita;
- Bahwa terhadap Sertifikat Hak Milik Nomor 328 Kelurahan Boyage Tahun 1996
telah dilaksanakan sita eksekusi pada Tahun 2009 berdasarkan Putusan Peninjauan
Kembali Nomor 697/PK/2012 Juncto Nomor 85/Pdt.G/2008/PN.PL, sebagaimana Berita
Acara Penyitaan Nomor 85/BA.Pdt.G/2009/PN.PL tanggal 23 Februari 2009, sedangkan
Sertifikat Hak Milik a quo dihibahkan pada Tahun 2015 berdasarkan
Akta Hibah Nomor 164/2015 tanggal 2 Juli 2015, sehingga hibah yang dilakukan
atas obyek yang telah disita adalah tidak sah;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Sulawesi
Tengah dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi
Sahara Umar dan kawan, tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi 1. SAHARA UMAR,
2. MAYAPRASTHA ANAND, tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.