ARTIKEL
HUKUM
Inilah yang sering diungkapkan oleh mereka yang berkarir sebagai “Staf
Legal” di dalam suatu institusi swasta / korporasi, juga merupakan pengalaman
penulis selama memulai profesi hukum sebagai “Divisi Hukum” pada suatu
perusahaan swasta. Pernyataan yang terdengar sebagai polemik yang dilematis: Mengapa
dengan menjadi staf legal perusahaan, seolah menjadi staf semata bertugas untuk
melegalkan segala keinginan pimpinan perusahaan?
Berusaha dalam lapangan bisnis, memang keras dan penuh persaingan sengit,
tidak jarang diwarnai aksi “saling sikut-menyikut”, tidak perduli kompetitor
akan gulung-tikar dan mati eksistensinya sekalipun akibat aksi kotor
kompetitornya seperti monopoli usaha yang sangat masif di negeri ini. Namun
bukan berarti berusaha harus eksis dan bertumbuh besar dengan “menggunakan
segala cara” atau “membenarkan segala cara” (by all means). Etika bisnis kalangan pengusaha, bahkan tidak pernah
disinggung dalam dunia niaga di Indonesia, meski kode etik kalangan profesi
seperti advokat, hakim, akuntan, notaris, kerap disorot media dan mendapat
kritik pedas secara bertubi.
Tidak ada profesi yang lebih buruk dan lebih “redup” ketimbang profesi
hukum,
itulah prolog yang akan penulis singgung sebelum kita masuk pada pokok topik
bahasan. Dapat kita kalkulasi, setiap tahunnya berbagai perguruan tinggi di
Indonesia mencetak puluhan ribu Sarjana Hukum baru, sementara kebutuhan
lapangan kerja dibidang hukum adalah paling terbatas dibanding kebutuhan /
serapan sarjana disiplin ilmu lainnya.
Terlebih ironis, para Sarjana Hukum muda tersebut tidak pernah dilatih
oleh dosen mereka untuk menjadi tenaga terampil, namun hanya sekadar menghafal
teori dan bunyi undang-undang yang sejatinya bisa diakses oleh masyarakat awam
hukum sekalipun—dimana sewaktu-waktu aturan undang-undang dapat berubah secepat
perubahan musim dan cuaca, yang bagi penulis merupakan suatu pemborosan
terhadap umur generasi muda.
Satu perusahaan yang terdiri dari ratusan hingga ribuan buruh, paling
hanya memiliki satu Staf Legal, itu pun dijumpai hanya di kota-kota besar
seperti ibukota provinsi. Di berbagai pelosok dan daerah terpencil, tidak ada
perusahaan ataupun pabrik yang meng-hire
seorang Sarjana Hukum untuk menjadi Staf Hukum. Tidak harus seorang Sarjana
Hukum untuk dapat mengurus perizinan, sementara biro jasa kian menjamur seperti
cendawan di musim penghujan.
Di kota besar, keadaan lebih miris lagi. Grub Usaha (company group) secara sadistik mendirikan kerajaan bisnis dengan
puluhan badan usaha dibawah payung grub usaha mereka, namun hanya memiliki satu
atau dua Staf Legal untuk menangani seluruh masalah hukum perusahaan-perusahaan
tersebut. Mulai dari masalah kontrak, masalah perizinan, hingga masalah buruh,
dan tetek-bengek korporasi perseroan lainnya. Contohnya dapat melihat praktik
ekspolitasi pada Panca Budi Group, perusahaan raksasa “bos industri plastik”
dengan hampir 40 perseroan, namun seluruh masalah hukum dibebani pada pundak 1
orang Staf hukum. LLM, itulah gelarnya, “lama-lama mati”.
Namun jangan dikira upah bagi si “pekerja super” ini diatas rata-rata
pekerja lain. Justru sebaliknya, akibat daya tawar yang rendah akibat over supply
sementara demand tidak sebanding
dengan jumlah angkatan kerja Sarjana Hukum baru yang terus dicetak setiap
tahunnya, diakumulasi dengan tenaga kerja hukum yang tidak terserap di
tahun-tahun sebelumnya, mengakibatkan setiap calon Staf Hukum harus “banting
harga” jasa dan keringat mereka.
Memang sangat ironis, mengharap bisa sesukses pengacara “beken” terkenal
yang digambarkan demikian glamor gaya hidupnya oleh berbagai media pers,
kalangan Sarjana Hukum menemui kekecewaan yang amat sangat setelah 4 tahun
menempuh pendidikan tinggi hukum yang menguras energi serta biaya. Tidak sampai
1 berbanding 10.000 pengacara yang betul-betul menuai buah manis dalam karir
kepengacaraan mereka. Angan-angan yang sangat tidak realistis dan cenderung
mengecoh kaum muda yang tergiur memasuki Fakultas Hukum yang sejatinya tidak menawarkan
masa depan yang cerah apapun.
Mari penulis ungkap satu fakta yang pastinya akan membuat Anda kian
terkejut: tren terkini, berbagai gugatan diajukan oleh masyarakat awam hukum,
tidak lagi menggunakan jasa pengacara yang kian rusak citranya di mata
masyarakat. Bila Anda berpikir profesi pengacara betul-betul dibutuhkan
masyarakat, maka berpikirlah seribu kali secara rasional di era digitalisasi
ini.
Kalangan konsultan dan pengacara yang kini termasyur (rata-rata berumur
diatas 60 tahun, dan sebagian diantaranya kini telah almarhum menyisakan nama
mereka kantor hukum peninggalan mereka), memperoleh ketenaran akibat jumlah
Sarjana Hukum diawal kemerdekaan Republik Indonesia masih sangat minim, itulah
sebabnya monopoli bidang usaha jasa hukum hanya didominasi segelintir nama
pihak-pihak senior yang kini menjadi populer namanya. Ketika jumlah cetakan
angkatan baru Sarjana Hukum “meledak” di Tanah Air, tidak ada sarjana hukum
yang betul-betul dapat membangun nama besar yang sama, karena memang faktor “over supply” demikian.
Untuk itu, tanpa bermaksud menakut-nakuti, penulis hendak memperingatkan,
bila tujuan Anda untuk menempuh pendidikan tinggi hukum bukan untuk membekali
diri Anda sendiri yang hendak menjadi entrepreneur
agar tidak memiliki kendala hukum selama membangun dan menjalankan bisnis
(sah-sah saja bagi kalangan pelaku usaha untuk memahami hukum kontrak dan
bisnis), maka sebaiknya Anda tidak menambah jumlah angka pengangguran Sarjana
Hukum baru. Bila tujuan Anda menjadi Sarjana Hukum hanya untuk lebih sibuk
melamar kerja, lebih baik lupakan impian menjadi Sarjana Hukum.
Perhatikan betul kebutuhan kalangan industri akan tenaga terampil lain
seperti teknik industri, IT, marketing, desain, hingga bidang-bidang disiplin
ilmu lain yang sifatnya diluar hukum yang sudah sangat jenuh dan tidak akan
terserap sekalipun berbagai perguruan tinggi melakukan moratorium Sarjana Hukum
baru untuk 10 tahun kedepan sekalipun.
Dari tahun ke tahun, jumlah peminat Staf Hukum dalam Calon Penerimaan
Pegawai Negeri selalu didominasi oleh mereka yang bergelar Sarjana Hukum,
karena memang jumlah angkatan kerja yang tidak terserap oleh dunia swasta ialah
kalangan Sarjana Hukum—sehingga wacana diatas bukanlah “isapan jempol” belaka.
Institusi pemerintahan yang membuka keran lowongan bagi tenaga hukum, hanyalah
Kementerian Hukum, Kejaksaan, Kepolisian, dan Mahkamah Agung. Lebih baik Anda
menjadi akuntan yang lebih dibutuhkan institusi negeri maupun swasta.
Kita dan masyarakat seolah tidak pernah mendapat informasi secara
terbukti atas fakta, bahwasannya banyak kalangan advokat (profesi yang paling
diidamkan dan diimpikan berbagai calon Sarjana Hukum muda) yang kini hanya
duduk menganggur tanpa pekerjaan. Hanya mengharap keberuntungan di kantor
mereka yang dipenuhi sarang laba-laba dan tamu-tamu kelelawarnya. Lampu kantor
mereka kian redup, dan kian redup lagi kian harinya, dikotori oleh debu yang
menebal di meja kerja mereka. Janganlah kita terkecok oleh gambaran semu
ketenaran dan hidup mewah kalangan profesi hukum—itu “lagu lama” yang tidak
lagi laku saat ini.
Selain banting harga, kalangan Sarjana Hukum masa kini harus jual murah
disamping mengobral murah jasa, ilmu, waktu, dan keringat mereka. Tidak ada
yang lebih dilematis daripada profesi kalangan jasa hukum. Berbagai perusahaan
bahkan lebih memilih membayar mahal seorang “makelar kasus” ketimbang profesi
jasa hukum profesional, karena dinilai lebih efektif di tengah praktik
peradilan kita yang masih kotor dan kolusif berdaya tinggi ini.
“Makelar kasus” yang bahkan tidak punya gelar Sarjana Hukum, bisa menang
di pengadilan melawan seorang Doktor Hukum, dan itulah fakta realita di negeri
ini, pil pahit yang harus kita telan, suka atau tidak suka. Untuk apa Anda
membuang waktu dan biaya selama 4 tahun hanya untuk dikalahkan oleh seorang
“makelar kasus” yang tidak berpendidikan yang bahkan tidak tahu sama sekali
asas-asas ilmu hukum?
Jangan dikira (mantan) pengacara beken senior sekaliber Otto Cornelis
Kaligis (OC Kaligis) dibayar mahal karena ilmu dan keterampilannya. Dirinya
dibayar mahal untuk menjadi “mafia” dan “makelar” sebagaimana terbukti dalam
vonis pidana terkait Gubernur Sumatera Utara, Gatot, dimana OC Kaligis menjadi
agen “makelar” hukum sang gubernur dalam melobi pejabat peradilan (PTUN Medan).
Banyak “makelar” yang mengemas diri mereka sebagai “pengacara” alias
advokat—dan sudah menjadi rahasia umum di kalangan pengusaha di Tanah Air,
bahwa advokat identik dengan “mafia” serta “makelar” yang kerjanya me-nego
kalangan pejabat pemerintah, pengadilan, kepolisian, serta kejaksaan. Tidak ada
“makelar” yang membuka kantor dengan nama “Kantor Makelar Hukum”, semua memakai
kemasan “Kantor Pengacara”.
Menjadi lucu bila ada kalangan pengacara yang mencoba membantah fakta
empirik demikian, yang sejatinya sudah diketahui oleh seluruh warga negara di
republik yang sudah hampir merdeka selama satu abad lamanya ini—namun masih
bermental bangsa “terjajah”.
Fenemena-fenomena seperti pengacara dan konsultan asing yang kini membuat
keruh dan kian sempit peluang kerja bagi angkatan tenaga kerja hukum lokal,
adalah bukti bahwa fenomena “over supply”
Sarjana Hukum merupakan tren global yang bukan hanya menjangkiti Indonesia.
Juga sudah merupakan rahasia umum, para pengacara dan konsultan asing yang kini
bekerja di Indonesia, adalah kalangan Sarjana Hukum “sampah” buangan dari
negeri asal mereka yang tidak lolos “seleksi alam” di negeri mereka sendiri,
dan menjadi menyedihkan justru menjadi predator bagi Sarjana Hukum lokal di
Indonesia yang lebih paham hukum di Tanah Air-nya sendiri.
Kita kembali ke fokus utama pembahasan. Terdapat sebuah kodrat yang
seolah menjadi “vonis” permanen bagi setiap Sarjana Hukum yang hendak
mencalonkan diri (“menjual murah keringat”) sebagai Staf Hukum di suatu
perusahaan lokal maupun perusahaan PMA (penanaman modal asing), yakni: bukan
menjadi penegak hukum, namun dipaksa untuk menjadi “budak” yang menghamba pada
keinginan pemilik perusahaan yang belum tentu sejalan dengan koridor hukum.
Ironis dari segala ironi yang terjadi, seringkali keinginan owner bersifat melawan hukum! Untuk itu,
pilihannya hanya dua: tunduk, atau mengundurkan diri untuk menemui pengalaman
pahit serupa di perusahaan baru lainnya. Ibarat keluar dari mulut harimau,
untuk masuk mulut buaya.
Bila sang Staf Hukum gagal menjalankan “misi” (perintah) yang diberikan
oleh atasan, maka dirinya akan dianggap sebagai “gagal” dan tidak lulus atau
tidak kompeten dalam bidang bukum. Semakin idealis sang Staf Hukum, semakin
dirinya akan ditolak oleh kalangan pelaku usaha di Tanah Air. Jadilah, demi survive di tengah perilaku kalangan
pengusaha di negeri kita yang tidak etis, seleksi alam ini mengakibatkan
berbagai kalangan Staf Hukum harus menjadi pelanggar paling masif terhadap
norma-norma hukum meski dirinya sadar betul telah menyerempet (menjelma menjadi
penganus paham pragmatisme hukum), menyimpang, dan melecehkan atau bila perlu
mengangkangi hukum negara... “demi sesuap nasi”! Tragis. Konflik batin semacam
itu jamak penulis jumpai terhadap para Staf Hukum yang sadar dirinya telah menjadi
rutin menyimpang dari hukum, namun tetap juga dilakoni demi gaji setiap
bulannya yang tidak seberapa.
Salah satu yang paling kerap didengar dari cerita-cerita rekan Sarjana
Hukum yang berkecimpung sebagai Staf Hukum, ialah: mengeksploitasi kalangan
tenaga kerja lain dengan menyimpangi hukum ketenagakerjaan, yang ironisnya,
dirinya sendiri juga adalah sesama pekerja, demi meladeni “nafsu” kalangan
pemilik usaha yang tidak kenal batas norma. Tidak ada pelaku usaha yang
betul-betul memedulikan nasib karyawan mereka, yang ada ialah eksploitasi dalam
makna sesungguhnya, “menghisap” keringat dan darah pekerja demi membangun “kerajaan”
bisnis sang owner.
Hal tersebut terlihat secara seronok dari timpangnya antara upah pekerja
mereka dengan gaji atau penghasilan si owner
dari perusahaan, bagai langit dan bumi. Bila perlu, para buruh dipaksa harus
terus menerima kenyataan pahit upah mereka terus bertengger pada skala UMR,
jika perlu dibawah UMR seperti yang juga sering penulis jumpai realitanya di
lapangan, atau bila perlu dipaksa untuk mengundurkan diri tanpa pesangon lewat
kebijakan mutasi. Perusahaan sedang merugi, demikian alibinya, sementara
penghasilan si pemilik perusahaan kian membengkak dari tahun ke tahun. Jauh
panggang dari api.
Untuk melakukan tugas-tugas “kotor”, lagi-lagi tangan Staf Hukum yang
harus menjadi “kotor”. Ketika sang Staf Hukum memasang badan untuk menghadapi
resiko, dan benar-benar tersandung masalah hukum, sang pengusaha akan semudah
“mencuci-tangan”, dengan menyatakan bahwa bukan dirinya yang memberi perintah
untuk menyuap pejabat negara, tapi si karyawan itu sendiri—persis seperti
pernyataan OC Kaligis yang mengkambing-hitamkan pegawainya sendiri ketika
menyuap hakim sebelum akhirnya aksi ilegal demikian “tercium” oleh penegak
hukum.
Ternyata, selain “menjual murah”, juga sampai harus “menjual
diri”—penulis tidak menemukan istilah lain yang lebih tepat dari bahasa vulgar
tersebut, karena memang itulah fakta realitanya yang dapat dengan mudah kita
jumpai sendiri, “menjual diri” atau mungkin lebih tepatnya “menjual murah diri”.
Tidak heran bila terdapat seorang rekan Sarjana Hukum berkata seperti
berikut pada penulis, “Daripada harus
menderita sebanyak ini sebagai staf hukum, harus melakukan perbuatan-perbuatan
kotor yang melanggar hukum demi memenuhi keinginan pimpinan perusahaan, namun
gaji demikian kecil dengan tanggungan dosa sebesar itu, lebih baik berkubang
sekalian dalam profesi kotor seperti pengacara.”
Kalangan Staf Hukum juga dituntut untuk punya kemampuan “menyihir” hal
yang ilegal menjadi tampak legal, tidak lain ialah kewajiban untuk mencari
celah hukum, atau bila perlu sengaja melanggarnya (lewat tangan si Legal Staf
tentunya), bila perlu menjadi “mafia / makelar” (the broker) yang melakukan pendekatan-pendekatan lobi ke
instansi-instansi pemerintah, demi kelancaran bisnis sang pengusaha.
Kalangan Staf Hukum juga menjadi “kambing-hitam” yang paling rentan
sekaligus empuk. Betapa tidak, bila draf kontrak tidak segera di-ACC oleh Divisi
Hukum, maka Divisi Marketing akan mendesak jika perlu memakai cara-cara
politisasi untuk mendiskreditkan Staf Hukum karena dinilai telah menghambat
operasional perusahaan dengan sikap tidak kooperatif. Staf Hukum
dikambing-hitamkan sebagai macet dan meruginya perusahaan karena tidak dapat
berproduksi demi memenuhi pesanan pelanggan. Kebanggaan bodoh, demikian penulis
menyebut profesi Staf Hukum, bangga secara bodoh dan konyol.
Ketika akhirnya menyerah pada desakan itu, lalu dikemudian hari
betul-betul terjadi masalah hukum, tidak lain Divisi / Staf Hukum yang menjadi
kambing-hitam untuk dilimpahkan segala kesalahan yang terjadi. Tidak ada
sasaran seempuk Staf / Divisi Hukum sebagai “Divisi Empuk Bully-ing” satu institusi
bisnis.
Staf Hukum juga dituntut untuk menjadi “superman”, dalam arti harus
mengetahui segala aspek hukum—suatu hal yang mustahil untuk saat kini, ditengah
rimba belantara hukum yang sudah demikian menggurita. Staf Hukum seorang diri
harus dituntut menguasai Hukum Pajak, Hukum Perseroan, Hukum Penanaman Modal,
Hukum Persaingan Usaha, Hukum Pasar Modal, Hukum Ketenagakerajaan, Hukum
Pertambangan, Hukum Kepailitan, Hukum Kredit, Hukum Pertanahan, Hukum
Perizinan, dan lain sebagainya. Jika satu pertanyaan atau permasalahan hukum
saja gagal atau tidak mampu dijawab / diselesaikan, maka dirinya akan semudah
diberi stempel “tidak kompeten”, yang harus siap “didepak” sewaktu-waktu untuk
diganti tenaga hukum baru yang juga hanya sekadar persinggahan untuk kemudian
bernasib serupa.
Adakah yang lebih ironis ketimbang profesi Sarjana Hukum? Semoga
pembahasan singkat ini memberi inspirasi sekaligus penyadaran bagi kaum muda
selagi belum terlanjut “tercebur” dalam profesi hukum yang sama sekali tidak
prospektif untuk setidaknya 10 tahun ke depan, terlebih jika memasuki era
digitalisasi yang serba otomatisasi dan juga harus menghadapi kecanggihan
teknologi seperti Artificial Intelligence
yang konon mampu menggantikan seluruh fungsi tenaga Sarjana Hukum.
Bila Anda ingin menambah banyak kantor hukum yang hanya menjadi tempat
menghuni laba-laba dan hanya menjadi sekadar sarang laba-laba, seperti yang
banyak penulis jumpai dengan mata kepala sendiri, maka Anda harus setidaknya
mempunyai visi dan misi yang jelas saat mendaftar sebagai calon Sarjana Hukum
agar tidak menyia-nyiakan waktu, energi, serta biaya Anda yang tidak sedikit.
Lebih baik menginvestasikan waktu serta perhatian pada apa yang lebih
produktif dengan menjadi pengusaha bagi diri Anda sendiri. Di Thailand, sekadar
perbandingan yang kontras dengan Indonesia, mencari tenaga kerja kian sukar,
karena generasi muda lebih memilih untuk menjadi pelaku usaha solo karir atau
merintis karir mereka sendiri—berkebalikan dengan fenomena di Indonesia.
Selalu ingat satu pesan berikut dari penulis: jangan taruh semua
“telur” milik Anda ke dalam satu keranjang saja, yang bila keranjang itu jatuh,
habislah semua modal kehidupan Anda. Tidak ada yang “keren” dari Sarjana
Hukum “gelandangan”, sama sekali tidak “keren”—bahkan patut diyakini sebagai
memalukan. Hati-hati terhadap gambaran semu seolah profesi hukum menawarkan
janji-janji manis yang menunggu dengan mobil mewah mengilap lengkap dengan jas
mentereng dan sekretaris cantik bergincu—faktanya semua jauh dari itu, sangat
jauh.
Mungkin saja benar mereka mengenakan jas dan mobil mewah, namun harga
diri mereka telah digadaikan pada sifat pragmatis yang melecehkan kode etik
profesi hukum. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang ternyata sedang
dikejar-kejar debt collector,
sehingga gugatan yang “sampah” yang sudah jelas akan kalah dan tidak berfaedah
pun, akan mereka garap demi mendapat fee
dari klien bodohnya—buang-buang waktu berbayar. Mengumbar iming-iming janji
kosong, adalah sebentuk penipuan terhadap nurani, terlebih etika. Mungkin, bagi
mereka, menjadi debitor macet namun dengan tetap mengenakan jas mentereng,
masih cukup membanggakan. Tersenyum dengan bodohnya, tampil dengan jas mewah,
meski perut keroncongan.
Lebih menarik dan lebih prospektif menjadi pengusaha yang mampu mandiri
dan berdikari, bebas secara finansial—setidaknya Anda tidak harus “menggadaikan
harga diri” hingga “menjual nurani”, sebagaimana nasib para rekan-rekan Sarjana
Hukum yang banyak bergelimpangan di berbagai perusahaan di Tanah Air. Tetap
saja, yang menjadi bos-nya ialah seorang pengusaha, sementara Sarjana Hukum
hanya menjadi sekadar “buruh” dalam arti yang sesungguhnya.
Bila gambaran tersebut belum cukup menakutkan bagi Anda, maka itu pilihan
hidup Anda sendiri. Menjadi pengusaha, artinya Anda dapat membuka lapangan kerja,
bahkan memekerjakan Sarjana Hukum, sekalipun Anda bukan seorang Sarjana Hukum. Mengapa
harus menjadi “buruh” bila Anda dapat memilih menjadi “bos” bagi karir Anda sendiri?
Tetap saja yang akan terkenal adalah “bos” Anda, sebanyak apapun keringat
Anda curahkan, dan gaji Anda tetap itu-itu saja. Bila Anda katakan berbisnis
penuh ketidakpastian, adakah yang pernah mengatakan pada Anda bahwa menjadi
karyawan penuh kepastian, pasti setiap bulan dapat upah? Pilihan kembali ke
tangan Anda masing-masing.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.