LEGAL OPINION
Question: Sekarang ini tren-nya masyarakat sudah tidak lagi
bergantung pada jasa advokat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan, sehingga
untuk apa lagi membayar fee pengacara yang bombastis mencapai nilai ratusan
juta yang belum tentu berfaedah. Zaman sudah berubah. Sepanjang sudah
mengantungi data hukum relevan yang memadai, maju sendiri juga sekarang sudah
bisa. Tapi bagaimana jika ingin melakukan kasasi, syarat apa saja yang paling
penting untuk perlu diketahui oleh masyarakat awam hukum?
Brief Answer: Pengajukan permohonan upaya hukum kasasi perkara
perdata di Pengadilan Negeri, dibatasi sepanjang masih dalam tempo waktu 14
(empat belas) hari sejak putusan sebelumnya diketahui atau sejak dibacakan Majelis
Hakim bila dihadiri oleh pihak bersangkutan. Pengajukan permohonan kasasi
diajukan ke hadapan penitera di Pengadilan Negeri.
Hal kedua yang juga perlu dicermati, mengajukan
permohonan kasasi wajib disertai / ditindak-lanjuti pula dengan memasukkan
berkas “memori kasasi”, sehingga bila kedua syarat mutlak tersebut diatas tidak
terpenuhi, maka permohonan kasasi akan dinyatakan “tidak dapat diterima” oleh
karena dikategorikan sebagai tidak memenuhi syarat formil
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut cukup
represntatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah
Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 973 K/Pdt.Sus-PHI/2016
tanggal 7 Desember 2016, perkara antara:
1. YULIDAR TARIGAN, Pemilik PT.
BPR Suwaya Kurada, sebagai Pemohon Kasasi I, semula selaku Tergugat II;
2. PT. BPR SETIA NATAPALA,
sebagai Pemohon Kasasi II dahulu Tergugat I; melawan
- BURHANUDDIN, selaku Termohon
Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat semula adalah karyawan yang bekerja pada Tergugat II (PT. BPR
Suwaya Kurada), terhitung sejak tanggal 25 November 2007 di bagian pemasaran kredit,
dengan status sebagai karyawan permanen. Namun sejak tertanggal 18 September
2013, Tergugat II (PT. BPR Suwaya Kurada) terjadi pergantian kepemilikan dari Yulidar
Tarigan selaku pihak penjual kepada Tuan Budi Setiawan dan Tuan Agus Cahyo
Hadiwinoto selaku pihak pembeli (pemegang saham baru).
Tanggal 10 april 2014, proses penjualan dari pemilik lama kepada pemilik
baru telah selesai dan semua karyawan dipekerjakan kembali seperti biasanya dan
ditempatkan pada posisi semula. Saat terjadi pergantian kepemilikan, Penggugat
tidak diberi hak untuk menyatakan pilihan “ikut atau tidak ikut” dari pemilik
perusahaan yang lama ke pemilik perusahaan yang baru, dan Penggugat masih tetap
bekerja seperti biasanya sampai adanya surat pemberhentian kerja dari Tergugat
I (PT. BPR Setia Natapala);
Tahun 2015, oleh pemilik yang baru telah terjadi perubahan nama
perusahaan dari Tergugat II (PT. BPR Suwaya Kurada) menjadi Tergugat I (PT. BPR
Setia Natapala). Tergugat I memutuskan untuk mengangkat Penggugat sebagai karyawan
tetap pada bagian landing, mulai tertanggal
16 April 2015 dengan suratnya yang ditanda-tangani oleh pihak Direktur PT. BPR
Setia Natapala (Tergugat I).
Meski demikian, secara tiba-tiba pada tanggal 26 Mei 2015 Penggugat
menerima surat pemberhentian kerja yang ditanda-tangani oleh direktur PT. BPR
Setia Natapala (Tergugat I) dengan alasan : “Sehubungan PT BPR Setia Natapala telah diakuisisi dan kondisi kantor
dalam tahun terakhir mengalami kerugian, sebagai efisiensi biaya maka
diputuskan untuk mengurangi jumlah karyawan.”
Pasca terjadinya pergantian kepemilikan perusahaan Tergugat II (PT. BPR Suwaya
Kurada) tahun 2013 dan perubahan nama perusahaan Tergugat II menjadi ke
perusahaan baru Tergugat I (PT. BPR Setia Natapala) tahun 2015, faktanya Penggugat
masih tetap bekerja seperti biasanya dengan masa kerja 7 tahun 6 bulan dihitung
sejak Penggugat mulai bekerja pada Tergugat I (PT. BPR Suwaya Kurada) dan
berakhir kerja setelah berganti nama menjadi Tergugat II (PT. BPR Setia Natapala).
Realitanya secara sepihak Tergugat I memutus hubungan kerja (PHK)
Penggugat pada tanggal 26 Mei 2015, hanya dengan menawarkan kompensasi pesangon
1 kali besaran Upah dan 1 kali THR (Tunjangan Hari Raya). Keberatan kedua dari
pihak Penggugat, masa kerja Penggugat dihitung oleh pihak manajemen terhitung sejak
tanggal 10 April 2014, alias mengamputasi masa kerja Penggugat. Penggugat
menolak keputusan Tergugat I dalam hal pemberian kompensasi, dikarenakan masa
kerja selama Penggugat bekerja pada Tergugat I dan Tergugat II tidak
diperhitungkan.
[Note
SHIETRA & PARTNERS: Akuisisi tidak mengubah hak maupun kewajiban dari subjek
hukum perseroan yang diakuisisi. Mengubah nama pun tidak mengubah hak dan
kewajiban apapun dari perseroan yang diubah namanya, karena subjek hukumnya
tetap saja sama sekalipun pengurus dan pemegang sahamnya silih-berganti.]
Setelah Tergugat I melakukan PHK sepihak dengan alasan adanya program
efisiensi atas keputusan managemen untuk mengurangi karyawan, maka Penggugat
mengajukan permohonan mediasi dalam rangka perundingan tripartit ke hadapan Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Karawang karena tidak adanya kesepakatan kedua belah
pihak. Berdasarkan permohonan demikian, pihak mediator Dinas Tenaga Kerja pada
tanggal 30 November 2015 menerbitkan Surat Anjuran, dengan substansi:
“MENGANJURKAN
1. Agar pihak pengusaha PT. BPR Setia Natapala memberikan uang pesangon
kepada pekerja Sdr Burhanudin sebesar 2 kali pesangon sesuai ketentuan Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 156 Ayat
(2), (3) dan (4) dengan rincian sebesar: ...;
2. Agar kedua belah pihak memberikan jawaban secara tertulis paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran ini;
3. Apabila salah satu atau kedua belah pihak menolak anjuran, maka pihak yang
merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Bandung.”
Yang menjadi pendirian pihak Pekerja, ialah norma Pasal 164 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur:
“Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja / buruh karena perusahaan tutup bukan
karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena
keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi
dengan ketentuan pekerja / buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Begitupula pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUUIX/2011 yang
menganulir keadah Pasal 164 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, sehingga alasan efisiensi oleh Tergugat I tidak dapat
dijadikan alasan untuk melakukan PHK terhadap Penggugat. Tergugat I hanya bisa
memilih jalan PHK, bila perusahaan Tergugat I tersebut tutup permanen. Faktanya
perusahaan Tergugat I sampai saat ini kegiatan usahanya masih beroperasi
seperti biasanya.
Putusan MK RI secara tegas menyatakan bahwa PHK hanya sah dilakukan setelah
perusahaan tutup secara permanen dan PHK merupakan pilihan terakhir sebagai
upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan
upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi. Berdasarkan hal itu, perusahaan
tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh beberapa upaya kebijakan “efisiensi
non-PHK”.
Tergugat I yang justru melakukan PHK secara sepihak dengan kategori “bukan
karena adanya kesalahan yang dilakukan pihak Pekerja”, dengan hanya menawarkan pesangon
senilai 1 x gaji, adalah jelas dan nyata Tergugat I tidak memiliki niat untuk
membayarkan pesangon. PHK sepihak terjadi pada bulan Mei, yang notabene
beberapa bulan lagi menjelang Hari Raya Keagamaan, sehingga Penggugat juga
berhak menuntut THR.
Berangkat dari konstruksi hukum demikian, pihak Penggugat selaku Pekerja
meminta agar Pengadilan Hubungan Industrial menghukum Tergugat I untuk membayar
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan normal, dengan merujuk norma Pasal
164 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian
menjatuhakn putusannya sebagaimana tertuang dalam register Nomor 40/Pdt.Sus-PHI/2016/PHI.Bdg.,
tanggal 1 Agustus 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan salinan
akta pengikatan jual beli saham dan vide bukti T-2 yang berupa kesepakatan
bersama jual beli saham, pada Pasal 6 yang pada pokoknya dinyatakan, bahwa
pihak pertama dalam hal ini Tergugat II akan memberhentikan semua karyawan dan
menyelesaikan kewajiban pembayaran yang ada terhadap semua karyawan dan pihak
kedua dalam hal ini Tergugat I akan mengutamakan untuk melanjutkan hubungan
kerja dengan karyawan yang ada pada perseroan, hal ini membuktikan telah adanya
kesepakatan antara Tergugat I dan Tergugat II bahwa ada pemisahan tanggung
jawab terhadap karyawan sebelum dan setelah terjadinya akuisisi, serta
keterangan saksi-saksi Penggugat maupun saksi Tergugat I yang menyatakan bahwa
belum ada pembayaran berupa apapun kepada Penggugat sebagai akibat telah
terjadinya akuisisi, maka berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim berpendapat
terhadap petitum angka 4 dapat dikabulkan sebagian;
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Putus Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat I dan
Tergugat II sejak tanggal 30 November 2015;
3. Menghukum Tergugat I untuk membayar hak upah dari Penggugat sebagai pekerja
yang belum Terbayar secara tunai dan sekaligus sampai dengan hubungan kerja
dinyatakan putus sebesar Rp3.250.000,00 x 6 bulan = Rp19.500.000,00;
4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung-renteng
untuk membayar hak-hak atas putusnya hubungan kerja terhadap Penggugat sebesar
Rp78.487.500,00 dengan perincian sebagai berikut:
- Uang pesangon : 2
x 9 x Rp 3.250.000,- = Rp58.500.000,00
- Uang penghargaan masa kerja :
1 x 3 x Rp3.250.000,- = Rp 9.750.000,00
- Uang penggantian hak : 1 x 15
% x Rp. 68.250.000,- = Rp10.237.500,00
Jumlah = Rp78.487.500,00
5. Membebankan seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini kepada negara sebesar
Rp1.356.000,00;
6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Meski amar putusan cukup rancu, karena sejatinya antara Tergugat I dan
Tergugat II adalah satu badan hukum perseroan yang sama yang hanya merubah nama
perseroan, tidak merubah eksistensi badan hukum yang diakuisisi, putusan
Pengadilan Hubungan Industrial Bandung di atas diucapkan dengan hadirnya Tergugat
II pada tanggal 1 Agustus 2016, lalu Tergugat II mengajukan permohonan kasasi
pada tanggal 15 Agustus 2016 yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Bandung, permohonan tersebut diikuti dengan memori
kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 22 Agustus 2016.
Pihak Pengusaha maupun sang Pekerja, sama-sama mengajukan upaya hukum kasasi.
Adapun pokok keberatan pihak Pengusaha bahwa frasa “akan memberhentikan” harus
ditafsirkan sebagai kewajiban Pemohon Kasasi dan pemilik lama perusahaan
lainnya kepada pemilik baru (Termohon Kasasi II) untuk memberhentikan seluruh
karyawan, sehingga apabila Termohon Kasasi I tidak diberhentikan oleh karena
Termohon Kasasi I memilih melanjutkan hubungan pekerjaan dengan Termohon Kasasi
II, maka telah ada perhitungan tersendiri antara Termohon Kasasi II (pemilik baru)
dan Pemohon Kasasi mengenai hak dan kewajiban diantar mereka dimana tidak
mengakibatkan kerugian pada Termohon Kasasi I karena kesepakatan tersebut hanya
mengikat pihak-pihak yang menanda-tanganinya.
Pemohon Kasasi tidak pernah memberhentikan Termohon Kasasi I, karena
Termohon Kasasi I mengambil sikap melanjutkan hubungan kerja dengan pemilik
baru, sehingga tidak ada akibat hukumnya antara Pemohon Kasasi dengan Termohon
Kasasi I mengenai PHK yang dilakukan oleh Termohon Kasasi II.
Pasal 6 perjanjian dimaksud adalah perjanjian antara Pemohon Kasasi beserta
para pemilik saham lainnya dengan pemilik baru perusahaan yang hanya mengikat
pada mereka yang menanda-tangani perjanjian saja, artinya Pemohon Kasasi dan pihak
penanda-tangannya semata yang tunduk pada perjanjian dimaksud, tidak mengikat
Termohon Kasasi I.
Semestinya Penggugat menuntut Tergugat I saja yang melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan Penggugat, demikian urai pihak Tergugat Ii. Dimana
terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai
berikut:
“Menimbang, bahwa putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tersebut telah
diucapkan dengan hadirnya Tergugat I pada tanggal 1 Agustus 2016, terhadap
putusan tersebut Tergugat I melalui kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 16 Agustus 2016 mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 16 Agustus
2016, sebagaimana ternyata dari Akta Pernyataan Permohonan Kasasi Nomor ... ,
yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Bandung, permohonan tersebut diikuti dengan memori kasasi yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung pada
tanggal 31 Agustus 2016;
“Menimbang, bahwa permohonan
kasasi diajukan pada tanggal 16 Agustus 2016, sedangkan memori kasasi
baru diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Bandung pada tanggal 31 Agustus 2016, dengan demikian pengajuan
memori kasasi Pemohon Kasasi II /Tergugat I tersebut telah melewati tenggang
waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,
oleh karena itu permohonan kasasi untuk Pemohon Kasasi II / Tergugat I : PT.
BPR Setia Natapala tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
a. Keberatan Pemohon Kasasi I:
“Bahwa keberatan tersebut tidak
dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi
yang diterima tanggal 22 Agustus 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 13
September 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung, tidak salah
menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa pemutusan hubungan
kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat karena tindakan efisiensi,
maka Penggugat berhak atas konpensasi sebagaimana telah dipertimbangkan dengan
tepat oleh Judex Facti dalam menentukan hak-hak Penggugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan
di atas lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi I Yulidar Tarigan tersebut ditolak;
b. Keberatan Pemohon Kasasi II:
“Menimbang, bahwa oleh karena pengajuan
permohonan kasasi Pemohon Kasasi II, telah melewati tenggang waktu 14 (empat
belas) hari, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 ayat (1) Undang Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2009, maka pengajuan kasasi oleh Pemohon Kasasi II PT. BPR Setia
Natapala, dinyatakan tidak dapat diterima;
“M E N G A D I L I :
1. Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
II / Tergugat I : PT. BPR SETIA NATAPALA tersebut;
2. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I / Tergugat II : YULIDAR
TARIGAN tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.