LEGAL OPINION
Question: Ada orang yang mengancam mau gugat kami, dia mau
gugat kami untuk rebut tanah kami. Dia mengklaim seenaknya, lalu kami mau
digugat seenaknya. Sebenarnya keadilan hukum itu dimana, orang punya tanah bisa
digugat seenaknya oleh orang lain? Bukankah untuk hidup tenang tanpa diganggu
ketenangan hidup kita, adalah hak asasi?
Brief Answer: Biarkan saja pihak-pihak tersebut mengajukan
gugatan absurb (menyalah-gunakan fungsi lembaga peradilan), mengingat di era
keterbukaan informasi sekarang ini, semua putusan wajib dibuka ke publik,
sehingga menggugat dapat dimaknai sama seperti “membuka aib sendiri”. Warga
negara yang direpotkan dengan “diseret secara paksa” sebagai Tergugat di
persidangan, dapat menggunakan kesempatan lewat momen gugatan demikian, yakni dengan
mengajukan gugatan-balik “rekonvensi”, agar gugatan Penggugat berbalik menjadi “bumerang”
bagi dirinya sendiri.
Itulah sebabnya mengapa menjadi penting menjadi
subjek hukum yang taat terhadap hukum, beraktivitas dan berkegiatan usaha
sesuai jalur / koridor hukum yang ada, menjadi warga yang patuh terhadap norma-norma
hukum, agar sekalipun suatu waktu bermasalah dengan warga negara atau subjek
hukum lain yang ingin “bermain” secara hukum, hukum secara sendirinya telah memberi
perlindungan bagi subjek hukum yang selama ini taat terhadap hukum.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi
konkret yang sangat mencerminkan bahaya dibalik gugatan yang tidak rasional
sekaligus “harga sosial” yang harus dibayar untuk gugatan irasional semacam
itu, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan sengketa register Nomor
667 K/Pdt./2016 tanggal 14 Juni 2016, perkara antara:
- WARGINO, sebagai Pemohon
Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
1. SEHA; 2. NORMA YUNITA, selaku
Para Termohon Kasasi dahulu Para Tergugat.
Penggugat mengdaku sebagai pemilik yang sah atas 2 bidang tanah seluas 1.260
m2, yang semula diperoleh Penggugat masing-masing berasal dari satu bidang tanah
milik Poniyem berdasarkan Surat Penyerahan Hak Atas Tanah dengan ganti rugi tertanggal
24 November 1990 yang kemudian surat di-legalisasi oleh dan di hadapan pejabat
yang berwenang sebagaimana tertuang dalam Surat Pernyataan Penyerahan dan
Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi tertanggal 31 Juli 2000 seluas 630
m2.
Kepemilikan hak atas satu bidang tanah yang lainnya, diperoleh Penggugat
berasal dari tanah milik Ngatinah, berdasarkan Surat Penyerahan Hak Atas Tanah
dengan ganti rugi tertanggal 1 Juni 1991 seluas 630 m2. Sejak kedua bidang
tanah tersebut diganti rugi oleh Penggugat dari Poniyem dan Ngatinah, Penggugat
telah menguasai, mengusahai, menanami, mengelola dan mengolahnya sampai dengan
saat kini.
Pada bulan Mei 1994, Penggugat mendatangi almarhum M. Nasir RM. (meninggal
dunia pada tahun 2008), selaku suami dari Tergugat I dan ayah kandung dari
Tergugat II, bermaksud untuk meminjam sejumlah uang sebesar Rp2.650.000,00 untuk
jangka waktu selama 6 bulan, dimana Penggugat telah menerimanya sebagaimana
tertuang dalam kuitansi tanda-terima tertanggal 7 Mei 1994.
Sebagai jaminan dari Penggugat atas pelunasan pinjaman tersebut kepada almarhum
M. Nasir RM., yaitu 2 bidang tanah darat milik Penggugat tersebut, yang
merupakan satu hamparan kesatuan dan berbatasan langsung. Perjanjian pinjam-meminjam
uang dengan jaminan yang merupakan akta “dibawah tangan” tersebut diberi judul
“Surat Penyerahan Ganti Rugi Atas Sebidang Tanah Darat tertanggal 07 Mei 1994”.
Sekalipun judul tersebut telah secara eksplisit menyiratkan maksud
hubungan hukum yang terjadi, namun Penggugat tetap menyatakan bahwa surat tersebut
semula adalah Surat Perjanjian Pinjam Meminjam Uang dengan jaminan, namun entah
mengapa sewaktu akan ditandatangani oleh Penggugat dan almarhum M. Nasir RM.,
judul surat tersebut mengalami perubahan dan ditaruh judul oleh almarhum. M.
Nasir RM. menjadi “Surat Penyerahan Ganti Rugi Atas Sebidang Tanah Darat”,
padahal tujuan surat tersebut dibuat adalah sebagai penegasan supaya Penggugat
dapat membayar hutangnya kepada almarhum M. Nasir RM. tepat waktu dengan
ketentuan apabila dalam jangka waktu 6 bulan sejak surat ditanda-tangani Penggugat
tidak sanggup membayar hutangnya, maka tanah darat milik Penggugat tersebut
beralih hak kepemilikannya kepada almarhum M. Nasir RM selaku kreditor.
Pada mulanya, Penggugat berkeberatan untuk menandatangani surat dimaksud,
namun oleh karena Penggugat menaruh percaya kepada almarhum M. Nasir RM. Dikarenakan
juga telah lama menjalin kerjasama dalam pembuatan arang, akhirnya surat
tersebut Penggugat tanda-tangani.
Pada halaman belakang surat dimaksud oleh Kepala Desa Selotong, dibuat
perjanjian tambahan yang menyatakan “Dalam jangka waktu enam bulan setelah
surat penyerahan ini tidak dapat dikembalikan kepada pihak kedua maka tanah
tersebut menjadi hak milik pihak kedua”. Akan tetapi perjanjian tambahan
tersebut tidak pernah ditandatangani baik oleh Penggugat maupun almarhum M.
Nasir RM.
Bulan September 1994, alias 1 bulan sebelum pinjaman uang tersebut akan
jatuh tempo pada bulan Oktober 1994, almarhum M. Nasir RM. mengutus seseorang untuk
menagih uangnya tersebut kepada Penggugat. Menanggapi itu, Penggugat
menyerahkan sejumlah uang sebesar Rp1.800.000,00 sebagai pembayaran pinjaman
Penggugat kepada almarhum M. Nasir RM.
Pada saat itu juga, Penggugat menerangkan kepadanya bahwa untuk
kekurangan bayar pelunasan hutang sebesar Rp850.000,00 dari keseluruhan
pinjaman sebesar Rp2.650.000,00 diperhitungkan oleh Penggugat sebagai upah
kerja Penggugat yang selama 6 bulan yang tidak dibayarkan oleh almarhum M.
Nasir RM kepada Penggugat dalam kerjasama pembuatan arang. Selanjutnya
Penggugat berkesimpulan bahwa persoalan pinjam meminjam uang dengan jaminan
tersebut Penggugat anggap telah selesai dan tuntas.
Meski uang pinjaman telah diselesaikan secara tuntas oleh Penggugat
kepada almarhum M. Nasir RM melalui orang yang diutusnya untuk menagih piutangnya
kepada Penggugat, akan tetapi almarhum M. Nasir RM sampai dengan saat ini tidak
pernah menyerahkan asli bukti surat penyerahan ganti rugi tertanggal 7 Mei 1994
dan asli kuitansinya tersebut kepada Penggugat sebagai bukti pelunasan.
Tahun 2005, almarhum M. Nasir RM melaporkan Penggugat kepada Kepolisian
Sektor Secanggang atas laporan tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 378 KUHPidana, tindak pidana penggelapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 372 KUHPidana, dan tindak pidana penggelapan atas barang tidak bergerak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 ayat (1) KUH Pidana.
Atas dasar laporan pidana tersebut, terbitlah putusan Pengadilan Negeri
Stabat Nomor 444/Pid.B/2006/PN.Stb., tanggal 16 Agustus 2006, diputus secara
sah dan meyakinkan terbukti bersalah melakukan “perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara credit
verband sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat padahal diketahui bahwa yang
mempunyai atau turut mempunyai hak di atasnya adalah orang lain”, sehingga Penggugat
dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun.
Putusan Pengadilan Negeri Stabat tersebut kemudian dikuatkan lagi lewat putusan
Pengadilan Tinggi Medan Nomor 426/PID/2006/PT-MDN., tanggal 20 November 2006.
Hukuman penjara selama 1 tahun tersebut telah Penggugat jalani secara penuh, sehingga
saat kini Penggugat telah bebas.
Tidak berhenti sampai disitu, tanggal 8 April 2014, Tergugat II selaku ahliwaris
dari almarhum M. Nasir RM mengajukan pengaduan kepada Kepolisian Resor Langkat
di Stabat, dengan Penggugat sebagai terlapor atas dugaan penguasaan tanah tanpa
izin yang berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang
Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak
Atau Kuasanya.
Di dalam laporannya tersebut, Tergugat II mengklaim bahwa objek tanah yang
dikuasai oleh Penggugat adalah kepunyaan orang tua kandungnya (almarhum M. Nasir
RM), bahkan telah menuduh Penggugat dengan tuduhan pidana penguasaan tanah
tanpa izin yang berhak. Meski pada kenyataannya sejak kepemilikan objek tanah tersebut
Penggugat peroleh atas dasar jual-beli dari Poniyem dan Ngatinah sejak tahun 1990
dan 1991 atau hampir selama 25 tahun, objek tanah tersebut tetap ditempati,
ditanami, diolah dan dikelola oleh Penggugat sampai dengan saat kini, sama
sekali tidak pernah dikelola alias telah ditelantarkan oleh Tergugat I dan
Tergugat II selaku ahliwaris dari almarhum M. Nasir RM maupun almarhum M. Nasir
RM semasa hidupnya pada waktu menjalin kerjasama pembuatan arang dengan
Penggugat.
Dalam sanggahannya, pihak Tergugat menampik dengan menyatakan bahwa Surat
Penyerahan / Ganti Rugi Atas Sebidang Tanah Darat tertanggal 07 Mei 1994, berisi
klausula: “Maka oleh sebab itu mulai dari
tanggal penyerahan surat ini dan sekaligus ditandatangani, maka jatuhlah hak
tanah darat tersebut menjadi hak milik / garap oleh saudara Nasir (pihak kedua)
dengan cara sah dan benar.” Dengan demikian dari segi judul maupun
substansi, perjanjian demikian adalah jual-beli, bukan hutang-piutang dengan jaminan
berupa agunan.
Terhadap gugatan Penggugat maupun gugatan-balik Tergugat (rekonvensi), Pengadilan
Negeri Stabat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 22/Pdt.G/2014/PN Stb., tanggal
30 Maret 2015, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
Dalam Konvensi:
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat dalam Konvensi seluruhnya;
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat I dan II dalam Rekonvensi /
Tergugat I dan II dalam Konvensi sebagian;
2. Menyatakan Surat Penyerahan / Ganti Rugi Atas Sebidang Tanah Darat tertanggal
07 Mei 1994, berkekuatan hukum;
3. Menyatakan sebidang tanah seluas 1.260 m2 yang terletak di ... dengan
batas-batas sebagai berikut: ... adalah milik almarhum M. Nasir RM;
4. Memerintahkan Tergugat dalam Rekonvensi / Penggugat dalam Konvensi untuk
menyerahkan Surat Penyerahan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi tertanggal 24
November 1990 dan Surat Penyerahan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi tertanggal
1 Juli 1991 kepada Penggugat I dan II dalam Rekonvensi / Tergugat I dan II
dalam Konvensi dalam keadaan baik;
5. Menolak gugatan Penggugat I dan II dalam Rekonvensi / Tergugat I dan
II dalam Konvensi selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan
Negeri diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan, lewat putusannya
Nomor 212/PDT/2015/PT.MDN., tanggal 23 Oktober 2015.
Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah
Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan permohonan
kasasi dari Pemohon Kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena putusan
Pengadilan Tinggi Medan yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Stabat tidak
salah menerapkan hukum, putusan dan pertimbangan hukumnya sudah tepat dan benar
yaitu menolak gugatan Penggugat dalam Konvensi dan mengabulkan gugatan Para Penggugat
Rekonvensi untuk sebagian, putusan mana telah sesuai dengan fakta
persidangan yang telah dipertimbangkan secara cukup oleh Judex Facti yang
menunjukkan bahwa objek sengketa adalah milik Para Tergugat dalam Konvensi /
Para Penggugat dalam Rekonvensi yang berasal dari peninggalan orang tuanya
M. Nasir yang memperolehnya melalui penyerahan dengan pembayaran ganti rugi
kepada Penggugat dalam Konvensi / Tergugat dalam Rekonvensi, sedangkan Penggugat
dalam Konvensi / Tergugat dalam Rekonvensi tidak dapat membuktikan dalil-dalil
gugatannya bahwa penyerahan tanah objek sengketa kepada almarhum M. Nasir
adalah sebagai jaminan hutang Penggugat kepada almarhum M. Nasir, karena
itu putusan Judex Facti dalam perkara a quo sudah tepat sehingga layak untuk
dikuatkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Medan
dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi WARGINO tersebut harus
ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi WARGINO tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.