LEGAL OPINION
JENIS
KETERANGAN SAKSI “KATANYA” (DE AUDITU)
YANG MEMILIKI NILAI PEMBUKTIAN MATERIIL DI MATA HAKIM PERKARA PIDANA
Question: Ada oknum-oknum kader partai atau tim sukses
mereka yang melakukan “serangan fajar”, itu benar-benar bisa dipidana atau
hanya sekadar ancaman belaka?
Brief Answer: Terhadap tindak pidana “politik uang” (money politic), terdapat ancaman sanksi
pidana yang dalam praktik peradilan memang benar-benar diberlakukan, sekecil
apapun “politik uang” yang dilakukan, dengan maksud pelaku untuk mengiming-imingi
atau mempengaruhi keputusan calon pemilih dalam menyongsong pemilihan umum
(Pemilu), sehingga tidak lagi murni imparsial saat memilih.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi
konkret yang representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan
lewat putusan Pengadilan Negeri Masohi perkara pidana politik register Nomor 77/Pid.Sus/2014/PN.Msh
tanggal 26 Mei 2014, dimana terhadap tuntutan yang diajukan pihak Jaksa,
Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terdakwa
diajukan di muka persindangan karena telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan
dakwaan tunggal yaitu: perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 301 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Unsur ‘Setiap orang’;
2. Unsur ‘Dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih’;
3. Unsur ‘Untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta
pemilu tertentu.’
“Menimbang, bahwa dapat dikatakan
sebagai ‘memberikan’ yaitu menyerahkan sesuatu benda yang ada padanya atau
dalam penguasaannya kepada seseorang atau orang lainnya;
“Menimbang, bahwa sudah
merupakan notoir feiten, hari ... tanggal ... , adalah merupakan hari pemungutan
suara untuk pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang
dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia, termasuk si Desa Kamaria Kecamatan
kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat;
“Menimbang, ... , maka
diperoleh dikotomi dua keadaan yang berbeda yaitu apakah benar adanya terdakwa
telah memberikan uang kepada Nikodemus Tupessy sebagaimana diterangkan saksi a
quo diatas, ataukah sebaliknya terdakwa tidak pernah memberikan uang kepada saksi
Nikodemus Tupessy sebagaimana bantahan terdakwa? Sebab keterangan yang
mengkonstruksikan fakta bahwa terdakwa telah memberikan uang kepada saksi Nikodemus
Tupessy hanya bergantung pada keterangan saksi Nikodemus Tupessy, sedangkan
keterangan saksi Alfrets Putirulan maupun keterangan saksi Yusa Heumasse
mengenai pemberian uang dimaksud dari terdakwa kepada saksi Nikodemus Tupessy, bersifat
testimonium de audito, karena hanya merupakan hasil pendengaran mereka
dari saksi Nikodemus Tupessy, yang menyatakan kepada mereka bahwa uang sebesar
Rp. 600.000;- dimana masing-masing sebesar Rp. 200.000;- yang diberikan saksi Nikodemus
Tupessy kepada saksi Alfrets Putirulan dan saksi Yusa Heumasse, adalah merupakan
uang yang diperoleh saksi Nikodemus Tupessy dari terdakwa;
“Menimbang, bahwa disamping itu
pula sebagaimana dalam pembelaan (pledooinya), penasehat hukum terdakwa
berpendapat bahwa terdakwa tidaklah terbukti bersalah karena keterangan saksi Nikodemus
Tupessy yang menghubungi terdakwa melalui nomor handphone tidaklah dapat
dibuktikan oleh penuntut umum, padahal sebagaimana dakwaannya, percakapan
telepon adalah merupakan awal kontak / hubungan antara terdakwa dengan saksi Nikodemus
Tupessy, kemudian diikuti dengan pertemuan di rumah terdakwa. Sehingga dengan
tidak terbuktinya percakapan telepon dimaksud maka tidaklah benar adanya
pertemuan antara terdakwa dengan saksi Nikodemus Tupessy, termasuk pemberian
sejumlah uang kepada saksi Nikodemus Tupessy, sebagaimana bantahan terdakwa;
“Menimbang, bahwa terhadap
keterangan saksi Nikodemus Tupessy sebagaimana diuraikan di atas, belum dapat
disimpulkan sebagai keterangan yang utuh serta memiliki nilai kekuatan
pembuktian, jika tidak didukung oleh keterangan atau alat bukti lainnya sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang menganut prinsip ‘unus testis
nullus testis’, yakni keterangan seorang saksi saja tanpa disertai dengan
keterangan saksi atau alat bukti yang lain, maka keterangan seperti ini tidak
cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa;
“Menimbang, bahwa kendati pun
keterangan saksi Nikodemus Tupessy tentang menerima uang dari terdakwa berdiri
sendiri, akan tetapi keterangan a quo memiliki persesuaian dan diperkuat
dengan keterangan saksi Alfrets Putirulan yang mengatakan bahwa sebelum bertemu
dan menerima uang dari saksi Nikodemus Tupessy, saksi tersebut telah mengetahui
adanya uang pemberian terdakwa yang ada pada Nikodemus Tupessy, karena
sebelumnya saksi tersebut bertemu dengan anak terdakwa yaitu Ade Devin
Heumasse, dan mengatakan kepadanya bahwa bapaknya (terdakwa) telah memberikan
uang kepada saksi Alfrets Putirulan melalui saksi Nikodemus Tupessy;
“Menimbang, bahwa disamping itu
pula terungkap sebagai fakta hukum dari persesuaian keterangan saksi Nikodemus
Tupessy, saksi Alfrets Putirulan maupun saksi Yusa Heumasse, pada pokoknya
menerangkan bahwa mereka sempat bertemu dengan istri terdakwa (Marlin Heumasse
/ Sekawael) sekitar pukul 14.00 WIT, di rumah saksi Nikodemus Tupessy sesaat
setelah heboh adanya informasi tertangkapnya anak terdakwa yang bernama Ade
Devin Heumasse, karena memberikan uang saat pencoblosan kepada anak dari saksi
Alfrets Putirulan yang benama Inggrit Sahetapy. Dimana saat pertemuan tersebut,
istri terdakwa sempat mengatakan kepada saksi-saksi aquo, dia (istri terdakwa)
telah memberitahukan kepada anaknya bahwa jika ada yang bertanya, bilang saja
kalau uang tersebut dilempar oleh orang yang tidak dikenal dari dalam mobil. Setelah
itu istri terdakwa kembali ke rumahnya, dan tidak lama kemudian istri terdakwa
kembali bersama dengan terdakwa ke rumah Nikodemus Tupessy, lalu terdakwa
mengatakan ‘jang sampe dong dua jebak kaka’ dimana pernyataan terdakwa tersebut
ditujukan kepada saksi Nikodemus Tupessy dan saksi Alfrets Putirulan;
“Menimbang, bahwa rangkaian
keseluruhan keterangan saksi-saksi tersebut, membentuk suatu peristiwa /
keadaan, dimana antara satu dengan lainnya memiliki hubungan sedemikian rupa sehingga
secara logis linear dapat dikonstruksikan sebagai suatu kerangka kenyataan
yang utuh, tanpa perlu membuktikan ada tidaknya nomor handphone
sebagaimana dipermasalahkan penasehat hukum terdakwa, oleh karenanya pledooi
penasehat hukum a quo haruslah dikesampingkan. Sehingga dengan demikian majelis
berkesimpulan, keterangan saksi Nikodemus Tupessy sepanjang menjelaskan tentang
pertemuannya dengan terdakwa dapat diyakini kebenarannya oleh Majelis dan
diterima sebagai suatu fakta hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
uraian dan pertimbangan fakta-fakta hukum diatas, maka Majelis berpendapat
bahwa perbuatan terdakwa yang memberikan uang kepada saksi Nikodemus Tupessy
adalah merupakan kesengajaan sebagai maksud / tujuan karena terdakwa
bermaksud dan menghendaki agar saksi Nikodemus Tupessy dalam melakukan
pencoblosan memilih Ismail Marasabessy, S/Pd., caleg dari Partai Nasdem. Demikian
pula tambahan uang Rp. 400.000;- sebagaimana dimintakan saksi Nikodemus
Tupessy, disadari betul oleh terdakwa sehingga terdakwa memberikannya
sesuai dengan permintaan, karena terdakwa memiliki tujuan dengan pemberian
uang tersebut agar orang yang menerima uang tersebut memilih Ismail Marasabessy;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud
dengan ‘Memilih peserta Pemilu tertentu’ yaitu supaya orang yang diberikan
materi lainnya (in casu adalah uang) oleh pelaku, memilih sesuai dengan
ajakan / anjuran dari pelaku i.c. terdakwa sebagai imbalan dari uang yang
diberikan;
“Menimbang, bahwa oleh karena
seluruh unsur dakwaan telah dipertimbangkan dan terbukti seluruhnya pada
perbuatan terdakwa JUNUS HEUMASSE alias NUS alias UNU, serta alat-alat bukti
yang diajukan dalam persidangan perkara ini telah memenuhi ketentuan minimum
alat bukti (bewijs minimum), maka Majelis Hakim berkeyakinan bahwa terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Dengan
sengaja pada hari pemungutan suara memberikan uang kepada pemilih untuk memilih
peserta pemilu tertentu’ sebagaimana yang diatur dan diancama dalam Pasal 301
Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, sebagaimana didakwakan dalam dakwaan
tunggal penuntut umum;
“Menimbang, bahwa pidana apa yang
tepat dan adil dijatuhkan kepada terdakwa, Majelis Hakim akan mempertimbangkan
berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sebagaimana terurai di
bawah ini:
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa telah menciderai proses demokrasi, dan meresahkan
Peserta Pemilu lainnya yang mengedepankan prinsip Pemilu yang jujur dan adil;
- Terdakwa tidak mengakui perbuatannya;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa belum pernah dijatuhi pidana karena melakukan suatu kejahatan
(recidivis), atau dengan kata lain terdakwa adalah pelaku pertama kali (first
offender);
- Terdakwa bersikap sopan selama persidangan;
- Terdakwa adalah merupakan tulang-punggung keluarga;
“Menimbang, bahwa mengenai
penjatuhan pidana (straafmart) telah terjadi perbedaan pendapat oleh Hakim
Ketua Majelis, dimana pada pokoknya berpendapat agar terhadap terdakwa dijatuhi
pidana bersyarat, dengan pertimbangan bahwa dalam perkara a quo, terdakwa
tidaklah dapat dipersalahkan sendiri karena dia tidak bertindak sendiri, justru
dibantu oleh setidak-tidaknya saksi Nikodemus Tupessy, yang turut serta dalam
melakukan ‘money politic’, karena dialah yang memiliki inisiatif dan meminta
tambahan uang sebesar Rp 400.000 yang kemudian uang tersebut saksi Nikodemus
Tupessy sendiri yang memberikannya masing-masing sebesar Rp. 200.000;- kepada
saksi Alfrets Putirulan dan saksi Yusa Heumasse.
“Pada sisi lainnya, masifnya
fenomena money politic di setiap pemilu, lazimnya menjadikan masyarakat menjadi
objek sekaligus subjek dari setiap pelanggaran pidana pemilu dengan memanfaatkan
kemiskinan serta kebodohan mereka. Padahal seesungguhnya tanggung jawab untuk
menciptakan pemilu yang bermartabat, demokratis, jujur, dan adil, disamping ada
pada penyelenggara, juga menjadi tanggung jawab partai politik termasuk
didalamnya setiap anggota legislatif.
“Juga perlu dipertimbangkan
bahwa sistem pemidanaan modern bukanlah semata-mata didasarkan pada prinsip
retributive sebagai sarana balas dendam, sebab hal tersebut bisa menjadikan terdakwa
anti rehabilitasi bahkan tidak menghargai hukum karena diputuskan terlampau
berat, dan oleh karenanya tujuan pemidanaan tidak tercapai.
“Pada sisi lain, pemidanaan
juga harus dilihat dari kacamata ultimum remedium, yakni sebagai wahana
rehabilitasi guna memperbaiki tingkap laku pelaku, agar membuatnya menjadi jera
dan insyaf sehingga tidak mengulangi perbuatannya pada masa-masa yang akan
datang, terutama kepada terdakwa yang notabene merupakan kategori pelaku-pelaku
kebetulan (accidental offenders), yang mana pada pelaku-pelaku kebetulan
ini tidaklah mustahil jika dipenjara lebih lama dapat menimbulkan kecenderungan
untuk melakukan tindak pidana lebih lanjut setelah terdakwa keluar dari penjara
sebagai akibat pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis;
“Menimbang, bahwa terlepas dari
pendapat berbeda di atas, kedua anggota Majelis lainnya akan menjatuhkan pidana
kepada terdakwa yang dipandang adil dan setimpal dengan perbuatan terdakwa
sebagaimana amar putusan di bawah ini;
“Menimbang, bahwa terhadap
terdakwa di samping akan dijatuhi pidana penjara juga dijatuhi pidana denda,
maka mengenai pidana denda tersebut apabila tidak dibayar oleh terdakwa harus
digantikan dengan pidana kurungan yang lamanya sebagaimana dalam amar putusan
ini;
“M E N G A D I L I :
- Menyatakan terdakwa JUNUS HEUMASSE alias UNU alias NUS, terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Dengan Sengaja pada
hari pemungutan suara memberikan uang kepada pemilih untuk memilih peserta
pemilu tertentu’ sebagaimana dakwaan penuntut umum;
- Menjatuhkan pidana kepada terdakwa JUNUS HEUMASSE alias UNU alias NUS,
dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan Pidana Denda sebesar Rp.
2.000.000;- (dua juta rupiah);
- Menetapkan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar oleh terdakwa,
maka diganti dengan pidana kurungan selama 10 (sepuluh) hari kurungan.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.