LEGAL OPINION
Question: Sebetulnya apakah perjanjian hutang-piutang
dengan fidusia, itu perjanjiannya wajib dibuat notaris atau bisa juga sifatnya
cukup dibuat “dibawah tangan”? Jangan sampai biaya buat aktanya yang bila
diwajibkan dibuat oleh notaris, justru lebih mahal daripada objek pembiayaannya
seperti kendaraan roda dua.
Brief Answer: Hukum yang baik, mendorong terciptanya efisiensi
dalam pergaulan sosial termasuk lingkup usaha, bukan justru melahirkan prosedural
dengan “ekonomi berbiaya tinggi”. Perjanjian pembebanan jaminan kebendaan
sebagai agunan, merupakan perjanjian turunan (asesoir) dari perjanjian pokoknya, yang seringkali berupa
perjanjian hutang-piutang.
Baik ketentuan hukum tentang pembebanan jaminan
kebendaan berupa agunan yang diikat dengan Hak Tanggungan maupun Fidusia,
berdasarkan undang-undang, yang diwajibkan berbentuk akta notaril ialah akta
pembebanan jaminan kebendaan (bahkan Akta Pembebanan Hak Tanggungan wajib
berbentuk akta Pejabat Pembuat Akta Tanah), terlepas apakah perjanjian pokoknya
juga merupakan akta notaril ataupun akta “dibawah-tangan”.
Hal tersebut secara logika hukum sedernana dimungkinkan,
mengingat pemberian akta pembebanan sebagai jaminan pelunasan piutang (agunan) demikian,
secara tidak langsung mengindikasikan sang debitor telah mengakui benar
adanya “perjanjian pokok” yang dijamin dengan “perjanjian turunannya” berupa
pemberian / pembebanan agunan dengan perikatan Hak Tanggungan maupun Fidusia.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi
konkret yang dapat menggambarkan “penghalusan” penerapan norma hukum yang
semula bersifat imperatif menjadi fakultatif dengan alasan dalam rangka
rasionaliasi penerapan norma hukum, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS
cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa objek fidusia register Nomor
562 K/Pdt/2012 tanggal 24 September 2012, perkara antara:
- YUDI HERIYANTO, sebagai Pemohon
Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
- PT. CLIPAN FINANCE cq. PT. CLIPAN FINANCE KANTOR CABANG
BANDUNG, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Bermula pada tanggal 22 Mei 2008 antara Penggugat dan Tergugat disepakati
Perjanjian Pembiayaan Konsumen (perjanjian pokok), namun perjanjian tersebut dibuat
secara “dibawah tangan” alias bukan dengan akta otentik. Tergugat memberi
fasilitas pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana guna pembelian kendaraan
bermotor berupa mobil, kepada pihak Tergugat yang mana jumlah pembiayaannya
ditentukan maksimal sebesar Rp.183.750.000,00.
Berdasarkan Perjanjian, Penggugat diwajibkan mengangsur cicilan bunga serta
pokok hutangnya, sebesar Rp.7.019.000,00 per bulan selama jangka waktu 36 bulan.
Namun sejak cicilan ke-8, Penggugat mengalami keterlambatan pembayaran, dengan
alasan bahwa usaha Penggugat sedang terancam pailit. Uniknya, dalam gugatan ini
pihak Penggugat justru menuntut agar Majelis Hakim membatalkan perjanjian dimaksud
dan memerintahkan Penggugat dan Tergugat untuk membuat perjanjian penjadwalan
ulang hutang (rescheduling) agar
jangka waktu cicilan diperpanjang hingga mencapai 10 tahun dari semula 3 tahun.
Note SHIETRA & PARTNERS: Akta “dibawah tangan”, disebut tidak otentik
karena dapat dibantah oleh salah satu pihak yang tidak mengakui tanda-tangan
yang dibubuhkan di dalamnya. Dalam gugatan ini, pihak Penggugat justru mengakui
seluruh isi akta “dibawah tangan” demikian, sehingga sejatinya “Akta dibawah
tangan + Pengakuan = Akta Mutlak Tak Terbantahkan”. Begitupula norma
pasal 1338 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, telah ditegaskan bahwa isi
kesepakatan tak dapat diubah secara sepihak ataupun secara dipaksakan.
Sejak terjadi tunggakan sampai dengan gugatan diajukan, masih menurut
pihak Penggugat, Penggugat memohon untuk dilakukan keringanan berupa besaran cicilan
diperingan dan jangka waktu diperpanjang, mengingat objek kendaraan telah
beberapa kali mengalami kerusakan, yang bila dijual maka nilai jualnya
sangatlah rendah, namun Tergugat tidak bersedia memberi kelonggaran dan justru ingin
“menarik” mobil objek pembiayaan.
Meski diakui sendiri oleh Penggugat bahwa diri bersangkutan telah “wanprestasi”,
namun dalam gugatan ini pihak Penggugat justru menyebutkan bahwa tiadanya toleransi
demikian membuat Tergugat disebut sebagai telah melakukan perbuatan melawan
hukum. Penggugat mohon kepada Majelis Hakim agar berkenan menyatakan Tergugat
telah melakukan “perbuatan melawan hukum”, serta memerintahkan Tergugat agar
kooperatif dan tidak melanggar hukum—SHIETRA & PARTNERS menyebutnya sebagai
gugatan yang terlampau percaya diri namun tidak rasional, cenderung dapat
menjadi bumerang sebagaimana terbukti dalam amar putusan yang akan terjadi.
Penggugat kembali menyinggung, perjanjian pembiayaan dibuat secara “dibawah
tangan”, sehingga Penggugat yang awam hukum, merasa dikelabui karena perjanjian
cenderung menguntungkan Tergugat semata. Terhadap gugatan “play victim” demikian, pihak Tergugat mengajukan gugatan balik
(rekonpensi), dimana pihak perusahaan pembiayaan mengklaim menderita Kerugian Materiil
senilai Rp.250.250.713,00 derigan perincian sebagai berikut:
- Sisa pokok hutang yang harus
dibayarkan adalah sejumlah Rp.100.699.373,00;
- Bunga Berjalan Rp. 459.180,00;
- Biaya Penalti Rp.
4.027.980,00;
- Tunggakan Angsuran Rp.
84.228.000,00;
- Denda Keterlambatan Rp.
59.156.180,00;
- Biaya Penagihan sejumlah Rp.
1.500.000,00;
- Biaya Tolakan Giro Rp.
180.000,00.
Karena Penggugat telah ingkar janji terhadap Tergugat dan Sertifikat Fiducia
yang dimiliki Tergugat memiliki kekuatan eksekutorial berdasarkan norma Pasal
15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, maka Penggugat wajib menyerahkan unit yang
menjadi obyek jaminan fidusia kepada Tergugat.
Terhadap gugatan “yang terlampau memaksakan diri” demikian, Pengadilan
Negeri Bandung kemudian menjatuhkan putusan sebagaimana register Nomor
299/Pdt.G/2009/PN.Bdg., tanggal 7 Juli 2010, dengan amar sebagai berikut:
Dalam
Konvensi:
1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;
Dalam
Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat dalam Rekonvensi / Tergugat dalam
Konvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat Rekonvensi telah melakukan perbuatan ingkar janji
(wanprestasi);
3. Memerintahkan kepada Tergugat Rekonvensi agar menyerahkan ... yang
menjadi obyek jaminan fidusia kepada Penggugat Rekonvensi berdasarkan
Sertifikat Fiducia Nomor ... tertanggal ... yang memiliki kekuatan eksekutorial;
4. Menghukum Tergugat dalam Rekonvensi / Penggugat dalam Konvensi untuk membayar
biaya perkara sebesar nihil;
5. Menolak gugatan Penggugat dalam Rekonvensi / Tergugat dalam Konvensi untuk
selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor 299/Pdt.G/2009/PN.Bdg., tanggal 7 Juli 2010 tersebut kemudian
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung lewat putusannya Nomor
43/Pdt/2011/PT.Bdg., tanggal 11 Mei 2011.
Sang konsumen pengguna jasa pembiayaan mengajukan upaya hukum kasasi, dengan
pokok keberatan yang sama bahwa Perjanjian Pembiayaan Konsumen dibuat secara “di
bawah tangan”, bukan di hadapan Notaris (bukan akta otentik), sehingga bertentangan
dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, yang mengatur: Pembebanan benda dengan jaminan Fidusia dibuat
dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia.
Penggugat berpendirian, bahwasannya seorang debitor memiliki hak untuk mengajukan
penjadwalan hutangnya yang disesuaikan dengan kemampuan dari pihak debitor. Ditambahkan,
apabila terjadi perselisihan mengenai jumlah hutang baik pokok maupun bunga
antara debitor dan kreditornya, maka demi kepastian hukum dapat dimohonkan
kepada pengadilan untuk menetapkan besarnya hutang baik pokok maupun bunganya yang
harus dibayar oleh si debitor kepada kreditor; bahkan dalam keadaan tertentu
bisa saja debitor memohon agar dibebaskan dari beban bunga, mengingat kemampuan
dari diri si debitor bersangkutan.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar
putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa, alasan-alasan pada
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi dalam hal ini Penggugat tidak dapat
dibenarkan, karena Judex Facti (Pengadilan Negeri / Pengadilan Tinggi) tidak
salah dalam menerapkan hukum;
“Bahwa, perjanjian yang
dibuat oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi adalah sah
serta mengikat para pihak;
“Bahwa, Pemohon Kasasi terbukti
wanprestasi dengan telah menunggak angsuran pembayaran hutang kepada Termohon
Kasasi;
“Bahwa, Judex Facti (Pengadilan
Negeri / Pengadilan Tinggi), baik dalam pertimbangan maupun putusannya telah
benar dengan menolak gugatan konvensi dan sebaliknya mengabulkan gugatan
rekonvensi, karena telah terbukti pihak Penggugatlah yang telah melakukan
wanprestasi atas perjanjian yang telah disepakati;
“Menimbang, bahwa dari uraian
tersebut diatas, maka alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi tidak dapat
dibenarkan karena putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Bandung dengan putusan
Nomor 43/PDT/2011/PT.Bdg., tanggal 11 Mei 2011 yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Bandung, yaitu putusan Nomor 299/Pdt.G/2009/PN.Bdg., tanggal
7 Juli 2010 sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan judex facti dalam
perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi YUDI HERIYANTO, tersebut
harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi YUDI HERIYANTO tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.