LEGAL OPINION
Question: Bila seseorang hendak kami mintakan sebagai
penjamin perseorangan (personal guarantee
/ borgtocht), sebetulnya istrinya itu
cukup kami mintakan “persetujuannya”, atau si istri juga harus didudukkan
sebagai pihak yang “ikut tanda-tangan” pemberian jaminan perseorangan itu
sebagai juga penjamin perseorangan sehingga seolah ada dua orang yang saling
memberikan jaminan perseorangan, yakni pasangan suami-istri itu?
Brief Answer: Istilah / terminologi hukum “istri / suami
memberi persetujuan”, hanya relavan dalam konteks lapangan hukum “persatuan
harta” antara suami-istri alias “harta bersama” (alias harta
“gono-gini”). Persetujuan di sini artinya sang suami / istri turut
mengetahui dan menyetujui pasangannya untuk mengikatkan diri terhadap pihak
ketiga terkait “harta bersama” yang menurut peraturan perundang-undangan
wajib atas persetujuan pasangannya yang terikat dalam perkawinan yang sah
berdasarkan hukum negara dan tidak dipisahkan harta kekayaannya berdasarkan
perjanjian perkawinan.
Sebagai contoh, seorang suami hendak mengagunkan
harta yang menjadi “harta bersama”, maka kedudukan istri cukup sebatas sebagai
pemberi “persetujuan” atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh sang suami,
yakni persetujuan untuk menjadikan objek “harta bersama” mereka sebagai agunan
jaminan pelunasan hutang-piutang, entah kedudukannya sekaligus selaku debitor
penerima fasilitas dana kredit atau murni sebagai penjamin kebendaan semata.
Menjadi kontras perbedaannya dengan konteks
pemberian jaminan pribadi perseorangan seperti / semacam Personal Guarantor, dimana bukan hanya lapangan hukum
“harta bersama” yang dapat dituntut untuk melunasi hutang debitor yang dijamin
/ ditanggung olehnya, namun juga hingga masuk ke dalam ranah “harta
bawaan” yang dapat ditagih dan dieksekusi dalam rangka pelunasannya.
Karena Personal
Guarantee bukan hanya mampu menyentuh “harta bersama” antara pasangan
suami-istri, namun juga menerobos hingga ke dalam “harta bawaan” masing-masing
pasangan sumi-istri, maka menjadi rancu ketika seorang suami menanda-tangani
Akta Pemberian Personal Guarantee
tanpa sepengetahuan dan tanpa disertai pemberian Personal Guarantee yang sama oleh sang istri secara “berpasangan”
sebagai dua pihak pemberi Personal
Guarantee—sehingga bukan hanya sekadar sebagai pemberian “persetujuan”
belaka.
Oleh sebab itu, dipailitkannya seorang suami
karena pernah memberikan Personal
Guarantee, mengingat sifatnya saling berpasangan sebagai pemberi Personal Guarantee, maka keduanya, yakni
sang suami dan sang istri, wajib dijadikan sebagai Termohon Pailit Kesatu dan
Termohon Pailit Kedua—tidak bisa hanya salah satunya saja.
Penetapan Pengadilan Niaga yang hanya
mempailitkan salah satu pasangan (tanpa turut mempailitkan suami / istrinya),
meski dirinya terikat perkawinan yang sah berdasarkan hukum negara, maka
penetapan demikian tidaklah sah dan dapat diajukan pembatalan—atau bahkan non-executable.
Bila suatu kreditor hanya mengantungi Akta
Pemberian Personal Guarantee dari
seorang suami tanpa juga disertai pemberian Personal
Guarantee dari sang istri dari suaminya tersebut, maka Akta Personal Guarantee “dapat dibatalkan”
dengan kategori “tidak cakap hukum” sang suami untuk memberikan Personal Guarantee.
Sementara bila suatu kreditor hanya sekadar sebatas
mendapatkan “persetujuan” dari sang istri terhadap Akta Personal Guarantee yang ditanda-tangani oleh sang suami, maka
“harta bawaan” dari sang istri tidak dapat dituntut untuk pelunasan
perikatan hutang-piutang, disamping itu juga sang istri tidak dapat
dipailitkan—sebagai konsekuensi sifat Personal
Guarantee maupun kepailitan yang memasuki juga hingga ranah “harta bawaan”.
PEMBAHASAN:
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
(1) Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari
masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta
bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan
masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Istilah “harta bersama”, dalam
terminologi hukum kepailitan juga dikenal, namun dengan istilah “persatuan
harta”. Untuk itu SHIETRA & PARTNERS perlu mengutip norma-norma rezim
kepailitan sebagai berikut. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:
“Kepailitan meliputi seluruh
kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu
yang diperoleh selama kepailitan.”
Pasal 22 Undang-Undang
Kepailitan: “Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, tidak berlaku terhadap:
a. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang
dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga
puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
b. segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu
atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
c. uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut undang-undang.”
Pasal 23 Undang-Undang
Kepailitan:
“Debitor Pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari
Debitor Pailit yang menikah dalam persatuan harta.”
Terdapat salah kaprah dalam
persepsi Mahkamah Agung Ri, seolah pemberian Personal Guarantee cukup disertai “persetujuan” oleh pihak istri /
pasangan dalam rumah-tangga. Salah kaprah demikian tampak jelas dalam putusan
Mahkamah Agung RI perkara perdata Nomor 2960 K/Pdt/2010 tanggal 10 Mei 2012,
sengketa antara:
- PT. PERTAMINA DANA VENTURA,
sebagai Pemohon Kasasi semula selaku Penggugat; melawan
- KAIRUDIN NUR, selaku Termohon
Kasasi dahulu Tergugat.
Guna menjamin pelunasan / pembayaran kembali fasilitas kredit, pihak
kreditor telah menerima jaminan-jaminan hutang yang salah satunya berupa
jaminan pribadi (personal guarantee)
dari Tergugat. Terhadap hutang-piutang tersebut, Tergugat telah menyatakan
mengikatkan diri sebagai penanggung hutang (personal
guarantor / borgtocht) yang akan membayar sampai lunas semua jumlah hutang
kredit pihak debitor kepada kreditornya menurut Perjanjian Kredit, yang terdiri
dari hutang pokok, bunga, maupun denda.
Jaminan pribadi tersebut dinyatakan Tergugat secara tegas dan jelas dalam
Akta Jaminan Pribadi (Personal Guarantee)
yang dibuat secara otentik di hadapan Notaris, dimana dalam rangka kepentingan
perbuatan menjamin pelunasan hutang dimaksud, telah ternyata mendapat persetujuan
dari pihak isteri dari Tergugat.
Dimana dalam perkara ini, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar
putusan sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan dan
keberatan Pemohon Kasasi tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan
Tinggi / Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan
sebagai berikut:
- Terbukti bahwa Tergugat terikat dengan Akta Jaminan Pribadi dan telah
mendapat persetujuan dari isterinya;
“M E N G A D I L I :
Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan gugatan pihak Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan Wanprestasi;
3. Menyatakan perjanjian jaminan pribadi (Personal Guarantee)
No. ... tanggal ... sah dan mengikat Penggugat dan Tergugat;
4. Menyatakan perjanjian pengalihan piutang (Cessie) No. ... tanggal ... sah
dan mengikat Penggugat dan Tergugat;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar sebagian jumlah hutang (pokok, bunga
dan denda) kredit sebesar 1/3 dari Rp.20.000.000.000,- (dua puluh milyar
rupiah) = Rp.6.666.666.666,-;
6. Menyatakan menolak gugatan selebihnya.”
Konsekuensi yuridis Akta
Pembeian Personal Guarantee yang
hanya berupa “persetujuan” istri, maka “harta bawaan” milik sang istri tidak
dapat ditagih sebagai pelunasan piutang, namun hanya sebatas “harta bersama”
yang dapat dituntut sebagai objek eksekusi guna pelunasan.
Terminologi yuridis berupa “persetujuan”
istri, hanya dikenal dalam terminologi lapangan hukum “persatuan harta” atau
“harta bersama” sebagaimana telah SHIETRA & PARTNERS ulas dan kutipkan
regulasi yang mengaturnya, semisal ketika seorang suami mengagunkan aset “harta
bersama” sebagai jaminan pelunasan hutang, maka akan dibutuhkan “persetujuan”
sang istri.
Yang lebih relevan dan sesuai
konsepsi hukum perkawinan, dimana baik pihak suami maupun pihak istri sama-sama
ikut menanda-tangani Akta Pemberian Personal
Guarantee, sebagai sama-sama berposisi sebagai pemberi jaminan personal,
alias bukan sekadar pihak pasangan memberikan “persetujuan”, untuk itu tepat
kiranya SHIETRA & PARTNERS mencerminkan lewat putusan putusan Mahkamah
Agung RI sengketa kontraktual register perkara Nomor 419 K/Pdt.Sus/2012,
tanggal 15 Oktober 2012, sengketa antara:
- CITIBANK, N.A. (Kreditor),
selaku sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Pemohon Pailit; terhadap
1. ROBERT RAYMOND; 2. Ny.
MEITHY SUSANTI (suami-istri pemberi Personal
Guarantee), sebagai para Termohon Kasasi dahulu Termohon Pailit I dan II.
Terdapat fakta hukum penting
dalam perkara tersebut, yakni Termohon Pailit-I dan Termohon Pailit-II (Sdr.
Robert Raymond dan Ny. Meithy Susanti) adalah suami-istri yang terikat pada
perkawinan yang sah menurut hukum Indonesia sesuai dengan Akta Perkawinan yang
diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil Bandung serta Kartu Keluarga. Sesuai
Pasal 23 Undang-Undang Kepailitan, kepailitan salah satu suami atau isteri
mencakup pasangannya juga.
Adapun Jaminan-jaminan pribadi
yang diberikan oleh Termohon Pailit-I dan Termohon Pailit-II
untuk menjamin pembayaran utang-utang Debitur kepada Pemohon Pailit, adalah
berdasarkan dokumen-dokumen “Irrevocable
Guaranty and Indemnity” (jaminan dan penggantian kerugian yang tidak dapat
dibatalkan) dari Termohon Pailit-I untuk menjamin sejumlah hutang PT.
Ciptragria Mutiarabusaha selaku debitor penerima fasilitas kredit. Untuk
keperluan penjaminan tersebut, Termohon Pailit-I maupun istrinya yakni
Termohon Pailit-II, telah turut menanda-tangani dokumen jaminan
dimaksud.
Yang unik, Pemohon Pailit hanya
mengajukan permohonan pailit terhadap suami-istri pemberi Personal Guarantee, tanpa turut memohon pailit terhadap debitor
penerima fasilitas dana kredit. Terhadap permohonan pailit demikian, Mahkamah
Agung membuat pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
keberatan-keberatan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan
tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti / Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat sudah tepat dan benar yaitu tidak salah dalam menerapkan
hukum, dengan pertimbangan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan
terhadap permohonan dalam perkara a quo telah ternyata bahwa para Termohon
telah membantah dalil Pemohon Pailit mengenai keberadaan utang para Termohon
kepada Pemohon dan Kreditur lain berdasarkan alasan yang sah yaitu bahwa
sengketa utang-piutang antara Pemohon sebagai Kreditur dan Debitur (PT.
Ciptragria Mutiarabusaha) perlu dibuktikan terlebih dahulu melalui mekanisme
yang disepakati oleh para pihak, serta tidak ada bukti sah yang diajukan oleh
Pemohon yang menunjukkan bahwa para Termohon mempunyai utang pada Kreditur lain
sehingga telah benar keberadaan utang para Termohon kepada Pemohon Pailit masih
dipersengketakan sehingga harus dibuktikan lebih lanjut melalui pemeriksaan
secara perdata dan tidak bisa secara sederhana oleh karenanya sesuai dengan
ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang permohonan pernyataan pailit dalam perkara a quo tidak
memenuhi syarat untuk dikabulkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan
hukum dan/atau undang-undang maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi: CITIBANK, N.A. tersebut haruslah ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: CITIBANK, N.A.
tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.