LEGAL OPINION
Question: Mobil milik keluarga saya disita oleh pihak
Jaksa, terseret dalam kasus pidana penggelapan dan pencucian uang yang
dilakukan oleh pemilik lama dari kendaraan itu, lalu oleh hakim dalam
putusannya dinyatakan agar mobil sitaan ini diserakan kepada pihak korban.
Padahal, mengenal si pelaku ataupun si korban pun saya tidak, karena mobil
“second” itu saya beli di showroom.
Apa yang bisa ditempuh untuk mengembalikan mobil
milik saya ke tangan saya? Bukanlah saya yang bisa mengajukan banding atas
putusan hakim pidana itu, tapi Jaksa, dan Jaksa juga yang dalam surat
tuntutannya meminta agar hakim memerintahkan barang bukti mobil sitaan
dikembalikan kepada pihak korban dari si terdakwa.
Brief Answer: Bila merujuk pada bunyi pasal Undang-Undang
terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), maka upaya hukum yang dapat
ditempuh oleh pihak yang berhak atas objek sitaan perkara pidana TPPU ialah
“keberatan”. Namun upaya hukum “keberatan” memiliki batas waktu limitatif
sebatas 30 hari kerja sejak putusan perkara pidana TPPU terbit, dimana lewat
dari batas waktu tersebut menjadi ranah upaya hukum praperadilan.
PEMBAHASAN:
Pengaturan umum terkait
keberatan yang diajukan oleh pihak ketiga ketika suatu aset miliknya ditetapkan
hakim dalam suatu amar putusan pidana sebagai benda sitaan perkara Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU), diatur dalam Pasal 79 Ayat (6) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang:
“Setiap Orang yang
berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah
menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).”
Undang-Undang tidak mengatur
lebih lanjut ketentuan perihal “keberatan” dan mekanisme petunjuk teknisnya.
Menyadari kebutuhan adanya peraturan pelaksana dari mekanisme “keberatan” dalam
perkara TPPU, diterbitkanlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang (PERMA Nomor 1 Tahun 2013)—yang sebetulnya menjabarkan lebih
lanjut pengaturan dalam undang-undang terkait tindakan otoritas pengawas
transaksi keuangan yang menemukan transaksi keuangan mencurikan, namun secara
analogi tampaknya juga dapat diberlakukan ketika amar putusan perkara pidana
yang dengan keliru menyatakan agar barang bukti sitaan dikembalikan kepada
pihak lain yang sebetulnya tidak paling berhak.
Terdapat dua momen untuk
diajukannya “keberatan”, yakni saat pihak berwajib berdasarkan informasi dari
lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hendak memohon
penetapan sita objek barang terkait perkara TPPU kepada hakim (pra
putusan), dan saat terbitnya putusan yang mencantumkan salah satu amar yang
menyatakan status objek sitaan (alias pasca putusan Pengadilan Negeri)
dirampas untuk negara atau diberikan kepada pihak tertentu yang tidak paling berhak.
Perihal keberatan “pra putusan”, diatur dalam Pasal 8 PERMA Nomor 1
Tahun 2013:
1) Setelah permohonan dinyatakan lengkap sesuai dengan prosedur pada
Pasal 4, Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan panitera untuk mencatat
permohonan penangangan harta kekayaan tersebut dalam buku register.
2) Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan Panitera untuk
mengumumkan permohonan penanganan harta kekayaan pada papan pengumuman
Pengadilan Negeri dan/atau media lain guna memberikan kesempatan kepada pihak
yang merasa berhak atas harta kekayaan untuk mengajukan keberatan.
3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan selama 30
(tiga puluh) hari kerja.”
Pasal 10 PERMA Nomor 1 Tahun
2013:
1) Berdasarkan permohonan penangangan harta kekayaan dan alat bukti
dan/atau barang bukti yang diajukan oleh Penyidik selaku pemohon penanganan
harta kekayaan, Hakim memutus harta kekayaan tersebut sebagai aset negara
atau dikembalikan kepada yang berhak.
2) Hakim harus memutus permohonan penanganan harta kekayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak hari sidang pertama.
3) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan pada papan
pengumuman Pengadilan Negeri dan/atau media lain guna memberi kesempatan kepada
pihak yang merasa berhak atas harta kekayaan untuk mengajukan keberatan.”
Paragraf 2 PERMA Nomor 1 Tahun
2013: KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN PERMOHONAN PENANGANGAN HARTA KEKAYAAN YANG
DIAJUKAN SETELAH PUTUSAN DIUCAPKAN. Pasal 11 PERMA Nomor 1 Tahun 2013:
1) Terhadap putusan permohonan penanganan harta kekayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), pihak yang merasa berhak atas harta kakayaan
dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah putusan Pengadilan
diucapkan.
2) Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis hakim untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan keberatan penangangan harta kekayaan.
3) Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menentukan hari
sidang pertama dan memerintahkan Panitera untuk memanggil Penyidik dan Pemohon
Keberatan agar hadir di persidangan.
4) Dalam hal Pemohon Keberatan adalah korporasi, panggilan disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
5) Salah seorang pengurus korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
wajib menghadap di sidang Pengadilan mewakili korporasi.
6) Pemohon Keberatan harus mengajukan alasan-alasan keberatan disertai
dengan alat-alat bukti dan/atau barang bukti yang diperlukan, serta menghadiri
sendiri persidangan, baik didampingi atau tidak didampingi oleh kuasa hukumnya.”
Pasal 15 PERMA Nomor 1 Tahun
2013:
“Dalam hal diperlukan, Hakim
dapat melakukan pemeriksaan terhadap harta kekayaan di tempat harta kekayaan
tersebut berada.”
Pasal 16 PERMA Nomor 1 Tahun
2013:
“Hakim memerintahkan Pemohon Keberatan
untuk membuktikan asal-usul bahwa harta kekayaan yang diajukan
permohonan penanganan harta kekayaan tersebut bukan merupakan hasil
tindak pidana.”
Pasal 18 PERMA Nomor 1 Tahun
2013:
1) Hakim mempertimbangkan seluruh dalil-dalil dan alat bukti yang telah
diperiksa di persidangan, untuk selanjutnya memutus harta kekayaan tersebut
dinyatakan sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
2) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan
mengikat.”
Pasal 19 PERMA Nomor 1 Tahun
2013:
1) Dalam hal Pemohon Keberatan tidak menghadiri sendiri persidangan,
Hakim menyatakan keberatan tersebut gugur dan putusan yang
dimohonkan keberatan tetap berlaku.
2) Dalam hal Pemohon Keberatan tidak mengajukan alasan-alasan dan/atau
tanpa disertai alat-alat bukti yang cukup, Hakim menolak keberatan
tersebut dan putusan yang dimohonkan keberatan tetap berlaku.”
Dirujuknya ketentuan perihal
mekanisme beracara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tertuang
secara implisit dalam Pasal 24 PERMA Nomor 1 Tahun 2013:
“Ketentuan-ketentuan dalam Hukum
Acara Pidana tetap berlaku sepanjang tidak diatur dari Peraturan ini.”
PERMA Nomor 1 Tahun 2013 juga
menyebutkan, putusan terhadap “keberatan” demikian langsung final dan
berkekuatan hukum tetap, tanpa ada dibuka kesempatan untuk mengajukan upaya
hukum terhadapnya, sehingga secara format prosedur sangat menyerupai
praperadilan, hanya saja diberi istilah dan judul sebagai “keberatan”.
Menjadi isu hukum baru
turunannya, bagaimana bila tenggat waktu limitatif untuk mengajukan keberatan
demikian yang hanya dibatasi sebatas 30 hari kerja, telah terlampaui dan baru
diketahui oleh pihak pemilik sebenarnya dari objek sitaan yang tersangkut-paut
perkara TPPU seseorang terdakwa, apakah artinya tiada upaya hukum lain untuk
memulihkan haknya dan mengoreksi amar putusan bersangkutan?
Terdapat sebuah preseden yang
dapat dijadikan analoginya, yakni ketika telah lewat dari tempo 30 hari
(kadaluarsa hak mengajukan keberatan), maka yang dapat ditempuh ialah upaya
hukum “praperadilan”, seperti yang dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat
putusan Mahkamah Agung RI register Nomor 156 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 tanggal 1
April 2015, perkara antara:
- Tim Kurator PT. Aliga Internasional
Pratama (dalam Pailit), sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat;
melawan
- KEPALA KEJAKSAAN AGUNG
REPUBLIK INDONESIA qq. JAKSA AGUNG
MUDA TINDAK PIDANA UMUM qq. DIREKTUR
TINDAK PIDANA UMUM LAINNY, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat merupakan Tim Kurator PT. Aliga International Pratama yang
telah jatuh dalam keadaan Pailit. Sementara pihak Tergugat merupakan Jaksa
Penuntut Umum terhadap seorang tersangka yang diduga melakukan Tindak Pidana
Perbankan (tindak pidana asal) dan disertai dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang
terhadap dana hasil kejahatannya.
Dalam berkas penyidikan dimaksud, termasuk juga berkas penyitaan terhadap
harta pailit PT. Aliga, berupa objek tanah berupa bangunan dan pabrik. Pihak
Kurator mengutip norma Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, yang
menyatakan:
“Putusan atas permohonan
pernyataan pailit dan hal lain-lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam
undang-undang ini diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
daerah tempat kedudukan hukum Debitor.”
Penjelasan Resmi Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan:
“Yang dimaksud dengan hal-hal
lain adalah antara lain actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap
penyitaan, atau perkara di mana Debitor, Kreditor, Kurator atau Pengurus
menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit
termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan
pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya.”
Hukum acara yang berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk “hal-hal
lain” adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi perkara permohonan
pernyataan pailit. [Note SHIETRA & PARTNERS : Tampaknya pihak Kurator
berasumsi bahwa upaya “keberatan” menggunakan mekanisme prosedur Hukum Acara
Perdata, alih-alih Hukum Acara Pidana.]
PT. Aliga telah dinyatakan pailit lewat penetapan Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat dalam putusan tertanggal 10 Januari 2013 Nomor
67/PAILIT/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo. Putusan
Mahkamah Agung RI tertanggal 30 Mei 2013 Nomor 40 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013, dan
sekaligus mengangkat Penggugat sebagai Tim Kurator.
Terhitung sejak tanggal putusan pailit diucapkan, maka terhadap seluruh harta
kekayaan PT. Aliga berlaku ketentuan hukum kontes Kepailitan, yakni keadaan harta
kekayaan PT. Aliga dalam keadaan sita umum, serta kewenangan menguasai
dan mengurus seluruh harta kekayaan PT. Aliga beralih dari Debitor Pailit
bersangkutan menjadi kepada Penggugat selaku Tim Kurator.
Dengan kini ditetapkannya Debitor Pailit (PT. Aliga) dalam keadaan insolvensi,
yang artinya Debitor Pailit dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh hutang
yang wajib dibayar, maka Penggugat diperintahkan oleh Hakim Pengawas untuk
segera melaksanakan pemberesan dalam rangka likuidasi terhadap harta pailit PT.
Aliga.
Yang menjadi pokok perkara dalam gugatan ini, peletakkan sita terhadap
harta pailit PT. Aliga, dinilai bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang
Kepailitan. Oleh sebab terhadap dua buah bangunan yang merupakan bagian dari harta
pailit, yakni bangunan The Aliga Hotel dan bangunan pabrik, telah dilakukan
penyitaan oleh Penyidik Bareskrim Polri Direktorat II Tindak Pidana Ekonomi dan
Khusus, berdasarkan:
a. Penetapan Plh. Ketua
Pengadilan Negeri Padang tertanggal 18 Desember 2012, yang menyita 1 bangunan hotel
dengan nama The Aliga Hotel di wilayah Padang; dan
b. Penetapan Plh. Wakil Ketua
Pengadilan Negeri Bekasi tertanggal 20 Desember 2012, yang menyita bangunan
pabrik di Kabupaten Bekasi.
Alasan terjadinya penyitaan, disebutkan terkait dengan perkara dugaan
Tindak Pidana Perbankan dan TPPU yang dilakukan oleh Sdr. Umar Ali Yanto, S.H.,
yang disidik oleh Penyidik Bareskrim Polri, dan saat ini berkas penyidikan
tersebut telah dinyatakan sudah lengkap (P-21) oleh Tergugat selaku pihak
Kejaksaan.
Sementara itu pihak Kurator berpendirian, PT. Aliga dalam menjalankan
usahanya, tidak cukup dengan anya mengandalkan fasilitas pinjaman kredit dari
PT. BRI (Persero), Tbk., tetapi juga membutuhkan dana pinjaman dari pihak
ketiga lainnya, yakni para kreditor lainnya dari sang debitor pailit.
Artinya, dana yang telah dihimpun PT. Aliga selain dari PT. BRI
(Persero), Tbk., juga dari pihak ketiga selaku para “Kreditor Perseroan”, yang dipergunakan
oleh PT. Aliga untuk membeli barang-barang modal dan/atau berinvestasi dalam
bentuk tanah, bangunan dan/atau peralatan mesin, serta dipergunakan dalam
membeli, membangun dan menjalankan bisnis perhotelan di Padang dan/atau membeli
tanah dan bangunan serta peralatan mesin untuk modal kerja (pabrik) di bekasi. Dengan
demikian, sekalipun pihak PT. BRI mengklaim menjadi korban pelapor TPPU
terhadap pihak pemilik PT. Aliga, berbagai aset tanah milik PT. Aliga
terkandung dana-dana pinjaman dari pihak ketiga lainnya juga.
Oleh karena masih dalam tahap penuntutan pada Kejaksaan, maka belum dapat
dikatakan Sdr. Umar Ali Yanto, S.H., telah bersalah melakukan Tindak Pidana Perbankan
dan TPPU. Oleh karena harta pailit PT. Aliga berada dalam “sita umum” dalam kepailitan,
maka segala sita yang sudah ada sebelum pailit segera dihentikan (diangkat), sebagaimana
amanat Undang-Undang Kepailitan vide Pasal
31, yang mengatur:
1) Putusan pernyataaan pailit berakibat bahwa segala penetapan
pelaksanaan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah
dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada
suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera
Debitor;
2) Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika
diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya.”
Maka sita yang diletakkan terhadap segala aset milik debitor pailit, mengingat
kedua obyek tersebut termasuk dalam boedel / harta pailit PT. Aliga, bertentangan
dengan ketentuan hukum positif yang berlaku, mengignat keberadaan sita demikian
praktis menghambat tugas Kurator untuk melakukan pemberesan harta pailit.
Disamping itu, penyitaan yang terjadi juga telah menghambat hak Para
Kreditor untuk memperoleh pelunasan piutangnya dari harta Debitor (paritas creditorium), sehingga oleh
karena itu segala sita harus diangkat, sebab proses pemberesan kepailitan yang
dilakukan oleh Kurator (Penggugat) menjadi terhambat, berakibat timbulnya ketidak-pastian
hukum dalam proses pemberesan kepailitan serta merugikan para segenap Kreditor.
Sementara itu dalam sanggahannya, pihak Tergugat mendalilkan, pokok
gugatan Penggugat adalah keberatan atas tindakan penyitaan yang dilakukan oleh
Penyidik pada Bareskrim Polri dalam perkara Tindak Pidana Perbankan dan Tindak
Pidana Pencucian Uang atas nama Umar Ali Yanto, S.H. Upaya hukum yang dapat
dilakukan Penggugat atas keberatannya terkait tindakan penyitaan yang dilakukan
oleh Penyidik pada Bareskrim Polri, adalah melalui “gugatan” praperadilan
sesuai dengan norma Pasal 82 Ayat (3) Huruf (d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mengatur:
“Dalam hal putusan
(praperadilan) menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat
pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera
dikembalikan kepada Tersangka atau dari siapa benda itu disita.”
Sebetulnya KUHAP tidak menyebutkan “pihak ketiga” berhak mengajukan
praperadilan terkait sita pidana, sebagaimana tertuang secara tersurat dalam
rumusan kaedah Pasal 95 ayat (1) KUHAP:
“Tersangka, Terdakwa atau
Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan,
dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa atasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan.”
Penjelasan Pasal 95 Ayat (1) KUHAP menerangkan lebih lanjut:
“Yang dimaksud dengan ‘kerugian
karena dikenakan tindakan lain’ ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan
rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.”
Namun terdapat istilah “pemohon” ketika mengutip kaedah Pasal 82 Ayat (1)
Huruf (b) KUHAP, mengatur:
“Dalam memeriksa dan memutus
tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat tidak
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang
tidak termasuk alat pembuktian, Hakim mendengar keterangan baik dari
Tersangka atau Pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.”
Menjadi terang-benderang, keberatan terhadap penyitaan merupakan wewenang
/ ranah praperadilan. Bila merujuk Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah
Agung RI Tahun 2009, halaman 256, menyebutkan:
“Praperadilan adalah
wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan
(Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 77 KUHAP);
- Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat (1)
huruf b KUHAP).”
Sementara bila merujuk doktrin M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang
berjudul Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, menyatakan :
“Seorang Tersangka yang dikenakan
tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta
kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan
Penyidik kepadanya.
“Pasal 95 mengatur tentang
tuntutan ganti kerugian yang diajukan Tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya
kepada Praperadilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan Tersangka
berdasarkan alasan:
- Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah;
- Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan
dengan ketentuan hukum dan undang-undang;
- Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap,
ditahan dan diperiksa.”
Pihak Tergugat berpendirian, terkait dengan keberatan mengenai sah atau
tidaknya tindakan penyitaan merupakan kewenangan praperadilan untuk memutuskan—sekalipun
tidak ada secara tegas disebutkan dalam KUHAP bahwa pihak ketiga berhak untuk
melawan sita lewat mekanisme praperadilan yang tampaknya lebih ditujukan bagi
hak seorang tersangka / terdakwa terkait aset kepemilikannya yang turut terkena
sita.
Tergugat mengambil kesimpulan bahwa Majelis Hakim pada persidangan di
Pengadilan Niaga tidak berwenang untuk mengadili perkara semacam ini.
Sebagaimana dinyatakan oleh M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya berjudul Hukum Acara Perdata, bahwa Hakim secara ex officio, wajib menyatakan diri tidak
berwenang mengadili perkara yang diperiksanya:
- Apabila perkara yang
diajukan, secara “kompetensi absolut” berada di luar yurisdiksinya atau termasuk
dalam kewenangan lingkungan peradilan lain;
- Kewajiban itu mesti dilakukan
secara ex officio, meskipun Tergugat
tidak mengajukan eksepsi tentang itu.
Pihak Kejaksaan mengutip pula norma Pasal 134 HIR, yang mengatur: “Jika perselisihan itu adalah suatu perkara
yang tidak termasuk wewenang Pengadilan Negeri, maka pada sembarang waktu dalam
pemeriksaan perkara itu, boleh diminta supaya Hakim mengaku tidak berwenang,
dan Hakim itu pun, karena jabatannya, wajib pula mengaku tidak berwenang.” Serta
adagium hukum yang menyatakan “Boni
judicis est ampliare justitiam”, yang bermakna bahwa adalah kewajiban seorang
Hakim yang baik untuk tidak memperluas batas-batas putusan atau yurisdiksinya.
Pihak Tergugat menambahkan, penyitaan dalam perkara pidana hanya dapat
dilakukan oleh Penyidik sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
mengatur:
“Penyitaan hanya dapat
dilakukan oleh Penyidik dengan Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat.”
Penggugat yang dinilai meng-kaitkan begitu saja tindakan Tergugat yang memberitahukan
kepada Penyidik Bareskrim Polri bahwa hasil penyidikannya sudah lengkap (P-21) beserta
dengan penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik pada Bareskrim Polri, adalah upaya
hukum spekulatif disamping “salah alamat”, karena yang menyita bukanlah
Kejaksaan, namun pihak Penyidik Kepolisian.
Terhadap gugatan yang diajukan Kurator, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
telah terhadapnya menjatuhkan putusan Nomor 11/Pdt.Sus-Pailit/Gugatan
Lain-lain/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 15 Desember 2014, dengan pertimbangan
hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa sesuai dalil
eksepsi Tergugat di atas, yang menjadi persoalan lebih lanjut dari kewenangan
absolut dalam perkara ini adalah apakah perkara ini menjadi kewenangan
praperadilan ataukah pengadilan niaga?
“Menimbang bahwa berdasarkan
ketentuan Pasal 82 ayat (3) huruf d Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (vide bukti T-1) dan berdasarkan buku II Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Edisi 2007
angka 22 halaman 256, bahwa Praperadilan juga berwenang memeriksa, mengadili
dan memutus status penyitaan terhadap barang bukti;
“Menimbang bahwa yang menjadi
dalil pokok dari gugatan lain-lain yang diajukan oleh Penggugat adalah untuk
mengangkat sita terhadap 1 (satu) bangunan / hotel dengan nama The Aliga Hotel,
terletak di Jl. ... dan bangunan pabrik, terletak di Jl. ... dalam perkara
Tindak Pidana Perbankan dan Tindak Pidana Pencucian Uang atas nama tersangka
Umar Ali Yanto, S.H. yang dilakukan oleh Penyidik Bareskrim Polri;
“Menimbang bahwa produk sita
terhadap 1 (satu) bangunan / hotel dengan nama The Aliga Hotel, terletak di Jl.
... dan bangunan pabrik, terletak di Jl. ... adalah dalam lingkup peradilan
pidana;
“Menimbang bahwa oleh karena
sita terhadap 1 (satu) bangunan / hotel dengan nama The Aliga Hotel, terletak
di Jl. ... dan bangunan pabrik, terletak di Jl. ... termasuk ke dalam lingkup
peradilan pidana, maka untuk membatalkan sita dalam perkara pidana tidak dapat
dilakukan oleh lembaga peradilan yang lain (pengadilan niaga), akan tetapi
harus dilakukan oleh lembaga peradilan pidana itu sendiri (praperadilan);
“Menimbang bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang berwenang untuk
menyatakan sah tidaknya suatu sita di dalam perkara pidana adalah lembaga
peradilan pidana (praperadilan), bukan lembaga peradilan lain (pengadilan
niaga), oleh karenanya Majelis berpendapat Tergugat dapat membuktikan dalil
eksepsi absolute kompetensinya, sehingga oleh karenanya dalil eksepsi tersebut
beralasan dan dapat dikabulkan;
“Menimbang bahwa oleh karena
eksepsi kewenangan absolute dari Tergugat dikabulkan, Majelis menyatakan pengadilan
niaga tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini;
“MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
1. Menerima eksepsi Tergugat;
2. Menyatakan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
berwenang untuk mengadili perkara tersebut.”
Pihak kurator mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah
Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak
dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan
pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa gugatan a quo tidak
memenuhi Pasal 3 (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, malahan masuk secara absolute dalam jurisdiksi
Peradilan Pidana;
“Bahwa oleh karena sita yang
dilakukan oleh Termohon Kasasi dilakukan berdasarkan pemeriksaan pidana, maka pembatalan
sita harus dilakukan melalui ketentuan yang diatur dalam KUHAP;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, ternyata Putusan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 11/Pdt.Sus-Pailit/Gugatan
Lain-lain/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 15 Desember 2014 dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi GINDO HUTAHAEAN, S.H., dan H. MARTIN ERWAN,
S.H., tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi GINDO HUTAHAEAN, S.H.,
dan H. MARTIN ERWAN, S.H., selaku Tim Kurator PT. Aliga Internasional Pratama
(dalam Pailit) tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.