LEGAL OPINION
Question: Apakah ada cara atau tips yang paling efektif
serta paling efisien untuk membatalkan sebuah putusan arbitrase?
Brief Answer: Putusan arbitrase, baik arbitrase lokal dalam
negeri maupun arbitrase asing, sifatnya ialah bergantung pada kontrak yang
menjadi payung hukumnya, yakni asas kebebasan berkontrak dalam kontrak dimaksud
yang mengatur perihal pilihan forum penyelesaian sengketa (choise of forum) berupa Arbitrase ataupun pada Pengadilan Negeri.
Dengan kata lain, sebuah putusan arbitrase selalu bersifat “bergantung” pada
validitas kontrak yang menjadi tulang-punggung atau “payung”-nya—alias bersyarat
batal bila sewaktu-waktu payung hukumnya batal.
Ketika asumsi bahwa kontrak dimaksud adalah sah
sehingga menjadi validitas terbitnya putusan arbitrase, ternyata dikemudian hari
dinyatakan sebagai kontrak yang invalid oleh suatu pengadilan lokal tempat
pembuatan kontrak dimaksud, maka secara sendirinya putusan arbitrase lokal
maupun arbitrase asing akan kehilangan pijakannya, mengingat legitimasi putusan
arbitrase selalu berpijak pada asumsi bahwa kontrak yang menjadi payung
hukumnya adalah sah dan valid.
Namun yang paling unik dari kesemua itu, untuk
mengajukan gugatan pembatalan kontrak yang mengadung klausula arbitrase sebagai
“choise of forum”-nya, dapat diajukan
ke hadapan Pengadilan Negeri lokal setempat, terutama ketika telah terbit
putusan arbitrase guna dianulir bersama dengan dinyatakan tidak sahnya kontrak
/ perjanjian dimaksud karena cacat atau tidak terpenuhinya syarat sah
perjanjian vide Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi
konkret yang dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk sebagai cerminan, sebagaimana
tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sengketa Permohonan
Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), register Nomor
513/Pdt.G.ARB/2018/PN.Jkt.Sel. tanggal 16 September 2018, perkara antara:
- PT. GRAGE TRIMITRA USAHA, sebagai
PEMOHON (semula selaku Termohon dalam Perkara Arbitrase); melawan
- SHIMIZU CORPORATION dan PT. HUTAMA
KARYA (Persero) JOINT OPERATION, sebagai TERMOHON (semula Pemohon dalam
Perkara Arbitrase).
Terhadap sengketa para pihak, semula telah terbit putusan arbitrase yang
menyatakan telah terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak, namun putusan
arbitrase bersangkutanlah yang hendak dipermasalahkan dalam perkara
gugat-menggugat ini. Terhadap gugatan demikian, yang kemudian menjadi pertimbangan
hukum serta amar putusan Majelis Hakim, yakni:
“Menimbang, bahwa selanjutnya
dalil permohonan Pemohon menyatakan bahwa Termohon telah melakukan tipu-muslihat
dengan memasukkan klaim fluktuasi nilai tukar. Hal ini oleh karena kontrak
antara Termohon dengan subkontraktor / pemasok tidak memperbolehkan adanya
perubahan nilai kontrak akibat fluktuasi nilai tukar. Akan tetapi Termohon juga
mengklaim adanya fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat
dalam proses Arbitrase, padahal Termohon tidak pernah mengalami kerugian atas
fluktuasi nilai tukar sebab kontrak antara Termohon dengan para sub-kontraktor
atau pemasok memuat larangan melakukan penyesuaian harga akibat fluktuasi nilai
tukar;
[Note SHIETRA & PARTNERS : Modus ‘menyalah-gunakan keadaan’.]
“Menimbang, bahwa Termhon telah
menyangkal terhadap dalil permohonan Pemohon tersebut diatas, karena Termohon
tidak pernah melakukan tipu-muslihat mengenai Klaim Nilai Tukar dalam proses
Arbitrase, dengan alasan-alasan pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa Termohon mendasarkan klaim dalam Lampiran C.5.5 Permohonan Arbitrase
pada Klausula 9 huruf j) Contract Particulars (vide Bukti T-22) dan Klausula
4.2.3.6 General Conditions of Contract (vide Bukti T-23), yang pada intinya
memberikan hak kepada Termohon (selaku Kontraktor) untuk menuntut pembayaran
tambahan akibat adanya fluktuasi nilai tukar yang dikualifikasikan sebagai 'peristiwa tidak terduga di luar kendali Kontraktor';
2. Bahwa Klaim Termohon tersebut tidak memiliki hubungan apapun dengan ketentuan
larangan fluktuasi nilai tukar dalam Kontrak-Kontrak Sub-Kontraktor sebagaimana
didalilkan Pemohon dalam perkara ini. Hal ini karena ketentuan Kontrak-Kontrak
Sub-Kontraktor hanya melarang Sub-Kontraktor untuk mengklaim penyesuaian harga
material akibat fluktuasi nilai tukar yang dapat terjadi setelah tanggal
Temohon dan Para Subkontraktor menyepakati harga material berdasarkan
kontrak-kontrak Subkontraktor;
3. Bahwa Termohon tidak dilarang untuk menyesuaikan Harga Kontrak akibat fluktuasi
nilai tukar tersebut. Karena Termohon telah secara aktual menderita kerugian
akibat kenaikan harga material yang tidak terduga akibat fluktuasi nilai tukar
pada waktu Termohon menyepakati harga material dengan para subkontraktor, dan
penyesuaian atas perubahan harga itulah yang diklaim oleh Termohon dalam
pemeriksaan perkara Arbitrase;
4. Ketentuan larangan untuk menyesuaikan harga barang / material berlaku
hanya untuk Subkontraktor dan bukan untuk Termohon selaku Kontraktor, maka secara
hukum ketentuan larangan tersebut tidak dapat diaplikasikan kedalam hubungan
hukum antara Pemohon dan Termohon berdasarkan kontrak-kontrak proyek;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
dalil-dalil permohonan Pemohon dan dalil-dalil sangkalan Termohon dihubungkan
dengan bukti-bukti yang diajukan dipersidangan, maka majelis hakim
mempertimbangkan sebagai berikut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
Perjanjian Kontrak-Kontrak antara Pemohon dan Para Subkontraktor telah
ditentukan dengan menggunakan mata uang Rupiah dan Dolar Amerika Serikat, dimana
klaim-klaim Termohon yang sebenarnya mengunakan kurs rupiah yakni
termuat dalam Annex A.1 Lampiran C.5.5, yang merupakan lampiran dari Permohonan
Arbitrase, sebagai berikut: ...;
“Bahwa dari 4 (empat) Klaim
yang mengunakan kurs Dollar Amerika Serikat tersebut, terdapat 1 (satu) klaim,
dimana Pemohon dengan Termohon sudah sepakat pembayaran tetap mengunakan kurs
Dollar Amerika Serikat, yakni untuk klaim Aluminium composite panels yang
dipesan Termohon dari Tech-Zink Pte Ltd. Sehingga terhadap klaim tersebut tidak
terpengaruh fluktuasi nilai tukar sebagaimana yang diajukan Termohon;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
Pasal 12 Contract Particulars dari Kontrak tanggal 13 Juni 2014 mensyaratkan
klaim fluktuasi nilai tukar harus terlebih dahulu adanya fluktuasi yang tidak
normal yang disebabkan oleh krisis keuangan luar biasa di Republik Indonesia
sesuai dengan keterangan Saksi ... dan Saksi ... . Dimana pada saat Termohon
mengajukan klaim perubahan kurs Dollar Amerika Serikat, tidak ada kondisi
krisis keuangan luar biasa di Indonesia sebagaimana yang telah diperjanjikan
tersebut di atas;
“Menimbang, bahwa dari Surat No.
... , tanggal 1 Juni 2015, Pemohon telah menolak permintaan Termohon yang
mengajukan klaim kepada Pemohon, karena selain klaim-klaim tersebut
kebanyakan menggunakan kurs Rupiah, kenaikan harga yang diakibatkan oleh
perbedaan mata uang, tidak memenuhi Pasal 12 Contract Particulars
sebagaimana telah diuraikan diatas dan sudah ada kesepakatan Pemohon dan
Termohon klaim tetap dibayarkan dalam kurs Dollar Amerika Serikat. Sesuai
dengan keterangan Ahli Dr. ... , S.H., LL.M, berdasarkan Pasal 1340 KUH
Perdata, perjanjian tidak dapat membuat rugi pihak ketiga. Pendapat ahli
tersebut sesuai dengan dalil Pemohon, dimana klaim fluktuasi nilai tukar
yang ditagihkan kepada Temohon berdasarkan kontrak antara Termohon dengan
Subkontraktornya;
“Menimbang, bahwa tindakan
Termohon tersebut yang mengklaim adanya fluktuasi nilai tukar dengan jumlah
klaim dari kontrak dengan Subkontraktor justru membuktikan adanya tipu-muslihat
yang digunakan oleh Termohon dalam persidangan Perkara Arbitrase dapat
dibenarkan, sehingga menurut hemat majelis hakim unsur tipu-muslihat yang
dilakukan oleh Termohon dalam proses Arbitrase sebagaimana yang dimaksud pada
Pasal 70 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, dapat dibuktikan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat alasan pembatalan
Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor 854/V/ARB-BANI/2016
tanggal 24 Mei 2018 yang diajukan oleh Pemohon dengan alasan putusan arbitrase
diambil dari hasil tipu-muslihat yang dilakukan oleh Termohon dalam pemeriksaan
sengketa, patutlah untuk dikabulkan;
“Menimbang, bahwa terlepas dari
alasan-alasan pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut diatas, maka majelis
hakim berpegang pada petitum Ex Aequo Et Bono, oleh karena setelah melihat dan
mempelajari secara cermat Perjanjian Kontrak Pekerjaan desain dan konstruksi
atas gedung SIMA Office Tower di SIMA IZZAR MIX USE DEVELOPMENT yang dibuat
oleh Pemohon dan Termohon tersebut dipandang telah melanggar ketertiban umum
sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serata Lagu Kebangsaan, maka perlu mempertimbangkan
mengenai Putusan Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor 854/V/ARB-BANI/2016
tertanggal 24 Mei 2018, halaman 157, Alinea kedua, menyebutkan :
‘Bahwa, berdasarkan Permohonan,
Jawaban, Replik, Duplik serta kesimpulan Pemohon dan Termohon, Perjanjian
tanggal 13 Juni 2014 beserta seluruh dokumen terkait telah memenuhi unsur Pasal
1320 KUHPerdata, maka segala ketentuan yang tertuang dalam Perjanjian dan
seluruh dokumen terkait, mengikat antara Pemohon dan Termohon dan berlaku sebagaimana
layaknya Undang-Undang bagi mereka sebagai pihak-pihak dalam Perjanjian. Hal
ini sesuai dengan azas ‘Pacta Sunt Servanda’ sebagaimana paragraf pertama Pasal
1338 KUHPerdata yang mengatur sebagai berikut : ‘Semua Perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya’. Karena
itu klausul 4.11, klausul 8.9, klausul 4.10 dalam GC/SSUK harus dipatuhi oleh
para pihak sebagaimana Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya’;
“Menimbang, bahwa Perjanjian
Kontrak (The Contract Agreement) Pekerjaan desain dan konstruksi atas gedung
SIMA Office Tower di ... (“Kontrak”), yang terdiri dari: (i) Contract Agreement;
(ii) Contract Particulars; (iii) Supplemental Conditions of Contract; (iv)
Letter of Award; (v) General Conditions of Contract; (vi) Specification
Preambles; dan (vii) dokumen-dokumen lain yang menjadi bagian dari Kontrak,
yang dibuat dan ditanda tangani oleh Pemohon dan Termohon pada tanggal 13 Juni
2014 ternyata tidak dengan menggunakan bahasa Indonesia adalah
bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serata Lagu Kebangsaan, sehingga dengan
demikian Perjanjian Kontrak tersebut yang ditanda-tangani oleh Pemohon dan
Termohon pada tanggal 13 Juni 2014 merupakan perjanjian yang terlarang,
karena dibuat berdasarkan sebab yang terlarang (vide Pasal 1335 KUHPerdata
jo. Pasal 1337 KUHPerdata);
“Menimbang, bahwa dengan tidak
terpenuhinya salah satu syarat essensial dari syarat sahnya suatu perjanjian,
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, maka dengan
demikian majelis hakim berpendapat patut dan adil apabila Perjanjian Kontrak
Pekerjaan desain dan konstruksi atas gedung SIMA Office Tower di ... tanggal 13
Juni 2014 yang telah ditanda-tangani oleh Pemohon dan Termohon harus dinyatakan
tidak sah dan batal demi hukum, sehingga sebagai konsekwensi yuridis
mengakibatkan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor 854/V/ARBBANI/2016
tanggal 24 Mei 2018 adalah batal demi hukum;
“Menimbang, bahwa dengan
demikian dari pertimbangan yang diuraikan tersebut di atas, maka Majelis Hakim
berpendapat Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor 854/V/ARB-BANI/2016
tanggal 24 Mei 2018 tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan untuk
seluruhnya;
“Menimbang, bahwa oleh karena
alasan pembatalan putusan arbitrase yang kedua dan ketiga yang diajukan oleh
Pemohon telah dapat dibuktikan maka alasan alasan alternatif lainnya tidak perlu
dipertimbangkan lebih lanjut;
“Menimbang, bahwa oleh karena
permohonan pembatalan putusan Arbitrase dikabulkan, maka petitum ke-2 harus
dikabulkan pula, sedangkan untuk petitum yang lain dan selebihnya harus
dikesampingkan;
“MENGADILI :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Membatalkan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor
854/V/ARB-BANI/2016, tanggal 24 Mei 2018 untuk seluruhnya;
3. Menolak Permohonan Pemohon yang lain dan selebihnya.”
Pihak Termohon mengajukan upaya hukum banding, dimana terhadapnya Mahkamah
Agung dalam register Nomor 104 B/Pdt.Sus-Arbt/2019 tanggal 31 Januari 2019, membuat
pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Bahwa berdasarkan Pasal 72
ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, terhadap pembatalan putusan
arbitrase oleh Pengadilan Negeri dapat diajukan banding kepada Mahkamah Agung
yang memutus dalam tingkat terakhir, sedangkan dalam penjelasannya dinyatakan
bahwa yang dimaksud ‘banding’ adalah hanya terhadap pembatalan putusan
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Oleh karena yang diperiksa dalam perkara ini adalah pembatalan putusan
arbitrase, maka Mahkamah Agung akan memeriksa perkara ini dalam tingkat
terakhir;
“Bahwa selanjutnya Mahkamah
Agung akan mempertimbangkan alasan-alasan permohonan dari Pemohon sebagai
berikut:
“Bahwa alasan tersebut tidak
dapat dibenarkan, oleh karena setelah membaca dan meneliti memori banding
tanggal 19 Oktober 2018 dan kontra memori banding tanggal 19 November 2018,
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa berdasarkan fakta-fakta
dalam perkara a quo, Judex Facti telah memberikan pertimbangan yang cukup dalam
membuktikan kebenaran dalil atau tuntutan yang diajukan Termohon kepada Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), ternyata terdapat beberapa dokumen yang tidak
diajukan oleh pihak Termohon pada waktu pemeriksaan perkara a quo di BANI, yang
apabila diajukan oleh Termohon akan menjadikan berbeda putusan BANI dalam
perkara a quo atau setidak-tidaknya tidak akan mengabulkan tuntutan Termohon
seluruhnya atau sebagian, dalam hal ini antara lain tuntutan tentang klaim
fluktuasi nilai tukar rupiah;
“Bahwa terbukti ada beberapa
dokumen yang berkaitan dengan kontrak-kontrak antara Termohon dengan
sub-kontraktor / supplier yang tidak diajukan oleh Termohon atau disembunyikan
oleh Termohon yang nilai kontrak-kontrak tersebut dalam nominal rupiah
antara lain: 1. Termohon dengan PT. ... , ... , 7. Termohon dengan PT. ... ,
sedangkan nilai kontrak dalam nominal Dollar USA yang diajukan oleh
Termohon berdasarkan bukti P(C.5)-41.A, adalah antara Termohon dengan PT. ...
dengan nilai kontrak sebesar US$560,000.00 dan bukti P-53.1 adalah antara Termohon
dengan PT. ... dengan nilai kontrak sebesar US$193,608.93;
“Bahwa berdasarkan fakta
tersebut di atas dan lebih diperkuat lagi, dari dokumen-dokumen kontrak antara
Termohon dengan Para Sub-Kontraktor / Supplier / Pemasok pada Pasal 2
masing-masing pada ayat (4) dan atau (5) dari masing-masing kontrak menyatakan
antara lain kutipan dalam bahasa asing: ‘...shall not be adjusted for cost
fluctuations in labour, materials, goods, temporary services, foreign
exchanges....’, yang dalam bahasa Indonesia antara lain diartikan: ‘...tidak
akan disesuaikan dengan fluktuasi biaya dalam tenaga kerja, bahan, barang,
layanan sementara, nilai tukar...’, sehingga dengan demikian pada waktu putusan
yang dijatuhkan oleh BANI terdapat dokumen penting yang bersifat menentukan
yang sengaja tidak diajukan atau disembunyikan oleh Termohon;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 513/Pdt.G.ARB/2018/PN Jkt.Sel, tanggal
25 September 2018 telah tepat dan benar, sehingga beralasan untuk dikuatkan;
“M E N G A D I L I :
- Menerima permohonan dari Pemohon SHIMIZU CORPORATION dan PT. HUTAMA
KARYA (Persero) JOINT OPERATION tersebut;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri 513/Pdt.G.ARB/2018/PN
Jkt.Sel, tanggal 25 September 2018, yang membatalkan Putusan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia Nomor 854/V/ARB-BANI/2016, tanggal 24 Mei 2018.”
Pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Negeri di atas sejatinya
bersifat “ultra petitum” (pertimbangan
hukum menjadi satu-kesatuan dengan amar putusan dan sama-sama mengikat sifatnya),
mengingat pihak Pemohon pembatalan putusan arbitrase hanya memohon agar putusan
arbitrase itu semata yang dibatalkan, bukan memohon agar kontrak diantara para
pihak turut dibatalkan—sekalipun kontrak ilegal demikian bersifat “batal demi
hukum” bukan “dapat dibatalkan” karena melanggar unsur objektif syarat sah
perjanjian “causa yang sahih”.
Dengan dibatalkannya kontrak yang menjadi pijakan perikatan dan prestasi
antara penyedia dan pengguna jasa, maka pada gilirannya pihak penyedia jasa
tidak lagi dapat menagih segala beban, biaya, maupun tarif jasa kepada pengguna
jasa—yang bagi SHIETRA & PARTNERS adalah merupakan kelalaian pihak-pihak itu
sendiri, membuat perjanjian secara melawan hukum sehingga tidak mendapat
perlindungan yang patut oleh hukum sejak dari semula.
Itulah ilustrasi konkret, setelah bersengketa di
hadapan arbitrase yang berbiaya miliaran Rupiah, namun pada gilirannya kembali
berperkara di Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung, sebelum kemudian secara
anti-klimaks semuanya menjadi tampak mubazir dan kontraproduktif. Kontrak yang
baik, idealnya menutup celah-celah pintu masuknya sengketa (bukan menutup “celah
hukum”, namun menutup “celah bibit-bibit sengketa”). Sebuah kontrak, merupakan
tulang-punggung atau fondasi dari suatu bisnis—jika kontraknya dibatalkan
karena dinilai mengandung cacat hukum oleh pengadilan, maka seluruh “ikutannya”
pun akan turut runtuh dan kolaps bersama dengannya, maka resiko bisnis pun
tidak lagi terhindarkan.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.