LEGAL OPINION
Question: Calon rekan bisnis meminta agar dicantum pasal
tentang pilihan hakim pemutus bila terjadi sengketa ke BANI (lembaga Arbitrase
swasta di Indonesia). Yang perlu saya ketahui terlebih dahulu, jika di kontrak
kerja-sama ini nantinya ada pasal semacam itu, apa jika nanti ada masalah
terhadap rekan bisnis dan mau gugat mereka dengan jenis gugatan perbuatan
melawan hukum karena bisa jadi ada hal-hal yang belum diatur di kontrak, juga
harus ke BANI yang mahal biayanya dan belum tentu ada jaminan dapat dieksekusi
sekalipun menang, tidak bisa ke Pengadilan Negeri?
Brief Answer: Baik arbitrase lokal di Indonesia maupun
arbitrase asing di luar negeri, bila para pihak yang saling bersepakat
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan mencantumkan klausul terkait “choise of forum” (pilihan lembaga
peradilan yang satu-satunya berwenang memeriksa dan memutus sengketa
perdata), karenanya apapun itu yang kemudian terjadi, baik sengketa perdata
dengan kriteria wanprestasi ataupun berkriteria “perbuatan melawan hukum”,
tetap tunduk pada klausula arbitrase yang tercantum dalam surat perjanjian, tidak
terkecuali gugatan dengan maksud untuk membatalkan surat perjanjian dimaksud,
karenanya klausula arbitrase sangat menyerupai sebuah “jebakan” yang sangat “menyandera”.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah cerminan
konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat putusan Pengadilan
Tinggi Samarinda sengketa perdata kontraktual register Nomor 43/PDT/2016/PT.SMR
tanggal 5 April 2016, perkara antara:
- Hj. Ariani, sebagai Pembanding,
semula selaku Penggugat; melawan
1. PT. Bank Muamalat Indonesia.
Tbk cq. PT. Bank Muamalat Indonesia.
Tbk. Cabang Samarinda, sebagai Terbanding, semula selaku Tergugat;
2. Menteri Keuangan Republik
Indonesia cq. Direktur Jenderal
Kekayaan Negara cq. Kepala Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Wilayah XIII Samarinda, sebagai Turut
Terbanding I, semula Turut Tergugat I;
3. Kepala Badan Pertanahan
Nasional cq. Kepala Kantor Wilayah
Pertanahan Provinsi Kalimantan Timur cq.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Timur, sebagai Turut Terbanding II,
semula selaku Turut Tergugat II;
4. Notaris Muhammad Ali. SH., selaku
Turut Terbanding III, semula selaku Turut Tergugat III.
Penggugat merupakan nasabah penerima fasilitas kredit dari Tergugat. Namun,
permasalahan bermula ketika Penggugat didatangi oleh lembaga perbankan lainnya
yang menawarkan “take over” fasilitas
kredit yang dimiliki oleh Penggugat dari Tergugat kepada perbankan baru. Dalam tawaran
tersebut, pihak lembaga Perbankan menawarkan peningkatan plafon kredit dari
angka tiga milyar Rupiah (yang didapatkan dari Tergugat) menjadi lima milyar
Rupiah.
Tawaran tersebut disambut baik oleh Penggugat. Sebagai tindak-lanjutnya, lembaga
Perbankan dimaksud melakukan pengecekan data terkait informasi debitor pada
jaringan lembaga perbankan nasional, yang akhirnya menemukan dalam “sistem
informasi debitur” bahwa Penggugat tercatat memiliki hutang pembiayaan dari
Tergugat sebesar 4 milyar Rupiah, bukan 3 milyar Rupiah sebagaimana yang
disampaikan oleh Penggugat kepada petugas Bank bersangkutan.
Penggugat berusaha tetap meyakinkan kepada petugas bank dimaksud bahwa
nilai hutang yang sebenarnya adalah 3 milyar Rupaih, bukan 4 milyar Rupiah. Akhirnya
petugas Bank menyarankan Penggugat untuk menyelesaikan perbedaan informasi
tersebut segera mungkin dengan melakukan klarifikasi kepada Tergugat. Kejadian serupa
terjadi pada Bank lainnya yang kemudian datang menawarkan “take over” kredit kepada Penggugat, namun karena informasi tidak
benar demikian akhirnya mereka hanya bisa memberikan masukan yang sama dengan
Bank sebelumnya.
Penggugat kemudian mendatangi kantor Tergugat dengan tujuan
mengklarifikasi kesalahan informasi terkait hutang Penggugat kepada Tergugat. Pada
saat diklarifikasi, Tergugat menyampaikan secara lisan bahwa hutang Penggugat
tetap 3 milyar Rupiah. Adapun angka yang tercantum dalam “sistem informasi debitur”
menurut Tergugat merupakan kesalahan Pengiriman Data oleh Tergugat yang
belakangan dianggap sebagai kesalahan Bank Indonesia (kini kewenangan Otoritas
Jasa Keuangan) oleh pihak Tergugat.
Atas penjelasan lisan tersebut, Penggugat berharap agar Tergugat dapat segera
memperbaiki data-data terkait Penggugat pada “sistem informasi debitur”, sebab
hal tersebut berpengaruh terhadap pertimbangan-pertimbangan Bank lainnya dalam melakukan
tinjauan dan evaluasi kepada Penggugat sebelum menyatakan sepakat untuk
bekerjasama dengan Penggugat.
Selanjutnya Penggugat mencoba kembali untuk mengalihkan “hutang” (over
kredit) dari Tergugat kepada beberapa Bank lainnya, namun setelah bank-bank
lainnya melakukan pengecekan kembali melalui “Sistem Informasi Debitur” yang dapat
diakses oleh semua lembaga keuangan, ternyata Penggugat masih dinyatakan
memiliki “hutang” pembiayaan sebesar empat milyar Rupiah, belum berubah sekalipun
telah diminta klarifikasi dan koreksi oleh Penggugat.
Akibatnya, bank-bank serta lembaga pembiayaan lainnya yang mulanya
berniat “take over kredit” dengan Penggugat,
mengingat karena adanya kesalahan penginputan informasi / data yang dilakukan
oleh Tergugat mengenai besaran nilai pembiayaan yang diberikan kepada
Penggugat, maka para bank lain pun menolak untuk melakukan “take over” dan sejenisnya dalam rangka
pembiayaan, hanya bisa menyarankan agar hal tersebut dikoreksi terlebih dahulu oleh
pihak Tergugat.
Penggugat kembali mendesak Tergugat untuk memperbaiki data tersebut
secepatnya untuk memudahkan proses “take
over” yang ditawarkan oleh lembaga Perbankan lainnya kepada Penggugat. Ternyata,
setelah beberapa kali diminta oleh Penggugat untuk memperbaiki data dimaksud, namun
tidak kunjung dikoreksi, akhirnya Penggugat mengancam untuk tidak melakukan
pembayaran angsuran bulanan kepada Tergugat apabila data tersebut tidak segera
diperbaiki sesuai dengan Akta Kredit.
Sembari menunggu tindak-lanjut Tergugat, selanjutnya Penggugat
mengklarifikasi hal ini kepada Bank Indonesia Samarinda dan Ototritas Jasa
Keuangan di Jakarta. Ternyata kedua lembaga tersebut pun menyampaikan bahwa
ternyata hutang pembiayaan Penggugat kepada Tergugat adalah 4 milyar Rupiah.
Akhirnya atas saran petugas Bank Indonesia, selanjutnya Penggugat melaporkan
Tergugat secara resmi kepada Bank Indonesia dan Ototritas Jasa Keuangan.
Sekalipun setelah melalui peristiwa-peristiwa diatas, barulah setelah
memakan waktu kurang lebih 1 tahun, Tergugat memperbaiki data dimaksud. Seiring
dengan upaya klarifikasi, ternyata usaha-usaha Penggugat pun mengalami
penurunan omzet yang berdampak kepada kemampuan bayar Penggugat kepada
Tergugat. Dampak berantai dari akibat nilai “hutang” kredit yang salah di-input
oleh Tergugat, Penggugat mendapat kesukaran melakukan over kredit guna meningkatkan
modal usaha, berujung pada kegiatan usaha Penggugat yang mengalami pelemahan
dan terjadilah “kredit macet” pada Tergugat.
Tergugat kemudian meminta Turut Tergugat I untuk segera melelang agunan
berupa aset milik Penggugat seolah tanpa mengakui adanya Perbuatan Melawan
Hukum yang sebelumnya dilakukan Tergugat yang berimbas kepada usaha-usaha
Penggugat. Dengan kata lain, Tergugat memiliki kontribusi pada terjadinya “kredit
macet” ini, serta telah melanggar norma Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur, bahwa Pelapor (lembaga
pembiayaan dan perbankan) wajib menyampaikan Laporan Debitur kepada Bank
Indonesia secara lengkap, akurat, terkini, utuh, dan tepat waktu, setiap bulan
untuk posisi akhir bulan, dimana Pelapor bertanggung-jawab atas Laporan Debitur.
Oleh karena itu, dengan telah terjadinya kesalahan pengimputan data terkait
informasi Debitur (Penggugat) yang dilakukan oleh Tergugat dalam “Sistem
Informasi Debitur”, jelas merupakan bentuk “kelalaian” bahkan tergolong sebagai
“kesengajaan” karena tidak segera ditindak-lanjuti, sehingga dapat
dikategorikan sebagai bentuk Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatigedaad).
Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur bahwa tiap
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti
kerugian tersebut, maupun kaedah Pasal 1366 KUHPerdata yang menyatakan bahwa terjadinya
kelalaian pun tidak luput dari kewajiban untuk bertanggung-jawab.
Sementara itu pihak Tergugat dalam sanggahannya mendalilkan, merujuk Petunjuk
Mahkamah Agung RI. tentang Tehnis Yudisial dan Manajemen Peradilan tahun 2005, dalam
uraian tentang Kompetensi Absolut, Mahkamah Agung RI menegaskan : “Pengadilan Negeri / Umum tidak berwenang
untuk mengadili suatu perkara yang para pihaknya terikat dalam suatu perjanjian
arbitrase, walaupun hal tersebut didasarkan pada gugatan perbuatan melawan
hukum.”
Senada dengan itu, doktrin sebagaimana disampaikan M. Yahya Harahap, SH.,
(“Arbitrase”, Penerbit Sinar Grafika,
Edisi ke-2 Tahun 2006, halaman 89), menuliskan bahwa kemutlakan keterikatan
kepada perjanjian arbitrase, dengan sendirinya mewujudkan kewenangan absolut
badan arbitrase untuk menyelesaikan atau memutus sengketa yang timbul dari
perjanjian. Gugurnya kewenangan mutlak arbitrase untuk menyelesaikan dan
memutus sengketa yang timbul dari perjanjian, hanya dibenarkan bila para pihak
sepakat dan setuju menarik kembali secara tegas perjanjian arbitrase.
Sejak para pihak mengikat diri dalam perjanjian arbitrase, maka pada saat
itulah telah lahir Kompetensi Absolut arbitrase untuk menyelesaikan
persengketaan yang timbul dari perjanjian. Dipertegas lewat ketentuan Pasal 134
HIR: “Jika perselisihan itu adalah suatu
perkara yang tidak masuk dalam kewenangan Pengadilan Negeri, maka pada setiap
saat dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta agar hakim menyatakan dirinya
tidak berwenang dan wajib pula karena jabatannya mengakui bahwa ia tidak
berwenang.”
Terhadap gugatan sang nasabah debitor maupun sanggahan pihak kreditor,
yang kemudian menjadi pertimbangan hukum serta amar putusan Pengadilan Negeri Sangatta,
dengan kutipan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa apabila
mencermati replik penggugat dimana penggugat secara tegas mengakui bahwa
apabila ada perselisihan antara penggugat dengan tergugat akan diselesaikan
pada Badan Arbitrase Syariah Nasional, akan tetapi dalil penggugat yang
menyatakan bahwa gugatan a quo adalah gugatan perbuatan melawan hukum,
sehingga Pengadilan Negeri Sangatta berwenanng untuk memeriksa dan mengadili perkara
a quo;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pasal 16 ayat 1 dan 2 salinan akta perjanjian pembiayaan al-murabahah tanggal
31 Mei 2011 No. 34 (bukti P-1) telah dinyatakan secara tegas bahwa apabila
ada perselisihan antara penggugat dengan tergugat akan diselesaikan pada Badan
Arbitrase Syariah Nasional;
“Menimbang, bahwa terhadap
dalil penggugat yang menyatakan bahwa gugatan a quo adalah gugatan perbuatan
melawan hukum, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perselisihan yang dimaksut
dalam pasal 16 ayat 1 dan 2 salinan akta perjanjian pembiayaan al-murabahah
tanggal 31 Mei 2011 No. 34 adalah segala perselisihan yang terjadi antara
penggugat dan tergugat dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa defenisi
atau batasan perselisihan yang dimaksul dalam pasal 16 ayat 1 dan 2 salinan
akta perjanjian pembiayaan al-murabahah tanggal 31 Mei 2011 No. 34 tersebut tidak
membedakan jenis-jenis perselisihan antara penggugat dan Tergugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
uraian dan pertimbangan- pertimbangan diatas, maka dengan demikian Pengadilan
Negeri Sangatta tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara yang
diajukan oleh Penggugat tersebut:
“M E N G A D I L I :
- Menerima dan mengabulkan Eksepsi dari Tergugat dan Turut Tergugat I
mengenai Kompetensi Absolut;
- Menyatakan Pengadilan Negeri Sangatta tidak berwenang
untuk memeriksa dan mengadili perkara ini.”
Pihak nasabah selaku Penggugat mengajukan upaya hukum banding, dimana
terhadapnya Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai
berikut:
“Menimbang bahwa adapun
mengenai keberatan dari kuasa hukum Penggugat / Pembanding dalam memori
bandingnya yang pada pokoknya menyatakan bahwa Majelis Hakim PN telah keliru
dalam mempertimbangkan Perkara A Quo, karena seharusnya Majelis Hakim PN
Sangatta menyadari bahwa, konteks perjanjian Al-Murabahah yang terjadi antara
Penggugat Asal / Pembanding dan Tergugat adalah ‘Perikatan Yang Lahir Karena
Perjanjian’;
“Sementara gugatan yang
diajukan oleh Penggugat Asal / Pembanding kepada Tergugat jelas mengenai
pengimputan data yang idealnya dikomparasikan dengan ketentuan-ketentuan
hukum perbankan, bukan dengan perjanjian al-murabahah a quo atau dengan kata
lain tuntutan Penggugat sudah sangat jelas dalam posita maupun petitum bahwa
Penggugat Asal / Pembanding memohon agar Tergugat / Terbanding dinyatakan ‘onrechtmatigedaad’
(Perbuatan melanggar hukum) karena melanggar berbagai ketentuan hukum perbankan
melalui kesalahannya dalam melakukan penginputan data-data Penggugat Asal / Pembanding
dan Pertimbangan Majelis Hakim Kurang (onvoeldonde gemotiverd);
“Dalam Menilai Perkara A Quo,
keberatan tersebut menurut Majelis hakim Pengadilan Tinggi tidak dapat
dibenarkan karena sesuai dengan Petunjuk Mahkamah Agung RI. tentang Tehnis
Yudisial dan Manajemen Peradilan tahun 2005, pada Bagian I. Umum, poin 1
tentang Kompetensi Absolut, telah menegaskan bahwa: ‘Pengadilan Negeri /
Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang para pihaknya terikat
dalam suatu perjanjian arbitrase, walaupun hal tersebut didasarkan pada
gugatan perbuatan melawan hukum’; Sehingga oleh karena itu keberatan Penggugat
/ Pembanding tersebut harus dikesampingkan;
“M E N G A D I L I :
- Menerima permohonan banding dari Penggugat / Pembanding;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Sangatta tanggal 01 Desember 2016 Nomor
21/Pdt.G/2015/PN.Sgt. yang dimohonkan banding tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.