LEGAL OPINION
Hak Atas Tanah Terdiri dari Tanah Hukum Adat dan Sertifikat Tanah Kantor Pertanahan, Keduanya Diakui secara Hukum Agraria / Pertanahan Nasional
Jual-Beli Tanah Girik, apakah AMAN? Seperti apakah Bentuk Pengakuan dan Perlindungan Hukum oleh Negara dan Pengadilan terhadap Pembeli Tanah Girik?
Question: Sebenarnya apakah tanah girik, termasuk sebagai “hak atas tanah”? Apakah yang disebut sebagai “hak atas atnah”, hanya terbatas pada sertifikat yang diterbikan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional)? Ada yang mengatakan, sejak terbitnya Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur tentang sertifikasi dan pendaftaran pertanahan oleh BPN dan jajaran kantor dibawahnya, maka girik sudah tidak lagi diakui secara hukum, apa betul demikian?
Keluarga kami ada beban moril juga bila hendak menjual tanah girik milik keluarga kami kepada pembeli, jangan sampai pembeli merasa kecewa setelah membeli tanah girik yang kami jual padanya, sehingga apakah ada bentuk perlindungan hukum paling minimum bagi pihak pembeli tanah girik kami nantinya? Atau bila dipersingkat pertanyaannya, jual-beli tanah girik apakah aman dan terjamin serta diakui oleh hukum? Tidak ingin juga kami digugat pengembalian dana jual-beli oleh pihak pembeli dikemudian hari bila terjadi sesuatu pada tanah girik yang telah kami jual.
Brief Answer: Lahirnya atau terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria, tidak dimaknai sebagai menutup dan tidak mengakui “tanah hukum adat”, justru undang-undang tersebut menyatakan dalam bagian pertimbangan hukum dan penjelasan umumnya, bahwa Undang-Undang tersebut disusun serta dibangun dengan landasan berupa falsafah serta asas-asas hukum adat seperti asas pemisahan horizontal serta asas terang yang merupakan prinsip hukum tanah adat.
Dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria, bukan dimaknai mengingkari terlebih menghapus keberlakuan tanah hukum adat yang dapat berupa tanah girik, Letter C, dan berbagai istilah lainnya. Sehingga, dapat pula kita simpulkan, sebelum terbit Undang-Undang Pokok Agraria, yang berlaku ialah tanah-tanah hukum adat sebagaimana dikelola kadasternya oleh pihak Kepala Desa maupun Lurah setempat. Sementara itu, terdapat dua rezim hukum pertanahan konteks “hak atas tanah” paska terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria, yakni tanah-tanah yang didaftarkan serta disertifikasi oleh Kantor Pertanahan (sebagai delegasi kewenangan dibawah supervisi Badan Pertanahan Nasional) serta tanah-tanah “hukum adat”.
PEMBAHASAN:
Dalam satu kesempatan sesi konsultasi hukum yang pernah dibawakan oleh Konsultan Shietra, seorang klien memiliki permasalahan hukum berupa tanah girik yang tampaknya atau diduga kuat berdiri di atas tanah bidang HPL (Hak Pengelolaan) yang dimiliki oleh suatu instansi pemerintahan. Timbul pertanyaan dalam praktik, apakah sebaiknya tanah girik tersebut disertifikatkan atau didaftarkan kepada pihak Kantor Pertanahan setempat, atau dibiarkan saja tetap sebagai girik dari sejak semula hingga sekarang dan hingga selanjutnya, serta bagaimana perlindungan hukumnya bila tetap berbentuk “tanah hukum adat” berupa girik? Apakah pihak pemegang HPL dapat bersikap sewenang-wenang terhadap warga pemegang “tanah hukum adat” berupa girik seperti merampas bidang tanah pemegang girik?
“Tanah hukum adat” berupa girik, merupakan “hak atas tanah” itu sendiri, tidak berbeda dengan HPL yang juga merupakan sesama “hak atas tanah”—dimana keduanya sama-sama diakui serta memiliki kekuatan hukum dalam proses pembuktian di persidangan, bahkan di mata Mahkamah Agung RI. Bila dalam rezim hukum Undang-Undang Pokok Agraria tanah hak milik yang sifatnya turun-temurun ialah berupa Sertifikat Hak Milik (SHM), maka “tanah hukum adat” berupa girik dapat dianalogikan sama sebagai tanah hak milik yang juga turun-temurun sifatnya, alias tanpa suatu batasan waktu kepemilikan hak.
Karenanya, pada perspektif itulah, “tanah hukum adat” berupa girik masih lebih berharga ketimbang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) terlebih Sertifikat Hak Pakai (SHP) yang memiliki masa keberlakuan hak bagi pemegangnya. Kelemahan atau mungkin satu-satunya kekurangan dari “tanah hukum adat” berupa girik, ialah sifatnya yang tidak dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang secara formil kepada kalangan perbankan untuk dapat diikat dengan instrumen jaminan kebendaan semacam Hak Tanggungan.
Ketika SHGB maupun SHP dihadapkan untuk berlawan-lawanan dengan HPL, maka dapat dipastikan bahwa HPL yang lebih berkuasa dan lebih kuat serta mendominasi “nasib” dari pihak pemegang SHGB maupun SHP, dengan dapat menolak permohonan warga pemegang SHGB maupun SHP ketika mereka mengajukan permohonan perpanjangan ataupun pembaharuan masa berlaku SHGB maupun SHP yang mereka miliki, sehingga alhasil ketika sertifikat “hak atas tanah” sang warga menjadi kadaluarsa haknya membawa akibat konsekuensi hukum berupa otomatis “demi hukum” jatuh kembali sebagai berstatus “tanah yang dikuasai oleh negara”. Karena itulah, tidak menjadi berharga suatu SHGB maupun SHP bila “hak atas tanah” demikian berdiri di atas sebuah HPL.
Prinsip yang sama berlaku bagi Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU), yang juga tunduk pada rezim “Undang-Undang Pokok Agraria”, dimana juga memiliki masa berlaku hak yang perlu diperpanjang ataupun diperbaharui haknya ketika menjelang kadaluarsa. SHGU hanya diperuntukkan untuk fungsi pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dimana tidak dalam rangka pembangunan infrastruktur yang masif. Karenanya, “hak atas tanah” berupa girik masih lebih menjadi pilihan, karena pihak pemegangnya leluasa menentukan fungsi peruntukkan tanah giriknya, apakah untuk pertanian ataupun untuk tujuan pembangunan perumahan serta tidak tunduk pada regulasi perihal luas tanah maksimum yang dapat dimiliki.
Ketika “tanah hukum adat” berupa girik dimohonkan pendaftarannya untuk “diakui” oleh Kantor Pertanahan dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, baik berupa SHM, SHGB, SHGU, maupun SHP, maka “tanah hukum adat” berupa girik menjadi tiada dan tergantikan dengan status barunya sebagai “hak atas tanah” yang bersertifikasi oleh Kantor Pertanahan, sehingga bukan lagi domain Kepala Desa maupun Kelurahan kecuali untuk urusan register Pajak Bumi dan Bangunan—dapat diartikan pula, ketika sebuah girik diakui serta dikukuhkan haknya lewat sertifikasi oleh Kantor Pertanahan setempat, artinya pula girik milik yang bersangkutan menjadi “tinggal sejarah”.
“Tanah hukum adat” berupa girik yang “diakui” haknya dengan diterbitkan sertifikasi oleh Kantor Pertanahan berupa SHM, menjadi layak untuk disebut sebagai “peningkatan hak atas tanah”. Namun, ketika “tanah hukum adat” berupa girik hanya diakui sebagai sebatas SHGB terlebih SHP, maka potensi resiko kadaluarsa “hak atas tanah” dapat terjadi ketika masa haknya telah habis sehingga perlu diperpanjang maupun diperbaharui.
Terlebih menjadi kabar buruk, bilamana ternyata “tanah hukum adat” berupa girik berdiri di atas bidang tanah HPL, sehingga mustahil dapat “ditingkatkan” haknya menjadi SHM, karenanya hanya dapat diberikan sertifikasi oleh Kantor Pertanahan berupa SHGB maupun SHP, yang mana keduanya dapat serta berpotensi tidak dapat dimohonkan perpanjangan haknya ketika SHGB, SHGU, maupun SHP telah kadaluarsa, mengingat pemegang HPL berwenang untuk mengizinkan ataupun menolak permohonan warga pemegang SHGB, SHGU, maupun SHP seperti yang terjadi pada para pemilik rumah-toko (“ruko”) bersertifikat HGB pada kawasan Tanjung Perak di Surabaya—Jawa Timur, yang nasib bangunan “ruko” ber-SHGB miliknya tidak jelas nasibnya karena permohonan perpanjangan masa hak dalam SHGB miliknya ditolak pihak pemegang HPL, karenanya tidak lagi dapat melakukan kegiatan usaha pada “ruko” milik mereka sendiri dimana pihak instansi tidak bersedia menerbitkan Izin Usaha bagi pemilik “ruko” bila tiada afirmasi dari pihak pemegang HPL.
Karenanya, SHIETRA & PARTNERS merekomendasikan sang klien untuk tetap mempertahankan “tanah hukum adat” berupa girik yang telah dimiliki olehnya, alih-alih memasuki dan tunduk pada domain Undang-Undang Pokok Agraria dimana HPL menjadi hak atas tanah yang tertinggi derajat supremasinya tanpa dapat diganggu-gugat oleh warga. Dengan tetap berstatus sebagai “tanah hukum adat” berupa girik, maka antara domain Girik dan domain HPL adalah dua domain hukum agraria yang saling terpisahkan dan tidak pada tempatnya untuk saling dihadap-hadapkan dalam rangka menyatakan siapakah yang lebih kuat “hak atas tanah”-nya. Sehingga, dapat SHIETRA & PARTNERS sebutkan pula bahwa “tanah hukum adat” berupa girik menyerupai “kuasi SHM” bila berada di atas sebuah bidang tanah dengan HPL.
Sebagai bukti adanya bentuk perlindungan oleh negara terhadap warga pemegang “tanah hukum adat” berupa girik, ialah sebagaimana dapat kita rujuk ketentuan berbagai Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah perihal Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum, semisal bidang-bidang tanah milik warga yang akan dibebaskan dengan sejumlah ganti-kerugian dari pihak yang mengadakan pembebasan lahan untuk kepentingan umum, ialah warga-warga yang memiliki “hak atas tanah” berupa SHM, SHGB, SHP, maupun warga pemegang “tanah hukum adat” berupa girik, tanpa terkecuali pihak warga pemilik bangunan berhak atas ganti-kerugian dari pihak pemerintah selaku pelaksana pembebasan lahan.
Sebagai bukti lainnya pengakuan negara hingga lembaga peradilan di Tanah Air yang berpuncak pada Lembaga Kehakiman dibawah naungan Mahkamah Agung Republik Indonesia, terhadap “tanah hukum adat” berupa girik sebagai salah satu “hak atas tanah” disamping sertifikasi “hak atas tanah” oleh Kantor Pertanahan, dapat kita simak pengakuan serta pendirian Ketua Mahkamah Agung RI peruhal dimungkinkannya serta diakuinya jual-beli “tanah hukum adat” berupa girik, melalui suratnya Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016 tentang Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016, telah menerbitkan Surat Edaran kepada seluruh jajaran Hakim Pengadilan Negeri maupun Hakim Tinggi seluruh Indonesia, dengan judul: “RUMUSAN HUKUM RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK Indonesia TAHUN 2016”, yang salah satu butir kaedah pentingnya terkait kriteria “pembeli yang beritikad baik”, ialah sebagai berikut:
“Mengenai pengertian pembeli beriktikad baik sebagaimana tercantum dalam kesepakatan kamar perdata tanggal 9 Oktober 2014 pada huruf a disempurnakan sebagai berikut:
“Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
a. Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara / prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan yaitu:
- Pembelian tanah melalui pelelangan umum, atau:
- Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, atau;
- Pembelian terhadap tanah milik adat / yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat yaitu:
a. dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan / diketahui Kepala Desa / Lurah setempat).
b. didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual.
- Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.
b. Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan antara lain:
- Penjual adalah orang yang berhak / memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya, atau;
- Tanah / objek yang diperjual-belikan tersebut tidak dalam status disita, atau;
- Tanah objek yang diperjual-belikan tidak dalam status jaminan / hak tanggungan, atau;
- Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.”
Frasa “Penjual adalah orang yang berhak / memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya”, telah mengindikasikan secara tersurat kepada masyarakat umum bawasannya sebuah “tanah hukum adat” berupa girik sekalipun merupakan suatu “bukti kepemilikan”—“bukti kepemilikan” apakah? Tidak lain tidak bukan “bukti kepemilikan” terkait “hak atas tanah” itu sendiri. Mahkamah Agung RI tampaknya bahkan memberikan prasyarat yang lebih berat bagi jual-beli tanah yang telah bersertifikat terbitan Kantor Pertanahan, yakni : “Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat”, sementara itu pemegang girik tidak diwajibkan demikian ketika hendak menjual “hak atas tanah” giriknya.
Seperti apakah yang kemudian menjadi perlindungan hukum bagi pembeli yang oleh hukum dinyatakan sebagai “beritikad baik”? Merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, menyatakan:
- Perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang ber-itikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (obyek jual beli tanah).
- Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Penjual yang tidak berhak.”
Kesimpulan serta Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Berhubung Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016 merinci “hak atas tanah” ialah berupa tanah sertifikasi Kantor Pertanahan maupun tanah hukum adat semacam girik, maka ketika Surat Edaran Mahkamah Agung RI tersebut merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 terkait kriteria “pembeli yang beritikad baik”, maka ketentuan diatas berlaku bagi jual-beli tanah sertifikasi Kantor Pertanahan (seperti SHM, SHGB, SHGU, maupun SHP), maupun berlaku pula bagi “hak atas tanah” berupa tanah hukum adat semacam jual-beli tanah girik.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.