SENI PIKIR & TULIS
Jangan Bersikap Seolah-olah hanya Anda yang dapat
Merasa Letih dan Lelah. Bijaksanasini, Bijaksana dan Bijaksini, Bukan hanya Menuntut
Diperlakukan Bijaksini
Untuk menjadi Konsumen yang Cerdas, Janganlah Bersikap Seolah-olah Tidak Ada Penyedia Barang dan Jasa Lain yang Berkegiatan Usaha secara Lebih Manusiawi dan Lebih Adil terhadap Konsumen maupun Calon Pembeli
Baru-baru ini terjadi suatu kejadian unik, yang mungkin juga terjadi di banyak tempat, suatu sikap pelaku usaha yang irasional dalam segi strategi pemasaran dan berniaga—mungkin akibat faktor kesombongan / keangkuhan belaka, sehingga berdelusi dirinya tidak membutuhkan konsumen dan sebaliknya konsumen yang membutuhkan dirinya bahkan harus mengemis-ngemis agar sang pelaku usaha bersedia menjual produknya, sekalipun bidang usahanya ialah kuliner yang mana banyak rumah makan sejenis (jenis usaha penyedia barang yang homogen sifatnya) bertebaran di lokasi sekitarnya.
Ulasan ini penulis susun secara
khusus, sebagai sarana edukasi bagi para pembaca agar mulai membiasakan diri menjadi
konsumen yang cerdas, dengan tidak lagi “dibodohi” oleh penjual / pelaku usaha
yang arogan—dimulai dengan membiasakan diri agar terbiasa memahami apa saja
yang menjadi hak-hak paling prinsipil dari konsumen semata agar tidak menjadi
objek “putar-balik logika moril” pelaku usaha yang kurang mengindahkan kaedah
“etika bisnis”.
“Sok jual mahal”, merupakan
kontra-marketing yang membuat sebuah produk atau jasa yang seandal seperti
bagaimana pun kualitasnya, menjadi jauh di hati masyarakat selaku calon konsumen
ataupun calon pelanggan potensial (potential
buyers and customers). Prinsip utama selalu merupakan kebenaran yang
mengajak kita kembali pada paradigma klise klasik, “Customers is the KING!”, dimana dalam contoh kasus berikut ini,
penulis akan mengangkat sebuah peristiwa dimana penjual bersikap bak “BIG BOSS” sementara itu calon pembeli
diperlakukan seperti seorang “bawahan” ataupun seperti seorang pengemis yang
harus mengemis-ngemis sekalipun senyatanya konsumen harus membayar sejumlah
harga yang ditentukan sepihak oleh sang pelaku usaha sehingga kesepakatan
bukanlah perihal harga jual-beli sebagaimana lazimnya tawar-menawar dalam
sistem transaksional dalam pasar pada umumnnya, namun hanya tersedia pilihan
“sepakat beli” ataupun “tidak sepakat untuk membeli”.
Bermula pada suatu siang hari,
penulis hendak membeli (bertanya harga artinya membeli, bukan meminta ataupun
mengemis-ngemis, juga tidak dalam rangka melakukan tawar-menawar harga) makan
siang dengan mendatangi sebuah rumah makan bernama Bakmi Gramedia Bojong
Indah, Jl. Pakis Raya No. 33, RW.6, Kelurahan Rawa Buaya, Kecamatan
Cengkareng, Kota Jakarta Barat, Jakarta 11740. Kesan pertama (first impression) rumah makan tersebut
sungguh mengandung atmosfer “aneh”, dimana tidak terdapat pelayan yang berjaga
di bagian depan toko yang siap sedia untuk melayani dan ditanyakan perihal menu
masakan yang tersedia untuk dijual, dimana calon pembeli kemudian disuruh-suruh
untuk masuk ke bagian dalam toko alih-alih pihak penjual yang menghampiri calon
pembeli untuk melayani konsumen—pembeli yang (justru) disuruh-suruh oleh pihak
penjual? Itulah keganjilan pertama, tidak bersahabat (unfriendly), terlebih menyuruh-nyuruh calon konsumen pembayar
sejumlah uang, sungguh jenis pelayanan yang buruk.
Pihak Bakmi Gramedia Bojong
Indah bertanya, “Mau beli apa?”
dengan gaya bicara bak mafia. Rasanya sungguh menyerupai masuk sarang penyamun,
tidak menyenangkan dan tidak nyaman. Mau beli apa? Daftar Menu saja tidak ada
dan tidak disediakan bagi pengunjung, lantas bagaimana kita tahu di rumah makan
Bakmi Gramedia Bojong Indah menjual apa saja? Rumah makan semacam apa Bakmi
Gramedia Bojong Indah ini, daftar menu pun tidak disediakan bagi pengunjung
selaku calon konsumen?
Untuk itu, penulis melontarkan secara
santun pertanyaan yang wajar dan lazim ditanyakan oleh pengunjung restoran
manapun, “Menjual apa saja?” Pihak Bakmi
Gramedia Bojong Indah hanya menyebutkan masakan-masakan yang mereka jual,
dimana tidak menyebutkan rincian harga maupun rincian kandungan bahan yang ada di
dalam masakan yang mereka jual, dimana sebagai konsumen yang cerdas tentunya
kita tidak ingin “beli kucing dalam karung” terlebih urusan makanan yang masuk
ke dalam perut kita (bukan hal sepele). Kita perlu memastikan kandungan bahan
masakan memang cocok bagi kita sebelum memesan, membayar (membeli, bukan
meminta terlebih mengemis), dan memakannya.
“Ada bihun, mie, soto, gado-gado.” “Gado-gado-nya masih ada?” “Sudah
habis.” Ini mengapa pihak Bakmi Gramedia Bojong Indah seolah bermain
teka-teki yang membuang-buang waktu pengunjung? “Dagingnya daging apa?” “Daging
ayam.” Mengapa calon pembeli yang harus meminta rincian informasi? “Daging ayamnya, ayam kampung atau ayam
boiler?” “Ayam kampung.” “Berapa harganya?” Pihak Bakmi
Gramedia Bojong Indah alih-alih melayani pertanyaan calon konsumen yang
berniat membeli, justru memarahi penulis seolah penulis merepotkan mereka
semata karena penulis menanyakan harga masing-masing menu yang mereka
jual—sekalipun mereka bisa bersikap profesional dengan membuat daftar menu
serta rincian harga dan foto atau rincian kandungan agar calon konsumen tidak
“beli kucing dalam karung” dan dapat membacanya sendiri bila memang “tidak
ingin direpotkan” (marketing manakah, yang tidak ingin direpotkan? Bila tidak
ingin repot lengkap dengan resiko usaha pengunjung tidak jadi membeli setelah
bertanya menu dan harga, maka jangan buka toko).
Bertanya harga, adalah HAK
CALON KONSUMEN. Tidak jadi membeli, pun merupakan HAK CALON KONSUMEN. Pelaku
usaha yang merasa direpotkan, tidak perlu membuka usaha, dimana pengunjung
kemudian membeli atau tidaknya adalah sudah menjadi resiko usaha setiap pelaku
usaha. Belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dijebak dan terjebak oleh
pelaku usaha restoran yang menyerupai “perampok”, dimana keluarga penulis pada
rumah makan lain pernah seketika memesan tanpa terlebih dahulu bertanya harga
untuk sebuah masakan soto yang pada umumnya hanya seharga semangkuk soto pada
lazimnya, setelah pembeli memakannya lalu ditagihlah sejumlah harga yang
kelewat tinggi diluar kewajaran—sang penjual bersikap “aji mumpung”. Konsumen
komplain, mengapa harganya tidak wajar dan tinggi sekali? “Hanya sesekali saja!” sang penjual berkilah. Sesekali jual rugi,
atau sesekali jual murah, janganlah menjebak konsumen dengan “sesekali memeras”.
Berbuat jahat (menjebak dan memeras, dosa), disebut “sesekali buat dosa” dan
“sesekali jadi korban”?
Sering pula terjadi, pihak
penjual menyuguhkan daftar menu dan rincian harga. Namun juga ternyata adalah
jebakan / perangkap, dimana pihak penjual kemudian menagihkan harga yang jauh
lebih tinggi, dengan memakai alibi atau “alasan pembenar” berupa “Itu harga lama, kini harganya sudah naik!”
Konsumen yang merasa diperdaya, yang merasa diperlakukan tidak adil, yang
merasa telah dijebak dan terjebak, yang merasa dieksploitasi, yang merasa
dimanipulasi, yang merasa dilecehkan, yang merasa diperas, tidak akan pernah
menjadi pelanggan pelaku usaha bersangkutan, yang artinya menjadi sebentuk “potential loss” bagi pihak penjual yang
sekadar mengejar target “hit and run”.
Mencetak untung besar sesaat,
namun melupakan kerugian yang terkandung dibalik sikap tidak etis demikian.
Konsumen bisa melakukan pembalasan dengan cara mereka sendiri, yakni tidak
membeli lagi dan/atau melakukan review, testimoni, atau ulasan terhadap sang
pelaku usaha serta barang-barang jualannya agar diketahui oleh publik luas
sebagai “tidak direkomendasikan”. Pelaku usaha yang membutuhkan konsumen dan
pelanggan, bukan sebaliknya, itulah prinsip paling utama dalam ilmu marketing.
Produk yang unggul, bukanlah segalanya tanpa dibarengi dengan marketing yang
dekat di hati masyarakat.
Kembali pada kisah Bakmi
Gramedia Bojong Indah yang pada tepatnya terjadi pada siang hari di tanggal
24 Oktober 2021, penulis memberi tanggapan secara wajar saja atas pelecehan
“dimarahi dan dihina semata karena bertanya harga” demikian, dengan menyatakan
kekecewaan, “Bertanya harga saja,
dimarahi!” Pihak pemilik rumah makan yang sibuk memasak sendiri di dalam
dapurnya, tanpa mau mengeluarkan sejumlah biaya untuk menyewa atau mengupah
pegawai untuk mengelola usahanya meski sang pemilik rumah makan dengan
serakahnya ingin menjual ini-itu (bayangkan, rumah makan Bakmie namun menjual
pula soto dan gado-gado, nasi tim, bubur, dsb), menjawab bahwa “Saya sedang capek!”
Dirinya sedang letih karena
memasak? Apa urusannya dengan penulis selaku konsumen? Pelaku usaha restoran
manakah yang tidak letih karena memasak makanan yang hendak mereka jual? TIDAK
PROFESIONAL! Urusan konsumen, ialah
membayar sesuai harga menu pesanan yang disepakati, serta atas apa yang menjadi
hak-hak dari konsumen. Selebihnya, bukan urusan konsumen. Bakmi
Gramedia Bojong Indah meminta dimaklumi, namun disaat bersamaan tidak mau
memaklumi konsumen usaha bersangkutan, seperti betapa meletihkan dan sukarnya
mencari uang untuk dapat dapat membayar masakan yang dijual oleh Bakmi
Gramedia Bojong Indah. Kewajiban konsumen ialah membayar harga, tanpa
mengeluh betapa ini dan betapa itu terkait cara mendapatkan uang untuk dapat
membeli dan membayar, yang mana bukan urusan pihak penjual. Begitupula
sebaliknya, secara kontraprestasi, terdapat kewajiban-kewajiban pihak pelaku
usaha yang menjadi hak dari pihak konsumen.
Resiko usaha pihak pelaku
usaha, mengapa dibebankan kepada pundak pihak pengguna barang dan jasa selaku
konsumen? Bakmi
Gramedia Bojong Indah bersikap seolah-olah konsumen tidak memiliki resiko
usaha ketika mencari uang dan nafkah, untuk dapat membeli dan membayar masakan
yang dijual oleh Bakmi Gramedia Bojong Indah. Bersikap profesional
artinya, masing-masing memahami hak dan kewajiban masing-masing, dimana resiko
usaha pihak pelaku usaha bukanlah urusan pihak konsumen. Katakanlah konsumen
memiliki dana untuk membeli, hasil dari berhutang kredit, atau masih memiliki
tunggakan cicilan, atau itu dana terakhir yang dimiliki olehnya dengan menguras
isi tabungan, maka itu urusan pribadi konsumen, bukan urusan pelaku usaha—tanpa
menceritakan dan mengeluhkan semua urusan pribadi sang konsumen, pada pihak
konsumen telah bersikap profesional.
Penulis dapat saja batal
membeli, sekalipun Bakmi Gramedia Bojong Indah akan kembali melecehkan
penulis dengan berkata, “Tanya ini dan
tanya itu, tapi tidak jadi membeli!”, maka penulis menerapkan strategi
berupa membeli menu dengan harga termahal yang mereka jual, kemudian ketika
pulang berkata sebagai berikut untuk didengar mereka dan pengunjung lainnya, “BERTANYA HARGA SAJA, DIMARAHIN. KAPOK SAYA
BELI DI SINI!” Dengan tidak lagi membeli dari sang pelaku usaha, maka
konsumen telah keluar sebagai “pemenang”.
Bakmi Gramedia Bojong Indah, telah kehilangan seorang
pelanggan, yakni setidaknya diri pribadi penulis. Itulah sebabnya, Bakmi
Gramedia Bojong Indah tergolong sepi peminat dan pengunjung, meski harus
penulis akui citarasa masakan yang mereka jual tergolong unggul, sementara
terdapat deretan rumah makan bakmie lain terdapat di sekitar lokasi yang
notabene kompetitor dari Bakmi Gramedia Bojong Indah, namun masih juga
berani bersikap “sok jual mahal” terhadap pengunjung.
Bukan pelaku monopoli usaha,
produknya homogen dengan deretan kompetitor pada lokasi yang berdekatan, harga
jual yang tergolong setinggi langit, namun Bakmi Gramedia Bojong Indah
demikian arogan dan sombong, seolah-olah tidak butuh konsumen dan seolah-olah
konsumen yang membutuhkan Bakmi Gramedia Bojong Indah? Delusi pelaku
usaha yang kelewat delusif. Marketing adalah segalanya dalam ilmu bisnis dan
niaga, sementara keunggulan produk menjadi urutan berikutnya. Tiada artinya
produk yang unggul, tanpa dukungan teknik pemasaran yang baik. Front office dan front liner pelayanan, tidak bisa ditawar-tawar bila pelaku usaha
ingin maju dan berkembang.
Konteks contoh peristiwa di
atas, penulis tidak datang untuk mengemis-ngemis, tidak pula dalam rangka untuk
meminta-minta, juga tidak tawar-menawar harga, namun hendak MEMBELI DAN
MEMBAYAR SEBAGAI PEMBELI jika sepakat jual-beli. Namun, penulis selaku calon
konsumen harus tahu terlebih dahulu produk apa saja yang mereka jual, serta
rincian harga dan spesifikasi. JIka penulis batal membeli dan Bakmi Gramedia
Bojong Indah benar-benar untuk kedua kalinya melecehkan calon konsumen,
meski “tidak sepakat untuk membeli adalah hak calon konsumen”, maka itu
juga opsi yang patut dipilih, karena sama artinya Bakmi Gramedia Bojong
Indah telah pernah dua kali menanam Karma Buruk berupa pelecehan untuk
mereka petik sendiri di kehidupan mendatang buah Karma Buruk-nya.
Bercermin dari pengalaman penuh
“try and error” selama penulis juga
menjadi seorang pelaku usaha, baik penyedia barang maupun jasa yang benar-benar
memahami strategi bisnis, tidak akan melecehkan calon konsumen yang sekalipun
tidak membeli saat berkunjung (sepanjang mereka tidak meminta tanpa kesediaan
membayar sejumlah harga / tarif baik barang maupun jasa). Mereka semua, tanpa
terkecuali, merupakan calon konsumen potensial sekalipun pada saat
kini bisa jadi belum tepat saatnya bagi mereka untuk membeli karena
pertimbangan-pertimbangan pribadinya yang tidak perlu disampaikan oleh mereka
kepada orang lain. setidaknya, kita dapat menumbuhkan benih-benih ide ke
benak mereka, agar ketika mereka teringat sesuatu dikemudian hari, mereka akan
teringat kepada kita dan tergerak hatinya untuk membeli.
Ketika pelaku usaha tetap
bersikap ramah sekalipun sang pengunjung tidak membeli, maka citra tersebut
akan terkesan di benak pengunjung, seperti “betapa ramah dan menyenangkannya
berhubungan dengan pelaku usaha ini”, yang mana akan dapat benar-benar menjelma
konsumen di waktu mendatang kapan mereka siap untuk itu. Konsep psikologi
utiliarianisme menyebutkan, manusia cenderung bergerak menjauhi rasa sakit
ataupun ketidaksukaan, serta akan terdorong hatinya untuk mendekati sesuatu
yang mereka senangi dan sukai dimana mereka merasa nyaman karenanya.
Bila hari ini belum deal, bukan artinya selamanya tidak akan
pernah ada deal dengan para
pengunjung. Hanya persoalan waktu, yang terpenting ialah sarana edukasi produk
telah tertanam benihnya secara baik di benak calon pembeli potensial.
Selebihnya, hanya menunggu berbuah dan memetik hasilnya dikemudian hari
sekalipun bukan saat kini. Marketing merupakan sarana investasi, bukan kerugian
dari segi waktu maupun dana beriklan. Menjual, artinya memarketingkan suatu
produk atau jasa kepada khalayak ramai, bukan untuk diketahui oleh sang pelaku
usaha itu seorang diri.
Karenanya, pelaku usaha yang
cerdik, memahami betul pentingnya sarana edukasi bagi publik perihal produk apa
saja yang mereka jual serta keunggulan dibaliknya disamping rincian lain
semacam harga dan lain sebagainya agar diketahui oleh publik dan tertanam di
benak mereka secara penuh “kedekatan” (proximity,
seperti keramahan, penuh kesan positif, dan lain sebagainya). Produsen kelas
dunia, selalu mengganggarkan budget
mereka untuk dialokasikan bagi keperluan advertisement,
semata dalam rangka diketahui oleh publik, dan itu merupakan sebuah “investasi”.
Justru akan terbersit kesan
serta citra yang melekat erat pada benak dan alam bawah sadar setiap pengunjung
yang berkunjung (calon konsumen), bahwa kita adalah pelaku usaha yang ramah,
bersahabat, tidak suka melecehkan, hangat, mau mendengarkan dan bersedia
meluangkan waktu untuk menjawab, menghargai calon konsumen, tidak menghardik
pengunjung yang tidak membeli, serta sangat “wellcome”, maka dilain waktu mereka membutuhkan produk atau jasa
untuk mereka beli, mereka akan teringat serta mengingat kita. itulah, psikologi
konsumen yang tidak diketahui oleh Bakmi Gramedia Bojong Indah.
Penulis tergolong individu
serta pribadi yang mengedepankan otak dan logika serta harga diri ketimbang
urusan perut dan lidah yang rendahan. Karenanya, untuk tipe konsumen semacam
diri pribadi penulis, keunggulan produk adalah nomor kesekian terutama
produk-produk homogen yang tersedia di pasaran. Loyalitas ditumbuhkan lewat
kecintaan konsumen kepada suatu produk atau jasa dari suatu pelaku usaha
(faktor perasaan). Ketika perasaan konsumen merasa dilukai karena diperlakukan
secara tidak adil dan tidak patut sekalipun sekadar menggunakan hak-haknya,
maka yang akan terbentuk ialah kekecewaan, rasa penolakan, citra negatif,
sekalipun konsumen berkunjung bukan untuk meminta-minta, bukan pula
mengemis-ngemis, namun sekadar bertanya informasi seputar menu serta harga dan
komposisi yang mana barulah merupakan jenis konsumen yang kurang cerdas yang
tidak menggunakan hak-haknya tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.