SENI SOSIAL
EQ, Emotional
Quotient atau Kecerdasan Emosional dimaknai sebagai Kemampuan Berempati,
Pengendalian Diri, Kebijaksanaan, Berkeadilan, Bertanggung-jawab, serta Memiliki
“Sense of Justice”
Question: Mengapa masyarakat kita, semudah itu menghakimi orang-orang dengan tipe introvert sebagai anti sosial bahkan disebut dan diberi stigma sebagai ber-EQ rendah? Memangnya EQ diartikan sebagai banyak teman?
Brief Answer: Tidak ada relevansinya antara EQ dan banyak atau
sedikitnya sahabat maupun teman. Rata-rata orang ber-IQ tinggi (pada jenius) memiliki
tipe kepribadian introvert, dan tipe kepribadian intovert memang memiliki
pertalian maupun lingkungan pergaulan yang cenderung sempit dan terbatas. Meski
demikian, bukankah kita sudah banyak melihat, semua orang mengenal tokoh-tokoh yang
tergolong jenius, meskipun sang jenius tidak mengenal semua orang. Bukan perihal
kuantitas sahabat, namun kualitas persahabatan. Terlagi pula, jadilah
bersahabat tanpa perlu membuang-buang waktu untuk membuktikan pada dunia bahwa
kita memiliki banyak sahabat maupun ketenaran nama. Memiliki “low profile” bukanlah sebuah “dosa”,
terlebih merasa “tabu”.
Teman dan pertemanan mudah dijumpai dan dibangun,
namun pertemanan yang baik dan sehat serta positif, seorang sahabat yang setia
dalam suka dan duka, ibarat menemukan jarum diantara tumpukan jerami. Kita akan
lebih banyak menjumpai mereka yang ada ketika kita sedang bersenang-senang dan mereka
semua seolah akan sirna ketika kita sedang dalam kondisi sukar dan membutuhkan
pertolongan serta uluran tangan. Pepatah pun sudah menyebutkan, tiada yang
lebih gagal daripada orang-orang yang berupaya untuk menyenangkan serta
memuaskan semua orang.
Teman yang baik, akan senantiasa memperingatkan sahabatnya
ketika berbuat keliru, lewat teladan nyata mempromosikan ajakan untuk turut melakukan
kegiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang sehat serta positif disamping
produktif, menjadi sumber inspirasi, saling menyemangati, dapat dipercaya,
tempat berbagi suka dan duka, saling menolong disaat membutuhkan, penuh empati
serta penuh perhatian disamping pengertian. Lebih baik berjumpa dan mengenal
satu orang sahabat yang benar-benar layak disebut sebagai sahabat karib,
daripada mengenal dan mengikat relasi pertemanan dengan para “benalu” maupun “toxic friends” yang hanya meracuni.
PEMBAHASAN:
Memang tidak dapat dipungkiri, masyarakat
luas kita masih kerap memandang rendah dan menghakimi sebagai “aneh” anggota masyarakat
kita yang bertipe kepribadian intovert, semata serta sedangkal pertimbangan karena
mayoritas dari anggota masyarakat kita bertipe ekstrovert. Sekalipun, secara
ilmu psikologi, menjadi seorang introvert adalah sama wajar dan normalnya
dengan terlahir berkepribadian ekstrovert. Karenanya, standar baku “normal”
tidak relevan bila dikaitkan dengan introvert atau ekstrovert-nya seorang
individu. Menggeneralisir, sama artinya menghakimi secara tidak rasional
disamping memungkiri kenyataan.
Makna dari EQ, Emotional Quotient atau Kecerdasan
Emosional, ditandai oleh kematangan dalam segi empati, kebijaksanaan, jiwa
berkeadilan, pengendalian diri, penuh tanggung jawab, serta yang tertinggi
ialah tataran dimilikinya sebentuk “sense
of justice”. Diluar kriteria yang telah diuraikan tersebut, tidak tahan “uji
moril” dimana salah satunya ialah pemaknaan secara dipaksakan seolah-olah EQ
dipersepsikan identik atau sama dengan “banyak teman” atau “lingkungan
pergaulan yang luas”. Tahukah Anda, hakim yang baik memang sudah sepatutnya “mengucilkan
diri” dari komunitas pergaulan manapun, dengan demikian putusannya akan
bersifat netral tanpa konflik kepentingan apapun.
Semua koruptor yang memiliki
jabatan tinggi, seluruhnya memiliki jejaring sosial, pertemanan, dan relasi
yang luas, baik mengenal maupun dikenal oleh kolega, sahabat, rekan kerja
sejawat, warga, maupun sahabat, dan publik luas. Namun, mengapa mereka masih
juga merampas nasi dari piring milik orang-orang yang lebih miskin dari sang
koruptor? Jika EQ diberi pemaknaan sebagai “banyak teman” atau “mampu membangun
relasi bisnis dan sosial maupun politik” yang berjejaring luas, maka jelas bahwa
para koruptor tersebut dapat kita sebut sebagai memiliki EQ yang melimpah. Tentu
kita akan terpanggil untuk tidak sependapat terhadap pandangan demikian, demi
menghindari “moral hazard”.
Sebuah contoh sederhana yang dapat
kita jumpai sendiri di keseharian, mungkin dapat lebih menjelaskan serta tepat
pada sasaran. Ketika penulis masih duduk sebagai pelajar di Sekolah Menengah, tatkala
para murid sekelas lebih banyak bersosialisasi di lapangan sepak bola sebagai
rekan sepermainan, yang bahkan setiap harinya saling berinteraksi dalam lingkup
olahraga sepulang sekolah dan hobi disamping tokoh dan klub sepak bola favarit mereka
yang mereka perbincangkan setiap hari tanpa habisnya, telah ternyata tidak dapat
disebut telah terbangun sebentuk EQ diantara mereka satu sama lainnya.
Penulis secara pribadi kurang
menyukai permainan sepak bola, disamping kondisi penglihatan penulis yang
bergantung pada kacamata, namun apakah artinya penulis harus memaksakan diri
bermain bersama anak-anak lainnya di lapangan sepak bola tersebut dan berpura-pura
menyukainya, semata agar diterima komunitas pergaulan di sekolah serta disebut
ber-EQ? Terbukti ketika salah seorang diantaranya mengalami kecelakaan saat
berlangsungnya permainan disaat waktu istirahat disela-sela waktu sekolah, dimana
tulang lengan pemain yang mengalami kecelakaan bukan sekadar cedera, namun
bergesernya tulang lengan sehingga tidak dapat digerakkan pada saat itu juga.
Sekalipun tingkat keparahan dan
resikonya cukup tinggi bila tidak segera mendapat pertolongan memadai, telah
ternyata tidak ada satupun rekan-rekan bermainnya yang menaruh empati maupun
rasa prihatin, terbukti dari pemain sepak bola lainnya—sekalipun mereka semua adalah teman satu kelas dan satu angkatan
di sekolah, disamping selama ini menjadi rekan sepermainan—seketika kembali
sibuk asyik sendiri melanjutkan permainan mereka, dimana penulis yang justru
kemudian menemani sang anak menuju klinik di sekolah untuk mendapat penanganan
medik secara segera, sekalipun sang anak mengaduh-aduh dan terlihat
memprihatinkan kondisinya.
Di mata penulis, sangatlah “aneh
namun nyata”, bagaimana mungkin ketika teman sepermainan dengan mereka mengalami
cedera dan kecelakaan sehebat itu, separah dan sefatal itu, namun tiada satupun
diantara kedua kesebelasan itu yang menaruh rasa empati dan prihatin,
setidaknya menemani sahabatnya menuju klinik dan tanpa perlu berpikir dua kali
untuk bersedia mengorbankan kesenangan maupun keasyikan mereka bermain sepak
bola yang jauh lebih remeh-temeh dan sepele untuk didahulukan.
Menyepelekan perasaan korban, adalah
salah satu bentuk atau cerminan dangkal dan rendahnya EQ. Mampu turut merasakan rasa
prihatin, merupakan sumber kemampuan untuk ber-empati. Sejak kejadian
tersebut, penulis memiliki pemahaman yang sama sekali bertolak-belakang dengan
pandangan pada umumnya yang memandang serta meyakini bahwa EQ disama-artikan dengan
“banyak teman”. Penulis secara pribadi telah sejak dahulu kala melakukan re-definisi
perihal EQ, dimana “banyak teman” tidak menjamin apapun selain berbagi suka kesenangan,
namun belumlah tentu mereka akan hadir untuk berbagi duka bersama. Teman terbaik,
ialah menjadi sahabat yang dapat diandalkan, tidak mengkhianati, serta dapat dipercaya
oleh diri kita sendiri.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.