SENI
SOSIAL
Menjadi seorang INTROVERT (secara Kontras
Berkebalikan dari Ekstrovert), Bukanlah sebuah Dosa, Tabu, maupun Aib untuk
Dihakimi
FRAMING Versus RE-FRAMING
Question: Apakah salah, tampil apa-adanya sebagai diri kita
sendiri? Semisal diri kita adalah seorang introvert murni, maka apakah
merupakan hal “tabu” untuk bersikap sebagai seorang introvert apa-adanya, “aib”
untuk ditutupi rapat-rapat, ataupun “dosa” sehingga perlu merasa malu? Apakah
bila kita memang atau mengakui diri sebagai seorang introvert, lantas orang
lain maupun masyarakat menjadi memiliki hak untuk menghakimi, melecehkan,
ataupun mendikreditkan orang-orang yang memang dasariahnya memang terlahir
dalam kondisi tipe introvert?
Apakah kita harus menguras
energi mental dengan bersikap “heboh”, semata-mata agar pada persona (topeng)
diri kita tampak atau dikenal sebagai seorang ekstrovert? Saya lebih suka
menjadi seorang pendiam dalam kesibukan sendiri ataupun kreativitas diri,
daripada memaksakan diri menjadi seorang “norak” dengan kebanggaan konyol-bodoh
milik mereka. Sejarah telah membuktikan, para tokoh-tokoh jenius dunia dan
produktif dalam ilmu pengetahuan dan inovasi, mereka merupakan para golongan
introvert. Menjadi introvert, adalah berkah tersendiri, alih-alih “kutukan”.
Para jenius tersebut, mungkin
saja tidak berteman dengan semua atau banyak orang, tapi siapa yang tidak
mengenal sosok sang jenius tersebut? Saya lebih suka menggali potensi dalam
diri saya sendiri, daripada sibuk membuang waktu produktif yang amat sangat
berharga untuk memuaskan dan menyenangkan semua orang di sekeliling saya
ataupun setiap orang yang berjumpa dengan saya. Apakah salah, jika saya punya
pendirian yang seolah menentang budaya sosial yang dibentuk (framing, pembingkaian) oleh masyarakat kita
yang para ekstrovert semacam itu?