SENI SOSIAL
Untuk Anak Sendiri, Kok Dicoba-Coba?!
Kampanye Gerakan SAYANG ANAK (maka juga) SAYANG UMAT
MANUSIA
Question: Sering dibuat gerah juga geram, betapa tidak, orang-orang
kerap membuat saya kesal, dengan alasan sedang menguji kesabaran saya. Mereka
pikir diri mereka itu siapa, merasa berhak menguji kesabaran orang lain tanpa
diminta? Siapa juga yang suka diuji-uji kesabarannya, lantas seolah untuk itu mereka
berhak bertindak seenaknya terhadap diri kita, kemudian masih pula men-cap
(memberi label) sebagai tidak lulus ujian kesabaran. Siapa juga yang mau dan yang
berhak membuat standar kesabaran.
Jika mau tuntut orang agar lapang dada dan berbesar hati juga penuh kesabaran, sesabar mayat yang hanya bisa diam terbujur kaku disakiti seperti apapun, mengapa tidak mereka tuntut diri mereka sendiri saja alih-alih menuntut orang lain untuk bersikap sabar terhadap mereka? Mereka sendiri ternyata tidak punya kesabaran terhadap orang lain maupun kepada diri mereka sendiri, namun masih juga menuntut orang lain untuk bersikap sabar terhadap mereka.
Brief Answer: Kita tidak dapat mewajibkan orang lain untuk
bersikap bersabar “tanpa batasan”, terlebih secara tidak etis menguji tingkat
kesabaran seseorang. Semua orang memiliki “bottom
line”, dan jangan pernah lewati batas “garis bawah” orang lain, dimana
masing-masing orang memiliki batas “baris bawah” yang saling berbeda satu sama
lainnya—terlebih-lebih bila mereka memakai standar kesabaran mereka sendiri
untuk menilai dan menghakimi daya lenting kesabaran orang lain.
Perlu juga kita ketahui dan pahami, bahkan yang
ekstrem menurut pandangan mata kita, belum tentu ekstrem di mata seseorang
lainnya; semisal seperti Sang Buddha yang hanya tidur selama empat jam setiap
harinya, dan hanya maka satu kali dalam sehari, telah ternyata mampu diikuti
dan dipraktikkan oleh sejumlah bhikkhu dari tradisi Theravada, namun tidak
dapat ditiru menurut sebagian umat awam lainnya. Karenanya, standar pribadi
hendaknya cukup untuk pribadi diri kita sendiri jalankan, yang mana orang lain
boleh meneladani kita namun bukan untuk menghakimi orang lain.
Nasehat agar bersabar, hanya boleh disampaikan
sebatas imbauan, bukan untuk menghakimi orang lain sebagai “tidak punya
kesabaran” atau “tidak mampu bersabar”, “tidak cakap dalam sikap sabar”, dsb.
Daripada menuntut orang lain untuk memakai standar diri kita sendiri sebagai
preferensinya, lebih baik kita jalankan sendiri apa yang menjadi perspektif
standar pribadi diri kita mengenai apa yang menurut kita adalah “kesabaran”. Terlebih
tidak etis bila yang menyuruh kita untuk bersikap sabar, ialah mereka yang
telah menyakiti, melukai, ataupun merugikan diri kita, alih-alih
bertanggung-jawab terhadap kita atas perbuatannya.
Mudah saja menghakimi seseorang lainnya
sebagai “kurang bersabar”, mengingat kesabaran sifatnya memang tidak jelas
parameter atau tolak-ukurnya. “Sabar” bagi atau menurut kacamata kita, belum
tentu “sabar” menurut pandangan orang lain yang berbeda latar-belakang hidup
maupun kondisi. Sekalipun kita telah bersikap sabar dan setegar yang kita
mampu, orang-orang yang berniat kurang baik terhadap diri kita tetap akan
semudah menghakimi kita sebagai “kurang bersabar, harus lebih bersabar lagi dan
lebih bersabar lagi”.
Sampai dimanakah, batas toleransi kesabarannya?
Tidak pernah jelas, karena memang sangatlah subjektif sifatnya; sehingga
terhadap apa yang bertopang pada “citarasa” ataupun “selera” yang kesemua itu
bersifat subjektif, standar mana tidak dapat dipaksakan untuk diadopsi oleh
orang lain kecuali oleh diri kita sendiri. Ada waktunya kita untuk bersabar,
namun juga ada waktunya bagi kita untuk bertindak atau mengambil tindakan
secara tegas, jika perlu secara keras, tepat pada waktunya dan juga tepat pada
sasaran orangnya. Bijaksana artinya, tahu “sikon”, situasi dan kondisi, tidak
membuta seolah tidak menjadikan relevan konteks yang ada bisa dan senantiasa
berubah. Bagaikan air, tahu wadahnya dan menyesuaikan dengan wadahnya, alias
situasi dan kondisi itu sendiri.
Yang jelas, seperti yang juga pernah penulis
alami, ketika seseorang merasa berhak mempermainkan kita dengan alibi sedang
“mengetes” atau “mencobai” diri kita, maka berikutlah cara untuk menjawabnya
dan dijamin akan efektif untuk membungkam para pelaku “verbal bullying” tersebut (dengan kata lain, penghakiman atas
kesabaran diri kita sejatinya adalah sebentuk perundungan itu sendiri):
“Anda pikir diri Anda adalah
Tuhan, yang berwenang untuk menguji-coba umat manusia? Sayangnya, Anda bukanlah
Tuhan, dan Anda tidak punya hak untuk mencoba-cobai kesabaran orang lain.”
PEMBAHASAN:
Meski demikian, Tuhan sekalipun
sejatinya tidak pernah mencobai umat manusia. Mengapa? Semata karena Tuhan
sudah “Maha Tahu” dari sananya, sehingga tidak lagi butuh mencobai ataupun
menguji umat manusia. Memangnya, siapa yang telah menciptakan umat manusia,
lengkap dengan segala kelebihan, kekurangan, dan sifat-sifat perangainya
masing-masing? Kecuali, kita mengaku Tuhan bukanlah “sang Pencipta” sehingga
baru dapat disebut ataupun menyandang gelar sebagai “Maha Pencoba”, yang merasa
masih butuh laboratorium kebidupan berupa dunia manusia lengkap dengan segala
“manusia cobaan” sebagai “kelinci percobaannya” untuk diteliti dan dijadikan
objek eksperimen lewat serangkaian uji-coba / pengetesan.
Tuhan sendiri yang menciptakan,
namun Tuhan sendiri pula yang merasa butuh mencobai ciptaannya sendiri;
bukankah preposisi demikian terdengar saling menegasikan satu sama lainnya?
Perlu kita ketahui dan sadari, umur umat manusia sudah sama tuanya dengan
usia planet bernama Bumi ini. Sehingga menjadi absurd, ketika disebutkan
bahwa Tuhan masih butuh mencobai manusia tanpa belajar dari pengalaman
percobaan-percobaan sebelumnya terhadap objek yang sama berupa manusia.
Perhatikan, sudah tidak
terhitung jumlahnya manusia yang dinyatakan “ciptaan gagal” dan dicampakkan
untuk menghuni alam NERAKA oleh Tuhan, “sang Pencoba”. Mengapa Tuhan tidak
pernah mau belajar dari pengalaman-pengalaman dan kesalahan-kesalahannya dimasa
lampau, dengan kembali memakan “tumbal jiwa” bernama umat manusia yang malang
dan tidak berdaya terhadap otoritarian (dictatorship)
Tuhan juga tidak punya apa yang disebut sebagia hak untuk menentukan nasib
sendiri (the right of self determination) namun semata atas dasar kuasa,
rencana, dan seizin Tuhan?
Profesor “Ling Lung” saja tidak
sedungu Tuhan, jika demikian, terus-menerus mencobai manusia dengan cara
yang sama, bencana yang sama, derita hidup yang sama, namun mengharap untuk
menghasilkan hasil yang berbeda—“it is
INSANE” kata Albert Einstein. JIka manusia ciptaannya tidak lolos
uji coba, meski Tuhan mengklaim bahwa tiada cobaan yang tidak sanggup
ditanggung manusia, walau disaat bersamaan banyak diantara umat manusia yang
bertumbangan menjadi korban jiwa akibat kelaparan, kemiskinan, penyakit, wabah,
bencana alam (the act of God), maupun
konflik sosial yang pastinya direncanakan, dikehendaki, serta atas seizin
disamping kuasa Tuhan, maka sang “manusia cobaan” yang gagal selamat dari
“seleksi Tuhan”, akan dilempar atau lebih tepatnya dicampakkan ke tong sampah
raksasa bernama “alam NERAKA”, alam dimana Tuhan hendak “cuci tangan” dari
kegagalan-kegagalannya dalam menciptai umat manusia, lalu melemparkan kesalahan
kepada umat manusia yang dijadikan “kambing hitam” kegagalan dan inkompeten-nya
Tuhan yang telah ternyata “tidaklah kuasa-kuasa amat”.
Jika manusia diciptakan secara
tidak sempurna, maka adalah wajar bila terdapat cacat-cela, besar ataupun
sedikitnya, maka menjadi salah siapa? Yang jelas, bukan salah bunda mengandung,
namun silahkan salahkan diri Tuhan itu sendiri yang menciptakan umat manusia
lengkap dengan segala kekurangan, kelemahan, dan cacat diri dan kondisi
dasariah atau fundamental psikisnya. Selama ini berbagai agama samawi
menggambarkan betapa Tuhan justru menunjuk hidung umat manusia sebagai biang
keladi segala keonaran, kebusukan, dan kejahatan dunia, meski itu artinya empat
jari menunjuk ke arah diri Tuhan itu sendiri—kecuali Tuhan versi perspektif
paham “agnotis” yang lebih menghormati keagungan dan kemuliaan Tuhan, karena
Tuhan tidak lagi terlibat langsung dalam urusan duniawi setelah proses
penciptaan alam semesta lengkap berserta dengan segala hukum-hukumnya, mulai
dari hukum alam, hukum semesta, hukum fisika, tidak terkecuali Hukum Karma itu
sendiri sehingga kesemua yang selama ini terjadi dan jalannya dunia yang terus
berputar ialah berdasarkan “program” autopilot bersadarkan hukum-hukum tersebut
sebagai konsekuensi logis dari proses “sebab dan akibat” yang saling berkaitan
satu sama lainnya semata.
Sadarkah kita semua, bahwa alam
NERAKA itu sendiri sejatinya merupakan monumen atau tugu peringatan KEGAGALAN
demi KEGAGALAN Tuhan itu sendiri dalam proses penciptaan umat manusia?
Sehingga, semestinya Tuhan merasa alam NERAKA sebagai aib yang mencoreng wajah
Tuhan itu sendiri, bukan justru dijadikan ajang pamer untuk menakut-nakuti umat
manusia (sungguh versi Tuhan yang “tidak punya malu”). Tanya mengapa? Semata
karena seekor keledai saja tidak jatuh ke lubang yang sama untuk kesekian
kalinya, namun Tuhan masih juga saja mencoba-cobai umat manusia meski umur umat
manusia sudah setua usia Planet Bumi ini, bermilenium-milenium.
Pertanyaannya, mau sampai
kapan, Tuhan menjadikan umat manusia sebagai “kelinci percobaan” dan bermain-main
dengan nyawa hidup makhluk hidup yang dibuat sengsara jatuh dan bangun, yang sayangnya
tidak pernah minta dilahirkan sehingga adalah tanggung-jawab moril Tuhan untuk
merawat dan mengasuh anak manusia yang cacat fisik maupun cacat mental
sekalipun, sebagaimana orangtuanya menyayangi dan rela merawat serta melindungi
anak-anak malang yang tidak sempurna tersebut, alih-alih mencampakkannya ke
alam NERAKA bak “sampah”?
Contoh kontraproduktif dapat
kita jumpai dalam salah satu “agama samawi”, yang nabinya ialah seorang manusia
yang dikultuskan sebagai Tuhan—aneh bin ajaib, Tuhan lahir dari rahim seorang
wanita serta terlahir di kandang ternak?—digambarkan sebagai demikian
berwelas-asih penuh kasih sayang dengan simbol hati dalam potret berupa lukisan
pada bagian dadanya. Namun, terhadap mereka yang tidak meyakini sang nabi juga
tidak meyakini agama yang bersangkutan, maka sang nabi yang “katanya” (konon)
penuh cinta kasih tersebut akan “mendadak keji” dengan melempar umat manusia yang
tidak bersedia menggaikan jiwanya menjadi budak sembah-sujud, ke alam NERAKA.
Sebuah “standar ganda”, suatu “musang berbulu domba”. Namun bukankah semua
penipu, memang seperti itu karakter modusnya, yakni berpura-pura baik dan manis
tutur-katanya untuk menjebak korbannya?
Faktanya pula, umat manusia
yang lebih kerap mencoba-cobai Tuhan yang mereka sembah, alih-alih Tuhan yang
mencobai mereka. Sama halnya seperti, lebih kerapnya umat suatu agama itu
sendiri yang menodai, menista, dan mencoreng nama agamanya sendiri. Apa
buktinya? Tengok saja kelakuan sebagian besar penduduk kita tatkala negeri
sedang dilanda wabah akibat pandemik virus menular mematikan antar manusia,
sebagian dari para warga kita berspekulasi menguji Tuhan dengan menyatakan:
“Jika Tuhan
memang berkehendak saya mati, maka saya akan mati kena tabrak mobil, penyakit
kantong kering, atau bencana lainnya, sekalipun saya memakai masker penutup
hidung dan mulut setiap harinya bahkan di ranjang ketika tertidur bersama
isteri. Namun jika Tuhan tidak merencanakan, juga tidak berkehendak saya untuk
mati saat kini juga, maka dikala wabah pun tidak akan merenggut nyawa saya
sekalipun tanpa pernah mengenakan masker penutup hidung maupun mulut.”
Tahukah Anda, jika Anda
ditampar oleh penulis, maka yang menampar wajah Anda bukanlah diri penulis pribadi.
Tuhan sedang meminjam tangan penulis untuk menampar wajah Anda dalam rangka
pelaksanaan atas rencana besar, kehendak, serta atas seizin maupun kuasa
Tuhan—dimana tanpa itu, maka menjadi mustahil terjadinya, dan sebaliknya dengan
segala izin maupun kuasa Tuhan maka segalanya menjadi niscaya terjadi. Para penjahat
yang berkeliaran di luar sana, merupakan para agen-agen rahasia utusan Tuhan, dimana
tangan-tangan mereka dipakai Tuhan untuk mencobai, dan merampok Anda, sehingga
bukan pada tempatnya mereka dilaporkan ke polisi untuk dicampakkan ke balik
jeruji penjara ataupun didoakan untuk dilempar ke neraka.
Sehingga, tiada yang lebih
banyak mengusik serta mengkambing-hitamkan sosok murni Tuhan—yang semestinya tidak
perlu diusik dan dibiarkan tetap dalam kondisi agung, damai, dan hening dengan
tidak campur-tangan urusan duniawi—selain umat dari agama-agama samawi itu
sendiri. Bukankah sudah sejak lama, iklan pariwara produk obat cacing beberapa
dekade lampau telah berpesan dalam “jingle”-nya
yang termasyur itu kepada para permisa, sebagai berikut : “Untuk anak sendiri, kok dicoba-coba?!”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.