(DROP DOWN MENU)

Apakah Salah, Terlahir sebagai seorang INTROVERT?

SENI SOSIAL

Menjadi seorang INTROVERT (secara Kontras Berkebalikan dari Ekstrovert), Bukanlah sebuah Dosa, Tabu, maupun Aib untuk Dihakimi

FRAMING Versus RE-FRAMING

Question: Apakah salah, tampil apa-adanya sebagai diri kita sendiri? Semisal diri kita adalah seorang introvert murni, maka apakah merupakan hal “tabu” untuk bersikap sebagai seorang introvert apa-adanya, “aib” untuk ditutupi rapat-rapat, ataupun “dosa” sehingga perlu merasa malu? Apakah bila kita memang atau mengakui diri sebagai seorang introvert, lantas orang lain maupun masyarakat menjadi memiliki hak untuk menghakimi, melecehkan, ataupun mendikreditkan orang-orang yang memang dasariahnya memang terlahir dalam kondisi tipe introvert?

Apakah kita harus menguras energi mental dengan bersikap “heboh”, semata-mata agar pada persona (topeng) diri kita tampak atau dikenal sebagai seorang ekstrovert? Saya lebih suka menjadi seorang pendiam dalam kesibukan sendiri ataupun kreativitas diri, daripada memaksakan diri menjadi seorang “norak” dengan kebanggaan konyol-bodoh milik mereka. Sejarah telah membuktikan, para tokoh-tokoh jenius dunia dan produktif dalam ilmu pengetahuan dan inovasi, mereka merupakan para golongan introvert. Menjadi introvert, adalah berkah tersendiri, alih-alih “kutukan”.

Para jenius tersebut, mungkin saja tidak berteman dengan semua atau banyak orang, tapi siapa yang tidak mengenal sosok sang jenius tersebut? Saya lebih suka menggali potensi dalam diri saya sendiri, daripada sibuk membuang waktu produktif yang amat sangat berharga untuk memuaskan dan menyenangkan semua orang di sekeliling saya ataupun setiap orang yang berjumpa dengan saya. Apakah salah, jika saya punya pendirian yang seolah menentang budaya sosial yang dibentuk (framing, pembingkaian) oleh masyarakat kita yang para ekstrovert semacam itu?

Brief Answer: Bagi masyarakat yang rendah tingkat pendidikannya sehingga pandangannya cenderung dangkal dan naif, memang dapat kita maklumi bila mereka tidak memahami ilmu pengetahuan mengenai psikologi dasar perilaku manusia yang sudah sejak lama adanya mengenal kategorisasi “normal” adanya dua jenis kutub watak fundamental seseorang individu yang saling bertolak-belakang sehingga jelas “saling berbeda satu sama lainnya”, bisa berupa tipikal ekstrovert maupun introvert, ataupun perpaduan antara keduanya dalam perimbangan derajat tertentu sesuai masing-masing pembawaan lahir setiap pribadi yang unik dan personal sifatnya.

Artinya, secara sains dibidang ilmu pengetahuan psikologi, menjadi seorang introvert sama lazim dan sama normal adanya dengan mereka yang terlahir dalam kondisi watak ekstrovert. Jikalaupun seorang introvert mengeluhkan kondisinya tersebut kepada psikolog sekalipun, seorang psikolog tetap akan mengkategorikan seorang introvert sebagai pribadi yang “normal” saja adanya. Yang “tidak normal”, ialah sikap-sikap “norak” ala “tong kosong nyaring bunyinya”, dimana menjadi seorang ekstrovert sekalipun bukan artinya harus bersikap narsistik yang diciri-khas-kan oleh sikap-sikap yang “norak” minta diperhatikan atau agar dianggap “gaul” (membuang-buang sumber daya waktu yang demikian berharga sekadar untuk pamer kebodohan yang tidak produktif, alih-alih dipandang sebagai hal memalukan untuk dipertontonkan kepada umum).

Memang belum pernah terdapat sensus nasional yang mendata seberapa banyak atau sedikitnya total penduduk yang “dikotak-kotakkan” sebagai seorang warga yang ekstrovert ataukah seorang introvert. Namun, bila menimbang memang pula kerap terjadi penghakiman atau segregasi oleh sebagian masyarakat kita terhadap kaum introvert yang dinilai “tidak normal” atau “abnormal” hingga tudingan atau harassment sebagai seorang “anti sosial”, “tidak punya teman”, “mengucilkan diri”, dan lain sebagainya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita pada praktik umumnya adalah berkarakter pribadi ekstrovert—sehingga bila terdapat seorang warga yang “tampil beda” atau “lain sendiri”, seorang introvert ditengah-tengah kandang / sarang ekstrovert, tentu saja akan mengundang pandangan sinis ataupun penolakan, setidaknya berupa antipati. Seperti kata Sang Buddha, seekor serigala akan lebih cocok berdekatan dan bersosialisasi dengan sesama serigala, sekalipun seekor serigala ialah beringas adanya.

PEMBAHASAN:

Tak satupun yang dahsyat yang telah tergapai kecuali oleh mereka yang berani meyakini bahwa sesuatu di dalam diri mereka lebih kuasa ketimbang situasi di luar sana.” [BRUCE BARTON]

Terdapat cara atau pola berpikir irasional yang bersarang dalam hampir setiap umat manusia, terutama salah satunya ialah senantiasa memandang sinis serta seketika menolak terhadap apa yang mereka nilai diluar kelaziman atau kebiasaan, sekalipun yang tidak atau kurang lazim tersebut adalah bukan hal yang negatif adanya—dan sebaliknya apa yang sudah menjadi kelaziman pada umumnya sekalipun itu negatif, dipandang atau diasumsikan sebagai hal yang “baik-baik saja” adanya, sebagai “business as usual”, seketika diterima, dan tidak perlu dicela ataupun dikritik terlebih dievaluasi ulang.

Tidak terkecuali kehadiran atau eksistensi seorang introvert, yang tampaknya dinilai diluar kelaziman, melawan arus, seolah-olah mengancam tatanan sosial masyarakat kita di Indonesia yang memang harus kita akui masih didominasi oleh hegemoni para ekstrovert. Tidak jarang, kita perlu mendobrak kekakuan maupun kebuntuan yang diakibatkan oleh warisan budaya ataupun warisan kebiasaan masyarakat kita yang selama ini berjalan, untuk membuka lembaran kebiasaan dan kelaziman baru. Pada prinsipnya, apa yang kini merupakan sebentuk budaya, tradisi, ataupun yang dianggap sebagai suatu kelaziman, pada mulanya ialah hal baru yang dikonsistensikan serta dikondisikan sehingga menjadi suatu kebiasaan baru atau “the new normal”, sebelum kemudian berakhir sebagai kelaziman yang saat kini berlaku menjadi “norma sosial tidak tertulis” yang eksis dan menggerakkan roda kehidupan masyarakat.

Mengingat semua kelaziman adalah produk dinamika sosial, karenanya dinamika sosial pula yang dapat mengubah dan mengoreksinya, dengan dimunculkannya pionir-pionir baru yang berani memulai pembaharuan lewat inovasi gaya hidup maupun cara berpikir yang inovatif, baru, mendobrak kemapaman, dan lain daripada yang selama ini eksis. Singkatnya, berani melawan arus, tampil beda, serta lain daripada yang lain. Kemungkinan yang kemudian dapat terjadi ialah, hanyut dan tergilas akibat tidak kuasa melawan derasnya arus “mainstream” yang menghantam, atau berhasil menjadi seorang motor penggerak pembaharuan.

Sebagai contoh, penulis merupakan pemikir serta penulis pertama yang mencoba mendobrak budaya negatif yang selama ini dipeluk oleh sebagian besar masyarakat kita di Indonesia, tepatnya perihal kontra-narasi terhadap kampanye “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” yang bahkan dipromosikan oleh berbagai tempat ibadah dan pemuka agama (“Agama SUCI” ataukah “Agama DOSA”?), yang dalam pandangan pribadi penulis merupakan ancaman paling utama terhadap peradaban umat manusia dimana manusia tidak lagi malu ataupun takut berkompromi dengan maksiat maupun dosa—namun disaat bersamaan demikian intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan.

Dimana pula sebagaimana telah kita ketahui, hanya seorang pendosa yang membutuhkan ideologi korup penuh iming-iming semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Bagaimana mungkin, seorang pendosa hendak bersatu dengan yang murni seperti sosok seagung Tuhan di alam surgawi? Bagaimana mungkin, seorang pendosa hendak berceramah perihal hidup suci, mulia, dan baik? Memuliakan Tuhan, adalah dengan cara menjadi seorang manusia yang mulia, alih-alih sebagai seorang “penjilat yang penuh berlumuran dosa”.

 Semua kebenaran melalui tiga tahapan. Pertama, ia ditertawakan. Kedua, ia mendapat serangan hebat. Ketiga, ia terbukti benar.” [Arthur Schopenhauer]

Dalam pengalaman hidup pribadi penulis, banyak hal baik yang memang belum lumrah di tengah masyarakat kita. Sebagai contoh, belasan tahun lampau, penulis merupakan orang pertama di Kota Jakarta, Indonesia, yang berjalan keluar ke jalan raya yang penuh oleh polusi udara akibat asap kendaraan bermotor, dengan mengenakan masker penutup hidung. Selama ini, lazimnya hanya pengendara kendaraan bermotor roda dua yang mengenakan masker penutup hidung.

Sampai pada suatu ketika, warga di jalan meledek penulis sebagai “orang aneh” yang berjalan kaki mengenakan masker penutup hidung, semata karena memang belum lazim. Penulis tidak mengganggu juga tidak merugikan pihak manapun, mengapa justru dicela tanpa berpikir sendiri makna dibalik “aksi” penulis yang “tampil beda”? Kini, lihatlah, banyak penumpang transportasi umum yang mulai sadar bahaya polusi udara hasil pembakaran kendaraan bermotor dan relevansinya dengan arti penting masker penyaring udara bagi kesehatan paru-paru. Bila bukan penulis yang menjadi pionir utamanya yang mengkaitkan kedua hal tersebut dan menautkan relevansinya, mungkin hingga saat kini kebiasaan baru mengenakan masker di tempat umum terutama di jalan raya, tidak akan ada yang berani memulai pergerakannya.

Kelaziman “kurang cerdas” berikut ini merupakan salah satu kelirumologi yang harus segera dibenahi dan dibentuk budaya baru. Saat pertama kalinya Transjakarta (Busway) digelar dan dioperasionalkan di Kota Jakarta, belasan tahun lampau, penulis menjadi salah seorang penumpang dan lebih kerap mendapat posisi berdiri, karena kursi penumpang telah terisi penuh. Ketika menumpang di dalam bus Transjakarta, hanya penulis seorang diri yang menempatkan tas ransel di depan dada dan perut, bukan di punggung. Namun apa yang kemudian terjadi, seorang penumpang lain menghina penulis sebagai seorang “Bapak-bapak hamil, hahahaha...” Kini, sebagaimana dapat Anda lihat sendiri dan dapat kita pastikan, sang penghina akan turut menjelma “Bapak-bapak hamil”—karena bila tidak maka ia sendiri yang akan tampil aneh karena seluruh penumpang Transjakarta saat kini telah mengikuti “kebiasaan baru” bahkan ketika mereka masih berdiri menunggu di halte, yakni tas ransel ditempatkan di depan dada dan perut agar tidak menghalangi penumpang lain yang hendak keluar ataupun masuk.

Dalam kesempatan terpisah, sebanyak dua kali tas ransel penulis dibuka dan digerayangi oleh pencuri di atas jembatan penyeberangan orang, membuat penulis trauma dan memilih untuk menanggalkan gengsi (apapun resiko konsekuensinya di mata masyarakat Indonesia yang gemar meledek dan melecehkan, alias verbal bullying) demi keselamatan barang-barang bawaan di dalam tas serta tanpa perlu menunggu “menyesal selalu datang terlambat”, maka penulis kerap berjalan kaki ke manapun itu dengan kondisi tas ransel yang sekalipun besar akan ditempatkan di depan dada dan perut alih-alih di belakang punggung yang hanya memberikan kesempatan bagi niat jahat kalangan pencuri.

Ingat, kejahatan terjadi bukan hanya karena adanya niat jahat dari sang pelaku, namun kesempatan yang kita buka lebar sendiri dengan menempatkan tas ransel di belakang punggung. Penulis kemudian mencoba memulai kebiasaan baru dengan memberanikan diri menghadapi potensi cibiran ataupun celaan masyarakat Indonesia—mengapa juga, untuk hal yang tidak menyakiti dan tidak merugikan siapapun maupun pihak manapun, seperti menempatkan tas ransel di depan dada alih-alih di punggung seperti pada lazim umumnya, atas hidup dan barang milik pribadi penulis, mengundang lidah-lidah iseng warga untuk melecehkan, seolah-olah dengan merendahkan atau melecehkan orang lain akan membuat martabat dirinya lebih tinggi derajatnya—sampai pada akhirnya orang-orang merasa bosan sendiri untuk meledek dan menghina penulis yang menerapkan strategi “anjing menggonggong, khafilah (cukup) berlalu”, maka cepat atau lambat apa yang semula tidak lazim di mata mereka, akan menjadi suatu kelaziman itu sendiri, hanya persoalan waktu. Itulah, salah satu trik psikologi yang jarang disadari ataupun diketahui oleh sebagian besar masyarakat kita.

Ketika kita telah memahami betul dan menguasai psikologi mendasar dari manusia ini, maka kita tidak akan gentar lagi memulai sesuatu yang baru diluar kelaziman, sesuai dengan pemikiran kritis dan independen diri kita pribadi, dengan panduan utamanya ialah : selama tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, juga tidak menyakiti orang lain maupun diri kita sendiri, maka “jalan terus”, apapun pandangan orang lain bukan menjadi urusan kita, dimana kita cukup mengurus urusan kita sendiri. Perihal apakah orang lain akan melecehkan kita pada mulanya, biarkan mereka “bosan sendiri” pada akhirnya, dan muaranya sudah jelas di depan mata, kelaziman yang baru, sehingga menjadi aneh bila masih ada yang mencibir kita ketika kebiasaan baru lama-kelamaan mulai terbentuk menggantikan / menggeser kelaziman yang lama. Itulah triknya, selalu efektif.

Saat hidup ini menyakitkan, sakitnya berkurang kalau Anda melihat sisi lucunya dan bisa tertawa.” [Ajahn Brahm]

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.