(DROP DOWN MENU)

Jangan PERKOSA AGAMA Lawan Bicara Anda

SENI SOSIAL

Agama Baru, Agama MAU MENANG SENDIRI dan MERASA BENAR SENDIRI

Kompromistik terhadap Dosa dan Maksiat (dengan Menjadi Pelanggan Setia Iming-Iming Penghapusan Dosa), namun Disaat Bersamaan demikian Intoleran terhadap Kemajemukan Umat Beragama

Question: Mengapa mengumandangkan ayat-ayat kitab agama pada tempat ibadah kami, dengan menggunakan speaker pengeras suara (eksternal) yang dipasang pada gedung tempat ibadah kami, dianggap atau dipandang sebagai “polusi suara” oleh umat agama lain? Justru saya selaku umat (yang sama dengan agama sebagaimana tempat ibadah yang selama ini memasang speaker pengeras suara eksternal) merasa senang dan suka dengan lantunan ayat-ayat yang dikumandangkan lewat pengeras suara, sejuk rasanya di telinga kami.

Brief Answer: Bila merujuk komentar para netizen di media sosial, umat Muslim yang satu agama dengan agama Islam yang menjadi kiblat dari tempat ibadah dengan speaker pengeras suara itu sendiri sekalipun, telah tenyata tidak menyukai dan tidak berani membeli rumah di dekat Masjid. Mengapa demikian? Semata karena umat muslim itu sendiri punya indera pendengaran serta telinga untuk mendengar betapa kencang / keras-nya speaker pengeras suara masjid disetel hingga sekian desibel yang tentunya tidak bersahabat terhadap lingkungan hidup dan ekosistem manusia di pemukiman yang mana jarak antar Masjid di perkotaan bisa jadi hanya terpaut sekian puluh meter sehingga suara yang berkumandang saling bersahut-sahutan. Semestinya, para Muslim berbondong-bondong dan berlomba-lomba membeli rumah kediaman persis di dekat Masjid, bila mereka konsisten antara ucapan dan realita perbuatan mereka.

Semestinya, para umat muslim berbondong-bondong membeli rumah di dekat Masjid, agar setiap hari mendengarkan suara yang “sejuk” di telinga mereka. Dengan demikian, para umat Muslim telah bersikap tidak jujur dengan menyatakan “senang-senang saja telinga mereka disergap oleh gelombang getaran suara yang keras dan memekakkan gendang telinga” seolah Tuhan adalah “Maha Tuli”, entah pada siang, sore, malam, bahkan dini hari waktu istirahat warga pada umumnya. Mereka pun terganggu, bila mereka berani untuk berkata secara jujur, terbuka, dan transparan apa adanya, dan bila mereka memiliki kediaman benar-benar dekat dari Masjid.

Sejatinya, praktik intoleran semacam diperdengarkannya ayat-ayat agama Islam secara berdaya-paksa demikian ke telinga para NON-Muslim, sama artinya atau tidak ada bedanya dengan “PERKOSAAN” terhadap agama-agama para kaum NON-Muslim. Bukanlah para NON-Muslim selama ini tidak berkeberatan atas praktik ritual-ibadah para Muslim—yang mana ketika sedang beribadah saja para Muslim mengganggu ketenangan hidup umat beragama lain, maka bagaimana ketika para Muslim tersebut tidak sedang beribadah?—namun dibungkam oleh segala aksi intimidasi hingga vandalisme dan kekerasan fisik (bukan lagi sekadar ancaman “penghakiman” oleh massa) sebagaimana kasus Meiliana di Tanjung Balai pada medio tahun 2017 dimana warga Tionghua bernama Meiliana sekadar mengeluhkan kencangnya suara toa Masjid, bermuara pada dirusaknya kediaman Meiliana, belasan Vihara dibakar oleh ribuan Muslim yang turun ke jalan bagai “kesetanan”, dan dipenjaranya Meiliana selama sekian tahun sementara itu hanya segelintir Muslim pembakar Vihara yang dihukum pidana dimana itu pun hanya diganjar oleh pengadilan beberapa bulan kurungan, alias lebih berat hukuman pidana penjaranya bagi warga yang sekadar protes ketimbang yang membakar tempat ibadah umat beragama lainnya di Indonesia seolah-olah membakar tempat ibadah tidak lebih menista agama milik orang lain.

Sama halnya ketika kita balik praktik yang ada, dimana kita tidak boleh ber-“standar ganda”, bilamana tempat ibadah lain yang memasang speaker pengeras suara eksternal yang mengumandangkan atau melantunkan ayat-ayat agama milik kaum “NON”, apakah telinga para Muslim yang bermukim dan berdomisili di pemukiman setempat, tidak akan gerah serta panas karena terganggu dan tidak merasa sedang “diperkosa” agamanya? Segala wujud standar ganda, selalu merupakan praktik yang mencerminkan sikap “mau menang sendiri”, sama sekali tidak demokratis.

Sebagai tambahan, negeri bernama Indonesia ini bukanlah “negara Islam”, namun negeri milik nenek-moyang para Buddhist, yang sudah eksis dan menyuburkan Bumi Pertiwi selama abad ke-5 hingga abad ke-15 Masehi, dimana ulama Islam dapat masuk ke Nusantara berkat kebaikan hati para warga Buddhist (umat mayoritas) di Nusantara maupun toleransi raja Kerajaan Majapahit yang beragama Buddhist; dimana saat Muslim masih minoritas mereka menuntut serta menikmati diberi toleransi, namun disaat mereka telah menjelma mayoritas, mereka justru hendak memberangus toleransi dan kemajemukan tersebut (selengkapnya, lihat karya sastra bernilai sejarah dalam kitab lontar berbahasa Jawa bernama DHARMO GHANDUL yang telah banyak tersedia versi terjemahannya ke Bahasa Indonesia, menggambarkan betapa seluruh umat Muslim berhutang BUDI sekaligus berhutang DARAH kepada para leluhur para Buddhist di Tanah Air).

PEMBAHASAN:

Betapa praktik para muslim tidaklah “eco friendly”, sebagaimana dapat kita saksikan dengan mata-kepala kita sendiri, seolah-olah para Muslim maupun pengelola Masjid hendak mengangkangi aturan hukum yang diterbitkan oleh negara, seolah-olah Negara Indonesia merupakan “negara agama” (milik tertentu saja), sekalipun Menteri Lingkungan Hidup telah pernah menerbitkan peraturan berupa Keputusan Menteri Lingkungan Hidup KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Tingkat Kebisingan, yang mengatur bahwa tingkat kebisingan tempat ibadah dan sejenisnya ditetapkan sebesar 55 dB (desibel, satuan ukur untuk gelombang berisi getaran suara).

Namun, dilanggar oleh banyak Muslim dan oleh banyak Masjid dalam praktiknya selaman ini, dimana tendensinya bukan mengecilkan volume justru kian menambah banyak jumlah speaker eksternal Masjid dari dua buah menjadi tiga buah speaker yang juga kian dibesarkan volumenya, sehingga konsekuensinya timbul pertanyaan di benak kita : Apakah Agama islam lebih tinggi derajatnya daripada norma hukum suatu negara, bahkan lebih tinggi daripada ideologi negara bernama Pancasila maupun konstitusi negara? Itu namanya teladan buruk berupa pembangkangan “berjemaah” disamping KETIDAK-PATUHAN (terhadap) HUKUM!

Aturan mengenai pengeras suara sebenarnya sudah sejak lama terdapat pengaturannya dalam Keputusan Menteri Negara (Kepmen) Lingkungan Hidup KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Tingkat Baku Kebisingan. Untuk mencegah terjadinya gangguan yang tidak diinginkan, Ketika itu pemerintah membuat aturan mengenai nilai batasan kebisingan yang diperbolehkan di lingkungan. Tingkat kebisingan ini dikelompokkan dan diperuntukkan untuk kawasan atau lingkungan terkait, dengan perincian sebagai berikut:

- Peruntukan Kawasan: Perumahan dan permukiman sebesar 55 dB, Perdagangan dan jasa sebesar 70 dB, Perkantoran dan perdagangan sebesar 65 dB, Ruang terbuka hijau sebesar 50 dB, Industri sebesar 70 dB, Pemerintah dan fasilitas umum sebesar 60 dB, Rekreasi sebesar 70 dB, Bandara, stasiun kereta api dan pelabuhan masing-masing sebesar 70 dB.

- Lingkungan Kegiatan: Rumah sakit atau sejenisnya sebesar 55 dB, Sekolah atau sejenisnya sebesar 55 dB, Tempat ibadah atau sejenisnya sebesar 55 dB.

Merujuk regulasi yang telah diterbitkan oleh pemerintah di atas, jelas bahwa praktik ibadah para Muslim pada berbagai Masjid di Indonesia ialah mengkampanyekan sebentuk “polusi suara” secara “berjemaah”. Bila praktik ritual atau cara ibadah dan praktik para Muslim di tempat ibadahnya saja telah memberikan teladan buruk bagi umat maupun bagi masyarakat sekitar pada umumnya, mulailah terjadi degradasi dan pergeseran “standar moral” umat manusia. Sejak saat itu jugalah muncul berbagai kebisingan, hingar-bingar, dan segala “polusi suara” lainnya, bahkan hingga hajatan pernikahan warga pun menutup seluruh badan jalan (milik) umum untuk dijadikan panggung hajatan serta menggelar “dangdut-an” semalam-suntuk dengan speaker pengeras suara yang tidak kalah bahkan menyamai dan melebihi kerasnya speaker pengeras suara Masjid, yang tentunya amat merenggut atau merampas ketenangan hidup warga hingga radius ratusan meter jaraknya yang bisa jadi amat sangat membutuhkan ketenangan dan kedamaian sebagaimana fungsi perumahan ialah untuk / sebagai tempat beristirahat, terutama bagi kalangan lanjut usia (lansia), orang yang sedang sakit atau mereka yang dalam masa penyembuhan, maupun balita, sehingga kita yang memiliki kewajiban moral untuk bersikap toleran kepada kaum malang tersebut, bukan sebaliknya.

Bila memang ayat-ayat Islam adalah “seindah” klaim para Muslim, maka mengapa Bayi atau “orok” yang masih putih, bersih, dan murni, sontak menjerit nangis ketika terganggu oleh suara pengeras suara Masjid yang mengumandangkan ayat-ayat agamanya? Alam pun menjerit, sebagaimana diwakili oleh para anjing tetangga kita yang dapat dan seringkali melolong dengan nada memilukan hati akibat sensitivitas indera pendengaran mereka jauh lebih peka daripada telinga manusia sehingga sesungguhnya juga merupakan praktik yang menyiksa hewan-hewan malang tidak berdaya semacam anjing maupun satwa lainnya.

Para Muslim itu sendiri pula yang selama ini menista agamanya sendiri, namun akibat kegelapan batin mereka tidak menyadarinya dan selalu dibutakan oleh ideologi kebencian terhadap kaum berbeda yang mereka stigma sebagai “kafir” sebagai objek tudingan. Betapa tidak, ayat-ayat yang selama ini mereka klaim mereka sucikan, muliakan, dan agungkan, dikumandangkan dan diperlakukan tidak lebih sebagai lembaran sampah tidak bernilai yang lebih banyak berserakan di jalan sehingga hanya berakhir di tong sampah menjelma sampah busuk, bahkan masih pula menerobos masuk ke dalam toilet dan lubang jamban dimana orang-orang atau warga sedang (mohon maaf) buang air besar—sehingga bisa “two in one”, buang hajat sekaligus beribadah. Itukah, cara Muslim menghormati dan memuliakan ayat-ayat kitab suci agamanya ibarat lembaran sampah yang diobral bak lembaran sampah tidak bernilai sehingga diumbar-umbar lewat praktik ritual disertai pengeras suara? Bila mereka menghargai ayat-ayat agamanya, maka mereka tidak akan mengumbarnya terlebih mengobralnya.

Dalam Buddhisme, kontras dengan praktik para Muslim di Masjid selama ini, ketika lawan bicara tidak menaruh hormat kepada Dhamma sebagaimana diajarkan oleh Sang Buddha, maka seorang bhikkhu ataupun Dhamma Duta tidak akan menyampaikan ceramah apapun kepada lawan bicara ataupun pihak penanya, dan akan diam seribu satu kata alias bungkam. Ketika Dhamma dibabarkan, ayat-ayat kitab didaraskan, ceramah dikumandangkan, sementara itu lawan bicara justru melecehkannya dengan menutup telinga rapat-rapat bahkan menaruh tidak hormat terhadapnya, atau “masuk telinga kanan (namun kemudian) keluar telinga kiri”, itu sama artinya sang pemuka agama itu sendiri yang telah mencoreng agamanya sendiri. Seorang penganut Buddhisme, akan terlebih dahulu melihat dan menilai kualitas mental lawan bicara, sebelum memutuskan akan atau tidaknya membabarkan Dhamma. Membabarkan Dhamma lewat pengeras suara eksternal Vihara, sama artinya mengotori dan menodai agama sendiri, terlebih mengumandangkan ayat-ayat Tripitaka lewat pengeras suara eksternal Vihara.

Selama ini para umat Muslim itu sendiri yang memerlihatkan kepada dunia, betapa EQ mereka “tiarap” adanya. Ketika berbincang dengan lawan bicara, kerap mereka melontarkan istilah-istilah agama mereka secara sepihak, sekalipun telah terdapat padanannya dalam Bahasa Indonesia, seperti sapaan atau ucapan selamat siang / pagi / malam, bersyukur, semoga tercapai, permisi / sampai jumpa, dan istilah lain sebagainya, dimana kita adalah pemuda Indonesia yang membuat sendiri SUMPAH PEMUDA berisi dekrit salah satunya “BERBAHASA SATU, YAKNI BAHASA INDONESIA”—bukan Bahasa Arab, juga negeri ini bukanlah Negara Arab Saudi. Namun apa yang kini terjadi dalam praktik, dilanggar sendiri SUMPAH PEMUDA oleh para muda-mudi maupun para kaum tua di Indonesia.

Praktik yang tidak menghormati agama lawan bicara para Muslim, sekalipun para Muslim mengetahui betul agama lawan bicaranya ialah berlatar-belakang kaum “NON”, sama artinya pamer arogansi seolah mereka berhak untuk MEMPERKOSA agama lawan bicara. Sering penulis memberi tanggapan kepada para Muslim di Indonesia yang kerap berbicara dengan memakai istilah-istilah agama pribadinya tanpa kepekaan terhadap lawan bicara terlebih menaruh hormat terhadap agama penulis yang jelas-jelas berlatar-belakang “NON”, bahwa apakah sesukar itu saling menghormati dan saling menghargai agama satu sama lainnya, dan tidak sampai demikian arogannya memperkosa agama orang lain?

Betapa tidak, tetap saja para Muslim berkata dengan entengnya, “Masih untung kamu sekadar kami perkosa agamanya atau kami aniaya. Semestinya kamu bersyukur, tidak sampai benar-benar kami BUNUH, sebagaimana perintah Tuhan kami yang harus kami patuhi dan jalankan.” Entah delusi apa yang membuat mereka demikian berbangga diri terhadap agama yang justru mempromosikan dosa dan maksiat, dan disaat bersamaan mengkampanyekan intoleransi berupa pertumpahan darah yang membuat umat pengikutnya menjadi demikian terbiasa, terbudayakan, serta terkondisikan untuk senantiasa “haus darah” serta kerap “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik” ataupun menjustifikasi segala perbuatan buruk dan tercela dengan mengatasnamakan agama, sebagaimana kutipan ayat-ayat yang mereka kumandangkan dan teladani:

- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Bukhari, No. 680]

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note : Siapa yang telah menzolimi siapa?]

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi dengan PEMBUNUHAN”.]

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Alih-alih merasa malu, justru merasa bangga, kebanggaan yang tidak pada proporsinya dan tidak pada tempatnya, serta kebanggaan yang dilandasi oleh delusi yang irasional. Silahkan para pembaca nilai dan putuskan sendiri, apakah ajaran ataupun perintah sebagaimana di atas, merupakan layak untuk disebut sebagai “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”, ataukah sebaliknya sebagai “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”. Bahkan umat Buddhist tidak pernah sampai mencium-cium Buddha-rupang, namun mereka yang lebih ekstrem justru “berhala teriak berhala”.

Sebagai penutup, terdapat praktik kemunafikan akut yang terlebih tidak dapat ditahan oleh telinga penulis secara pribadi, yakni atas dasar pertanyaan sederhana berikut : Bagaimana mungkin, seorang PENDOSA hendak berceramah perihal hidup suci, baik, dan mulia? Bulan puasa mereka disebut sebagai bulan “suci”, namun disaat bersamaan mengumbar dan mengobral ayat-ayat penghapusan “dosa” bagi umat yang menjalankan puasa. Dosa, tidak bersenyawa dengan kesucian. Yang ada ialah ternodainya kemurnian dan kesucian dengan dosa, terlebih penghapusan dosa.

Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan iming-iming “korup” semacam penghapusan dosa. Ideologi penuh kecurangan demikian, bila memang eksis dan benar adanya, sama artinya hendak menista Tuhan sebagai sosok yang “lebih PRO terhadap penjahat / pendosa”. Lantas, sebagai pertanyaan pamuncaknya ialah, bagaimana dengan nasib para korban? Dalam setiap ceramah harian beribadah, yang diumbar dan diobral mereka ialah bila bukan penghapusan dosa maka pengampunan dosa. Dalam setiap hari raya keagamaan mereka, yang diumbar dan diobral juga ialah penghapusan ataupun pengampunan dosa.

Bahkan, saat salah seorang umat mereka meninggal dunia, sanak-keluarga dan pemuka agama mereka pun masih juga mengumbar dan mengobral iming-iming penghapusan / pengampunan dosa, dimana sama sekali tidak pernah menyinggung bagaimana nasib para korban mereka yang telah dibungkam oleh rasa takut mencekam oleh ancaman dan intimidasi berupa “kesadaran kolektif” dijadikan korban jiwa oleh mereka yang mengaku ber-Tuhan namun “haus darah”, sama sekali tidak takut terhadap dosa, dan senantiasa meremehkan perbuatan dosa serta disaat bersamaan menyepelekan perasaan para korban mereka. Hanya “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA” yang mempromosikan dan mengkampanyekan “penghapusan / pengampunan dosa” bagi para umat pemeluknya, para PENDOSA, tentunya.