SENI PIKIR & TULIS
Hidup Berdampingan dengan para PENDOSA, Nyamankah Anda?
Umat Buddhist sejati, dicirikan oleh wataknya yang damai dan hening (tidak suka merampas hak-hak orang lain, terutama tabiat anti kekerasan, ahimsa), tidak mudah tersulut emosi ataupun “kesetanan” dan sedikit-sedikit “main hakim sendiri” (kekerasan fisik seperti menganiaya, merusak, menghancurkan, membakar, bahkan hingga membunuh) ketika baru sedikit disinggung atau merasa tersinggung (pendek “sumbu”-nya). Umat Buddhist sudah cukup bahagia dengan hidupnya, tanpa perlu merampas hak-hak pihak lain, karenanya lebih damai, lebih hening, dan lebih penuh kepuasan hidup, karenanya tidak mudah “mabuk” harta maupun “kesetanan” (tersulut untuk menganiaya orang lain).
Tengok kembali keluhan warga di
Tanjung Balai pada medio tahun 2017, terhadap praktik ritual kaum Muslim yang secara
“norakisme” maupun “narsistik” menggunakan speaker pengeras suara eksternal
untuk beribadah, direspons dengan dirusaknya kediaman sang warga, dibakarnya
belasan vihara oleh ribuan Muslim yang “kesetanan” turun ke jalan, mau menang
sendiri (anti kompromi), intoleran (cobalah jika ayat-ayat Paritta dalam
Tipitaka yang dikumandangkan, apakah para Muslim tidak merasa sedang “diperkosa”
agamamya dan berkeberatan?), hingga dijatuhi vonis pidana penjaranya sang warga
(dikriminalisasi, bagaimana mungkin mengeluhkan “toa” disamakan dengan
penistaan agama? Apakah Islam adalah Agama “Toa”? Apakah ada hal semacam listrik
ataupun “toa” ribuan tahun lampau di Timur Tengah sana?).
Para Muslim, selalu saja menyelesaikan
setiap masalah dengan kekerasan fisik, seolah-olah “otot” memiliki “otak”
untuk berpikir dan menilai mana yang benar dan yang tidak benar—terlagi pula “otak”
mereka telah digadaikan demi iman setebal tembok beton yang tidak tembus oleh
cahaya jernih apapun. Mereka radikal dan fanatik semata demi mempertebal “ego” mereka
pribadi, dengan mengatas-namakannya sebagai “iman”. Bila Tuhan memang “Maha
Kuasa”, maka Tuhan tidak butuh tangan-tangan para Muslim untuk melakukan segala
aksi layaknya kaum barbarik yang tidak beradab, masih biadab, yang hanya tahu
kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah—penistaan terhadap “umat”
tidak dapat dikriminalisasi, bukan penistaan kepada “agama”.
Kerap timbul pertanyaan di
benak penulis, apakah para Muslim merasa nyaman dan aman, hidup berdampingan
dengan kaumnya yang serba “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”,
tidak damai, juga tidak tenang alias mudah “kesetanan” demikian? Tidak perlu berikan
jawabannya kepada penulis, cukup Anda jawab untuk diri Anda pribadi masing-masing.
Tetap saja, yang dikutuk dan dibenci (ideologi permusuhan) ialah bila tidak
Yahudi, Nasrani, Barat, Cina, maka Kafir, sekalipun dalam keseharian dijadikan
korban oleh sesama anak bangsa satu agama. Kemana pun penulis pergi dan berada,
berikut inilah yang dikatakan oleh para umat Kristiani, “Orang-orang (umat agama) Buddha, baik-baik sih orangnya. Tapi karena
tidak percaya Yesus, maka orang-orang Buddhist itu masuk neraka!”—apa hak
mereka mengutuk orang lain yang berbeda keyakinan?
Mereka mengklaim bahwa Yesus,
manusia yang dikultuskan sebagai Tuhan, Tuhan yang lahir dari rahim seorang manusia
wanita dan terlahirkan di kandang hewan, adalah penuh cinta kasih nan welas
asih, digambarkan sebentuk hati di dadanya, namun telah ternyata sangat amat
keji dan intoleran terhadap kaum yang tidak bersedia menjual ataupun
menggadaikan jiwanya kepada Yesus, seketika dilempar dan dicampakkan ke neraka,
hanya karena urusan keyakinan yang sifatnya personal semacam itu? Apakah menjadi
seorang Buddhist, kami sebagai Buddhist, harus membunuh orang lain atau
mengakibatkan orang lain meninggal terbunuh? Bila kami menjadi dan sebagai seorang
Buddhist, tidak menyakiti ataupun merugikan orang lain, mengapa dijatuhi vonis dilempar
ke neraka?
Tidak terkecuali para Muslim,
yang lebih ekstrim lagi, terang-terangan lewat pengeras suara eksternal Masjid
mengumandangkan provokasi pembuat onar dan gaduh serta pemecah-belah bangsa
yang sejak semula majemuk—dimana bahkan Nusantara telah disuburkan oleh Buddhisme
yang sudah ada sejak abab ke-5 hingga ke 15 Masehi, dimana Islam dapat masuk ke
Nusantara berkat menikmati toleransi yang diberikan rakyat Buddhist maupun raja
Majapahit yang juga Buddhist kala itu, lalu setelah Islam menjelma menjadi
mayoritas kini hendak memberangus toleransi yang dahulu mereka tuntut dan
nikmati, tanpa mau mengakui betapa para Muslim berhutang budi dan berhutang
darah pada nenek moyang para Buddhist. Selengkapnya lihat Kitab Sastra Jawa
bernilai sejarah, “Dharmo Ghandul”—mengumandangkan
propaganda sebagai berikut:
“Sebaik-baiknya
manusia, lebih baik manusia yang menyembah Tuhan. Buat apa hidup baik meski
seribu tahun, namun bila tidak menyembah Tuhan? Orang baik tidak bisa masuk
surga, hanya penyembah Tuhan yang bisa masuk surga dengan menikmati janji-janji
pengampunan dosa yang Tuhan berikan dan janjikan.”
Bila Anda sedang membutuhkan
orang kepercayaan untuk menjaga harta benda paling berharga yang Anda miliki,
kepercayaan tersebut akan Anda berikan kepada siapakah, kepada orang-orang yang
baik dan jujur namun “ateis” ataupun kaum “NON”, ataukah kepada umat yang satu
agama dengan Anda namun menjadi pelanggan tetap ideologi “korup” penuh
kecurangan bernama iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”? Kita tidak bisa menipu diri kita sendiri, terutama bila itu terkait
keselamatan harta-harta berharga milik Anda.
Bukankah hanya seorang pendosa, yang membutuhkan “cuci
tangan dari dosa” lewat iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa”? Bila jawaban Anda ialah menaruh kepercayaan kepada orang-orang yang memang
baik dan terjaga moralitasnya, maka terlebih-lebih Tuhan. Karenanya, memuliakan
Tuhan, tiada jalan lain selain menjadi manusia yang sempurna moralitasnya,
tanpa cela ataupun noda, yakni dengan menjadi manusia yang mulia seutuhnya, alih-alih
menjadi seorang “penjilat penuh dosa”. Sama seperti cara seorang anak
mengharumkan nama orangtuanya, ialah dengan menjadi warga yang patuh hukum dan
tidak tercela moralitasnya.
Jelas lebih enak dan lebih “untung”
(alih-alih “merugi”) menjadi seorang Buddhist. Mengapa? Karena para siswa Sang
Buddha, yang benar-benar menjalankan disiplin moralitas atau “sila”, memang identik dengan tipikal
pribadi yang jujur, baik, tidak serakah, penuh keterpuasan, gemar berdana,
berkecukupan hati, dapat dipercaya, adil, dan anti kekerasan fisik. Karenanya,
para Buddhist (yang sejati) lebih mudah mendapatkan keistimewaan berupa
diberikannya kepercayaan oleh orang lain—kepercayaan mana tidak diberikan
kepada orang lain lainnya. Alasan psikologisnya sangat sederhana, kami para
Buddhist, diajarkan untuk menghayati perihal “Hukum Karma”, bukan “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Memangnya, seperti apakah
ibadah dalam Buddhisme? Buddhisme, merupakan agama yang paling superior
sekaligus agama yang paling rendah hati (tidak narsistik juga tidak norak,
penuh keheningan). Berikut inilah ibadah dalam Buddhisme, lalu tanyakan sebuah
pertanyaan introspektif secara transparan dan akuntabel terhadap diri Anda sendiri,
apakah Anda sanggup menjalani cara beribadah kaum pengikut Buddhisme berikut
ini?
Ovada Patimokkha
Sabbapāpassa akaraṇaṃ
Kusalassa upasampadā
Sacittapariyodapanaṃ
Etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Khantī paramaṃ tapo titikkhā
Nibbāṇaṃ paramaṃ vadanti buddhā
Na hi pabbajito parūpaghātī
Samaṇo hoti paraṃ viheṭhayanto.
Anūpavādo anūpaghāto,
pātimokkhe ca saṃvaro
Mattaññutā ca bhattasmiṃ, pantañca sayanāsanaṃ
Adhicitte ca āyogo, etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.
Kesabaran adalah praktek
bertapa yang paling tinggi.
“Nibbana adalah tertinggi”,
begitulah sabda Para Buddha.
Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).
Tidak menghina, tidak
menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal
makan, berdiam di tempat yang sunyi
serta giat mengembangkan
batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.
[Sumber: Dhammapada
183-184-185, Syair Gatha.]
Alih-alih bersikap sebagai
seorang “pemalas”, yang hanya tahu meminta, mengemis, dan memohon diberikan “nikmat”
seolah-olah sesuatu dapat jatuh begitu saja tanpa “sebab” dari langit, tanpa
perlu merepotkan diri untuk menanam benih-benih kebaikan maupun kebajikan, para
Buddhist berkomitmen untuk secara nyata menanam benih-benih Karma Baik, untuk
mereka petik sendiri buah manisnya di kehidupan mendatang, sehingga para
Buddhist bertanggung-jawab atas hidupnya sendiri sekaligus menjadi arsitek bagi
“bangunan” masa depan hidupnya sendiri, menanam kebaikan berbuah kebaikan. Apa yang
ditabur, itulah yang akan ia tuai sendiri, warisi perbuatan kita masing-masing.
Sanggupkah Anda? Faktanya, tidak semua orang sanggup menjalankan cara ibadah
kaum Buddhist, mereka lebih sibuk meminta, memohon, dna mengemis-ngemis—meski
kita tahu, lebih hebat yang tangannya menengadah ke arah bawah ketimbang
tangan yang menengadah ke arah atas.
Alih-alih menjadi pelanggan
tetap yang kecanduan serta ketergantungan ideologi “korup” penuh kecurangan
semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, yang
terus-menerus haus “dosa” namun disaat bersamaan sesudahnya menjadi pelanggan
tetap “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” sebagai menu makanan
sehari-harinya, atau bahkan “minta maaf terlebih dahulu baru kemudian berbuat
dosa”, maka para Buddhist merupakan para ksatria yang sekalipun telah pernah
berbuat keliru akibat sengaja maupun lalai, sehingga menyakiti, merugikan, ataupun
melukai orang lain, namun tidak pernah menjadikan upaya “melarikan diri” ataupun
“sembunyi tangan dan cuci tangan” sebagai pilihan.
Pilihan para umat Buddhist
sejati, ialah bila bukan jalan hidup kesucian yang penuh kewaspadaan dan mawas diri
terhadap perbuatan diri sendiri, ialah jalan ksatria yang penuh tanggung-jawab,
yakni berani bertanggung-jawab terhadap orang-orang yang telah pernah kita
sakiti, lukai, maupun rugikan. Sanggupkah Anda? Faktanya, lebih banyak orang
di luar sana yang berpikir bahwa berhasil “tabrak lari” adalah sebentuk “keuntungan”
itu sendiri. Hanya seorang penjahat yang paling “malang”, yang selalu
berhasil melancarkan niat jahatnya (menanam benih Karma Buruk untuk ia petik
sendiri di kehidupan mendatang). Sebaliknya, adalah seorang penjahat yang
paling “mujur”, yang selalu gagal melancarkan aksi kejahatannya.
Yang paling lucu dari kesemua
itu ialah, bagaimana mungkin, seorang PENDOSA hendak berceramah perihal
hidup baik, suci, dan mulia? Seorang pendosa, hendak menasehati pendosa
lainnya, ibarat orang buta hendak menuntun orang buta lainnya ke dalam jalan
kesesatan yang lebih kelam dan lebih gelap lainnya. Apakah betul adanya ataukah
hanya sebuah delusi belaka, bahwa Tuhan lebih PRO dan lebih memilih untuk menyukai
para “penjilat ataupun pendosa penuh dosa” seperti para penipu, para pendusta,
para pembohong, para pelaku ingkar janji, para penganiaya, para koruptor, dan
kriminil lainnya, dan menggelar “karpet merah” bagi mereka dengan pintu surga
terbuka lebar?
JIka para pendosa tersebut
tidak segan menipu dan membohongi orang lain, maka Tuhan tidaklah sebodoh itu sehingga
dapat kembali ditipu dan dibohongi oleh sang “pendosa”. Reputasi seorang
pendosa, jangankan di mata Tuhan, dimana kita maupun hakim pun akan tampak
lebih rendah derajatnya daripada seekor hewan. Perkataan mereka menjadi tanpa
bobot sama sekali untuk dipercaya, hanya bersilah lidah dengan ucapan-ucapan manis
(lip service, siapa yang butuh?). Cobalah
jawab, apakah Anda berani, mempekerjakan seorang mantang narapidana kasus
penggelapan sebagai kasir atau pengelola keuangan di toko yang Anda kelola dan
miliki?
Karenanya, agama-agama samawi
lebih identik atau otentiknya disebut sebagai “Agama DOSA”, semata-mata karena lebih
mempromosikan “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, alih-alih
mengkampanyekan prinsip egaliter dan tanggung-jawab sehingga setiap orang
mewaspadai dan betul-betul memerhatikan perbuatannya sendiri karena setiap “aksi”
memiliki konsekuensi berupa “akibat”, hukum sebab dan akibat. Ketika dogma-dogma
perihal “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” diamputasi
(dikuliti) dari “Kitab DOSA” dalam rangka agar layak disebut sebagai “Agama
SUCI”, maka dapat dipastikan tiada yang berminat memeluknya, melirik pun tiada
yang sudi—semata karena selama ini masyarakat tertarik, atau lebih tepatnya
“tergiur”, oleh iming-iming “too good
to be true” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”, dimana “enak bagi pihak pelaku kejahatan, rugi di pihak korban”.
Mereka secara jujur menyatakan,
takut dan ketakutan terhadap sosok citra Tuhan yang menakutkan, bengis penuh
kebencian, otoriter, tiran, bak “raja lalim” yang dengan mudahnya menghukum dan
membunuh orang-orang yang berbeda pendapat, alih-alih dicintai dan penuh
kehangatan ataupun damai-kalem. Sehingga, mereka memeluk agama mereka tersebut bukan
karena cinta dan mencintai Tuhan, namun semata demi menikmati iming-iming “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—seseorang yang betul-betul suci
ataupun para ksatria, tidak akan pernah tertarik untuk memeluknya, terlebih
menyentuhnya agar diri tidak ternoda dan tercemar.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.