Bulan Penuh Berkah bagi para PENDOSA, Disaat Bersamaan merupakan Bulan Penuh Kabar Buruk bagi KORBAN

SENI PIKIR & TULIS

Menista (Perilaku) UMAT, Tidak dapat Dipidana. Menista UMAT Vs. Menista AGAMA, Dua Hal yang Berbeda Domain

Yang Paling Hebat adalah Orang-Orang yang Berpuasa BUAT DOSA, bukan Mereka yang Berpuasa dari Anti Minta Ampuni Dosa-Dosa (alias Umbar Pengampunan Dosa, Nafsu Itu Sendiri)

Bila tujuan dibalik puasa bukan untuk latihan pengendalian diri maupun dari praktik “korup” semacam pengampunan dosa, maka itu adalah praktik umbar pengampunan dosa dimana menjadi pesta-pora akbar bagi para pendosa, sekaligus disaat bersamaan menjadi mimpi buruk bagi para korban dari para pendosa tersebut. Mengapa juga agama samawi menggambarkan versi Tuhan yang lebih PRO terhadap pendosa alih-alih berpihak kepada korban-korban dari para pendosa tersebut? Berpuasa yang sejati, ialah untuk melatih dan meningkatkan kesucian diri, bukan justru meminta pengampunan dosa (otak picik, licik, dan korup yang mengemuka).

Versi “puasa” yang justru mengumbar pengampunan dosa, bukanlah praktik latihan pengendalian diri yang otentik, namun umbar nafsu penghapusan dosa, alias nafsu itu sendiri yang meningkat. Hanya sekadar menahan lapar dengan jam makan maupun jam bersetubuh yang digeser waktunya, lantas mendapat iming-iming “penghapusan dosa”? Sungguh  too good to be true”. Ibarat orang berhutang namun dananya digelapkan dan tidak dikembalikan (dosa), alih-alih bersusah-payah bayar hutang hingga lunas kepada kreditornya (korban), justru mengumbar nafsu “pengampunan dosa” dimana bulan puasa menjadi ajang akbar bagi para pendosa untuk “mencuci dosa”.

Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan pengampunan dosa, karenanya versi “puasa” semacam itu tidak dibutuhkan oleh orang-orang yang hendak berlatih di jalan kesucian. Mengapa mereka memilih untuk “berpuasa” versi “umar pengampunan dosa” alih-alih bertanggung-jawab kepada korban-korban mereka selama ini? Jelaslah, mereka bukan seorang ksatria yang pemberani, namun pengecut yang melarikan diri dari tanggung-jawab atas dosa-dosa yang telah mereka perbuat. Jadilah, versi “puasa” semacam itu ibarat ajang “melarikan diri” sekaligus “cuci dosa” bagi para “pendosa sekaligus pengecut”.

Dalam kesempatan ini, penulis hendak menista “UMAT Agama Islam”, bukan menista “Agama Islam”—dimana sejatinya sang umat Muslim itu sendiri yang telah mencoreng Agama Islam lewat perilakunya terhadap penulis selaku umat agama lain. Bermula ketika penulis masih seorang bocah yang duduk di bangku Sekolah Dasar, sekitar umur 8 atau 9 tahun, sepulang sekolah melewati sebuah jalan dimana sekumpulan anak-anak pribumi yang sedang nongkrong meledeki dan memaki penulis yang beretnik Tionghua. Merasa tidak terima diledeki keras-keras dan dilecehkan terus-menerus secara verbal oleh anak-anak pribumi kampungan tersebut, penulis berseru protes beberapa patah kata, lalu pergi berlalu.

Akan tetapi secara mendadak belakang kepala penulis dipukul oleh seorang Muslim dewasa berbusana Islam, sembari berkata, “Gua sedang puasa, bikin gua kesal saja kamu teriak-teriak! Kalau kamu tidak senang, cari saya di Masjid ini!” tuturnya sambil pergi memasuki sebuah Masjid—ketika sedang beribadah saja, Muslim satu ini menyakiti dan menganiaya anak kecil secara demikian pengecutnya, dari belakang pula, sekaligus seorang “hakim yang buruk” karena korban pelecehan yang justru dianiaya, alih-alih mendidik para bocah-bocah pribumi itu untuk tidak rasis.

Sejak saat itulah, penulis telah menaruh rasa antipati terhadap Islam maupun kaum Muslim, yang menampilkan sikap “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik” alias suka main kekerasan fisik (belum beradab, masih biadab). Bulan penuh “keberkahan”, bagi siapa?—yakni bagi para penganiaya anak kecil, bagi para pengecut, maupun para pendosa lainnya. Berkah bagi pendosa yang dihapus dosa-dosanya, dan petaka bagi korban-korban para pendosa tersebut. “Buat dosa? Siapa takut?!”—itulah “mind set” yang selama ini dipelihara oleh para pemeluk keyakinan “penghapusan dosa”.

Penulis pun bertanya-tanya, mengapa orang-orang Muslim suka sekali berbuat dosa (jahat) dengan melukai, menyakiti, maupun merugikan orang lain, alias tidak takut berbuat dosa, dan dengan begitu mudahnya main kekerasan fisik secara tidak adil? Bahkan di bulan puasa yang kata orang-orang Muslim sebagai bulan penuh pengendalian diri, yang terjadi ialah bulan umbar intoleransi, minta dihormati tapi tidak mau menghormati orang lain, pendek “sumbu”-nya, mudah tersinggung namun suka menyinggung, mabuk kekerasan fisik, “kesetanan” sehingga dengan mudahnya menganiaya orang lain, hingga umbar nafsu “penghapusan / pengampunan dosa”?

Penulis kemudian menyelidiki, dan terus menyelidiki. Kediaman penulis tidak jauh dari Masjid, yang setiap kali para ustad berceramah, selalu terdengar keras lewat speakser pengeras suara eksternal Masjid, dan setiap bulan puasa tiba, yang selalu diperdengarkan dan dikumandangkan ialah “Bulan puasa, bulan penuh berkah, dimana dosa-dosa Muslim yang berpuasa akan diampuni!” Tidak heran bila para Muslim suka sekali dan hobi berbuat dosa, juga senang sekali berpuasa dan disaat bersamaan akan marah bila tergoda melihat makanan seperti restoran yang tetap buka di siang hari sebelum kemudian mereka razia, semata nafsunya diumbar hendak minta diampuni dosa-dosanya lewat berpuasa. Sungguh menjadi bulan penuh petaka bagi korban-korban para pendosa bernama Muslim-Muslim tersebut:

- “Agar Allah menghapus (mengampuni) perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 35)

- “Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau.” (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya).

- “Barang siapa puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala diampuni baginya dosa-dosa masa lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

- ”Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni”. (HR. Bukhari No. 38 dan Muslim no. 760)

- Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.” [Pengampunan dosa, disebut baik dan kebaikan? Berbuat dosa dan maksiat disebut baik sehingga perlu dipromosikan? Standar moral semacam apakah itu? Rahmatan bagi pendosa, bukan rahmatan bagi korban.]

- “Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta syetan-syetan dibelenggu. di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang / terjauhkan (dari kebaikan)” (HR. Ahmad) [JIka benar-benar baik dan kebaikan, lantas dimana keadilan bagi para korban dari para pendosa yang tidak bertanggung-jawab tersebut?]

- Nabi s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan, maka diampuni dosanya yang telah berlalu”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 37 dan Muslim: 1266).

- “Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan, dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.” (HR. Al Bazaar)

- Dari Abu Hurairah r.a. menuturkan, “Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu. Dalam bulan itu dibukalah pintu-pintu langit, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan syaitan-syaitan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak memperoleh kebajikan di malam itu, maka ia tidak memperoleh kebajikan apapun”. (Hadis Shahih, Riwayat al-Nasa`i: 2079 dan Ahmad: 8631. dengan redaksi hadis dari al-Nasa’i). [Umar nafsu penghapusan dosa, bukankah merupakan “bisikan setan” itu sendiri? Hanya setan, yang butuh penghapusan dosa, disamping “manusia setan” yang “kesetanan”.]

- “Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah berkata-kata kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151) [JIka tidak sedang berpuasa, maka artinya bebas untuk main kekerasan fisik, bebas untuk membunuh, bebas untuk buat maksiat 11 bulan lalu mendadak alim cukup 1 bulan untuk dapat penghapusan dosa dibulan puasa? Itu namanya “SIN LAUNDRING!]

- “Wahai orang-orang yang menghendaki kebajikan, bergembiralah dan wahai orang-orang yang menghendaki keburukan tahanlah dirimu”. (Hadis Shahih, Riwayat al-Nasa`i: 2080 dan Ahmad: 18042, dengan redaksi hadis dari al-Nasa’i). [Mengapa mereka tidak bisa menahan diri dari nafsu umbar penghapusan dosa? Itu namanya sedang mabuk kepayang dan tergila-gila kepada iming-iming penghapusan dosa.]

“Merugi” jika tidak puasa ramadhan ala Islam karena tidak dapat iming-iming penghapusan dosa? Yang paling rugi jika para pendosa tersebut dihapus dosa-dosanya, ialah para KORBAN dari perbuatan Muslim-Muslim itu sendiri. Saat bulan puasa ramadhan, konsumsi umat Muslim justru meningkat, karena itu harga pangan meningkat dan melambung tinggi secara drastis. Lihatlah perut-perut para Muslim, buncit, sekalipun sebulan penuh berpuasa, kenyang oleh konsumsi makanan yang meningkat (itukah yang disebut menahan diri?) sekaligus kenyang oleh “penghapusan dosa”. Puasa makan, tapi “mabuk” penghapusan dosa, sama artinya mengkonsumsi dosa itu sendiri. Cobalah kita simak fakta berikut, dalam “Anomali Konsumsi di Bulan Suci”, https:// news.detik .com/kolom/d-4553328/anomali-konsumsi-di-bulan-suci:

Muslim yang sebenarnya pasti akan merasa senang dan gembira dengan hadirnya bulan Ramadhan yang penuh rahmat dan maghfirah ini. Kegembiraan atas kehadiran bulan suci diapresiasi sedemikian rupa oleh Nabi Muhammad, sebagaimana dalam hadisnya, man fariha bi dukhuli ramadhan harramallahu jasadahu minan niran. Artinya, barang siapa bergembira dengan kehadiran bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka. Sebuah balasan yang secara konotatif akan mendapatkan balasan surga-Nya, dambaan setiap hamba.

Kegembiraan muslim di bulan suci merembet pada seluruh aktivitas kehidupan. Tidak jarang, perilaku muslim menjadi tidak wajar karena saking gembiranya. Dalam urusan kebutuhan konsumsi sehari-hari misalnya, puasa yang semestinya mengurangi kuantitas konsumsi, malah menyajikan fakta yang sebaliknya. Secara umum, tingkat konsumsi masyarakat muslim di bulan puasa cenderung meningkat dibandingkan bulan-bulan lain di bulan Ramadhan.

Hasil kajian Febriyanto dkk (2019) menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi rumah tangga meningkat antara 10-30% hingga 100-150% selama bulan puasa. Komponen penunjang peningkatan itu termasuk anggaran untuk belanja sahur dan berbuka.

Tidak sedikit yang beralasan, sajian di meja makan saat berbuka harus istimewa. Sebab sebagai ganti atas jerih payah menahan lapar dahaga selama dua belas jam lebih dari waktu subuh hingga matahari terbenam. Dalam bahasa lain, penceramah tadi “menuduh” orang semacam ini sebagai orang yang balas dendam atas perutnya. Padahal pada hari-hari biasa, untuk makan malam cukup dengan nasi dan lauk pauk secukupnya. Namun untuk berbuka puasa, dipilih lauk pauk yang lebih berkelas dari pada biasa. Sikap seperti ini masif berlaku di mana-mana. Alhasil, secara tidak langsung berimbas pada peningkatan bahan-bahan untuk memenuhi selera konsumtif tersebut.

Di Kabupaten Batang, Jawa Tengah misalnya stok elpiji 3 kg ditambah hingga 19.000 tabung per hari dari pasokan normal sebanyak 20.000. Menurut pihak yang berwenang, tambahan ini ditujukan kepada warga yang berhak menerimanya. Juga untuk mensuplai warung-warung musiman yang datang di bulan Ramadhan (detikcom, 7/5). Pastinya, warung-warung tadi adalah penyedia beragam jenis makanan yang ditawarkan masyarakat yang tengah berburu menu untuk berbuka dan cemilan lainnya di malam hari selama bulan puasa.

Penawaran yang meningkat itu seiring dengan peningkatan permintaan konsumen. Dalam hukum permintaan dan penawaran, penawaran akan meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan. Dengan mencermati realitas yang demikian, ada dua problem besar yang layak diurai. Pertama terkait perilaku konsumsi yang tidak wajar, dan kedua kesadaran akan nilai dan hikmah kehadiran bulan Ramadhan.

Lebih parahnya lagi, hal tersebut terjadi di waktu ketika seharusnya konsumsi atas kebutuhan fisiologis dikekang dan dikurangi. [JIka konsumsi berlebihan maupun membuang makanan yang tersisa tidak termakan adalah “dosa”, maka bulan puasa ramadhan telah menihilkan atau menegasikan dosa-dosa tersebut yang turut terhapuskan. RUGI bila tidak umbar nafsu dibulan puasa. Produksi dan cetak banyak dosa sebelum dan saat memasuki bulan puasa ramadhan, agar UNTUNG. Makan pula yang haram, meski dosa, akan turut dihapus dan diampuni, KESEMPATAN EMAS bagi para Muslim pendosa.]

Pun demikian orang yang berpuasa, selain menahan diri dari menahan lapar pada siang hari, juga harus menghindari perilaku-perilaku yang merugikan diri dan orang lain. Misalnya dalam hadis disebutkan, “Barang siapa berpuasa, maka janganlah berkata keji dan berteriak-teriak.” Juga hadis lain yang senada, “Orang yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan keji, maka Allah tidak butuh orang tersebut meninggalkan makan dan minumnya.” [Namun, sekali lagi, dosa-dosa diampuni di bulan puasa ramadhan yang penuh “berkah” bagi para pendosa ini, dimana mentalitas dan standar moralitas manusia dirusak oleh iming-iming “pengampunan / penghapusan dosa”, sehingga mereka meremehkan dosa dan menyepelekan nasib korban-korban mereka terlebih diharapkan untuk mampu menghargai nilai penting dibalik sikap bertanggung-jawab.]

Lebih ekstrem lagi tajuk berjudul “Pendapatan Turun, tapi Konsumsi Masyarakat Naik saat Ramadan 2021” sebagaimana dilansir “Liputan6 .com”, 03 Mei 2021, https:// www. liputan6 .com/bisnis/read/4548644/pendapatan-turun-tapi-konsumsi-masyarakat-naik-saat-ramadan-2021. Begitu pula pemberitaan bertajuk “Ramadhan dan Konsumsi Pangan Koran Sindo Rabu, 22 Mei 2019, https:// nasional.sindonews .com/berita/1406300/18/ramadhan-dan-konsumsi-pangan, dengan kutipan sebagai berikut:

PADA hakikatnya, puasa Ramadhan adalah upaya menahan rasa lapar, dahaga, dan meredam hawa nafsu yang membatalkannya. Namun pada praktiknya pengendalian nafsu lebih sulit bukan saat kita berpuasa menahan lapar dan dahaga, melainkan justru saat jelang berbuka. Kita sering dibuat “kalap”, ingin rasanya menyantap semua menu berbuka sepuasnya.

Secara teori, kebutuhan pangan pada bulan Ramadhan akan mengalami penurunan karena perubahan pola konsumsi. Pada bulan tersebut, orang yang berpuasa makan dua kali sehari, saat sahur dan buka puasa. Namun pada bulan lainnya, umumnya mereka terbiasa makan tiga kali sehari. Seharusnya kebutuhan pangan juga ikut menurun.

Tapi faktanya tidak demikian. Permintaan pangan pada bulan Ramadhan dan jelang Lebaran cenderung meningkat, pada akhirnya menggerek tingkat konsumsi. Saat umat muslim di seluruh dunia bergembira menyambut datangnya bulan Ramadhan, ada kecenderungan jika makna bulan puasa akan bergeser dari bulan puasa (fasting), menjadi bulan berpesta (feasting).

Sudah tradisi, aneka menu disajikan saat bulan puasa lebih bervariasi dan lebih lengkap bahkan berlebih. Saat berbuka mereka cenderung terobsesi menyiapkan beragam hidangan melebihi kapasitas perut. Kelebihan makanan disimpan di kulkas untuk persediaan stok menu sahur. Tidak jarang, makanan yang disimpan tersebut menjadi basi dan dengan gampangnya kita membuang ke tempat sampah tanpa merasa bersalah.

Salah satu contoh sederhana pemborosan pangan (food waste). Data pemborosan pangan global sangat mencengangkan. Badan pangan dunia (FAO) pada 2016 merilis, kehilangan pangan dunia akibat salah pola konsumsi hingga 1,3 miliar ton (USD1 triliun setiap tahun). Jumlah tersebut hampir sepertiga jumlah pangan yang diproduksi dunia.

Demikian, upaya peningkatan ketersediaan pangan seharusnya tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi, tetapi juga fokus menurunkan kehilangan pangan pada tahap produksi, distribusi, dan konsumsi. Kehilangan pangan di negara berkembang lebih banyak pada tahap pre-consumption, sementara di negara maju lebih banyak terjadi pada tahap consumption (FAO, 2018).

Setali tiga uang, Indonesia tidak luput dari tradisi “buang-buang makanan”. Mengutip dari laman The Economist Intelligence Unit pada 2016, orang Indonesia rata-rata menghasilkan sampah makanan hingga 300 kg per orang tiap tahun, setara 13 juta ton. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai runner-up pemborosan makanan setelah Arab Saudi (427 kg) makanan per tahun.

Sejalan dengan itu, hasil kajian Parongpong Waste Management tahun lalu, menyebut di Jakarta saja ada tambahan 200 ton sampah saat Ramadhan, belum daerah lainnya. Pemborosan pangan pada beras di Indonesia menjadi sorotan karena beras merupakan bahan makanan pokok.

Kehilangan beras juga terjadi pada tahap konsumsi (food waste). Hal ini berkaitan dengan perilaku konsumen dalam memperlakukan makanan yang dikonsumsi sehari-hari itu. Temuan FAO (2014) menyebut kehilangan beras pada saat konsumsi dapat terjadi pada berbagai tingkatan meliputi institusi pemerintahan, nonpemerintahan, ataupun level rumah tangga. Rumah tangga merupakan salah satu penyumbang food wastedi Indonesia.

Fenomena tersebut merupakan hasil hubungan yang kompleks dari proses perencanaan, pembelian, penyimpanan, penyiapan, hingga konsumsi makanan. Jumlah food waste beras pada tingkat rumah tangga Indonesia kurun 2010–2014 rata-rata lebih dari 800.000 ton per tahun. Food waste beras terjadi juga di restoran sebagai salah satu tempat makan favorit penduduk Indonesia.

Temuan Anriany dan Martianto (2013) menyebut wastenasi yang dihasilkan restoran Sunda lebih besar daripada restoran Padang yaitu sebesar 1,5 kg/kap/tahun pada restoran Sunda dan 0,5 kg/kap/tahun pada restoran Padang. Wastenasi terbanyak adalah yang dikonsumsi wanita, tingkat pendidikan S-2, level pendapatan di bawah Rp2 juta. Mengacu pada harga beras saat ini kerugian yang ditimbulkan food waste komoditas beras di restoran di Indonesia ditaksir lebih Rp5,7 miliar per tahun.

Telah ternyata, bulan puasa mara Muslim bukan hanya ajang pesta “penghapusan dosa”, namun juga ajang mengumbar makanan yang dikonsumsi berlebihan maupun yang dibuang sia-sia. Lantas, diluar bulan puasa ramadhan, perilaku “suci” semacam apakah yang dipertunjukkan oleh para Muslim, sebagaimana perintah berikut ini:

- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Bukhari, No. 680]

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note : Siapa yang telah menzolimi siapa?]

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi dengan PEMBUNUHAN”.]

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”