SENI PIKIR & TULIS
Menista (Perilaku) UMAT, Tidak dapat Dipidana. Menista UMAT Vs. Menista AGAMA, Dua Hal yang Berbeda Domain
Yang Paling Hebat adalah Orang-Orang yang Berpuasa
BUAT DOSA, bukan Mereka yang Berpuasa dari Anti Minta Ampuni Dosa-Dosa (alias
Umbar Pengampunan Dosa, Nafsu Itu Sendiri)
Bila tujuan dibalik puasa bukan untuk latihan pengendalian diri maupun dari praktik “korup” semacam pengampunan dosa, maka itu adalah praktik umbar pengampunan dosa dimana menjadi pesta-pora akbar bagi para pendosa, sekaligus disaat bersamaan menjadi mimpi buruk bagi para korban dari para pendosa tersebut. Mengapa juga agama samawi menggambarkan versi Tuhan yang lebih PRO terhadap pendosa alih-alih berpihak kepada korban-korban dari para pendosa tersebut? Berpuasa yang sejati, ialah untuk melatih dan meningkatkan kesucian diri, bukan justru meminta pengampunan dosa (otak picik, licik, dan korup yang mengemuka).
Versi “puasa” yang justru
mengumbar pengampunan dosa, bukanlah praktik latihan pengendalian diri yang
otentik, namun umbar nafsu penghapusan dosa, alias nafsu itu sendiri yang
meningkat. Hanya sekadar menahan lapar dengan jam makan maupun jam
bersetubuh yang digeser waktunya, lantas mendapat iming-iming “penghapusan dosa”?
Sungguh “too good to be true”. Ibarat orang berhutang namun dananya
digelapkan dan tidak dikembalikan (dosa), alih-alih bersusah-payah bayar hutang
hingga lunas kepada kreditornya (korban), justru mengumbar nafsu “pengampunan
dosa” dimana bulan puasa menjadi ajang akbar bagi para pendosa untuk “mencuci
dosa”.
Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan pengampunan dosa, karenanya versi “puasa”
semacam itu tidak dibutuhkan oleh orang-orang yang hendak berlatih di jalan
kesucian. Mengapa mereka memilih untuk “berpuasa” versi “umar pengampunan dosa”
alih-alih bertanggung-jawab kepada korban-korban mereka selama ini? Jelaslah,
mereka bukan seorang ksatria yang pemberani, namun pengecut yang melarikan diri
dari tanggung-jawab atas dosa-dosa yang telah mereka perbuat. Jadilah, versi “puasa”
semacam itu ibarat ajang “melarikan diri” sekaligus “cuci dosa” bagi para “pendosa
sekaligus pengecut”.
Dalam kesempatan ini, penulis
hendak menista “UMAT Agama Islam”, bukan menista “Agama Islam”—dimana sejatinya
sang umat Muslim itu sendiri yang telah mencoreng Agama Islam lewat perilakunya
terhadap penulis selaku umat agama lain. Bermula ketika penulis masih seorang
bocah yang duduk di bangku Sekolah Dasar, sekitar umur 8 atau 9 tahun, sepulang
sekolah melewati sebuah jalan dimana sekumpulan anak-anak pribumi yang sedang
nongkrong meledeki dan memaki penulis yang beretnik Tionghua. Merasa tidak
terima diledeki keras-keras dan dilecehkan terus-menerus secara verbal oleh anak-anak
pribumi kampungan tersebut, penulis berseru protes beberapa patah kata, lalu
pergi berlalu.
Akan tetapi secara mendadak
belakang kepala penulis dipukul oleh seorang Muslim dewasa berbusana Islam, sembari
berkata, “Gua sedang puasa, bikin gua
kesal saja kamu teriak-teriak! Kalau kamu tidak senang, cari saya di Masjid
ini!” tuturnya sambil pergi memasuki sebuah Masjid—ketika sedang beribadah
saja, Muslim satu ini menyakiti dan menganiaya anak kecil secara demikian
pengecutnya, dari belakang pula, sekaligus seorang “hakim yang buruk” karena
korban pelecehan yang justru dianiaya, alih-alih mendidik para bocah-bocah pribumi
itu untuk tidak rasis.
Sejak saat itulah, penulis
telah menaruh rasa antipati terhadap Islam maupun kaum Muslim, yang menampilkan
sikap “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik” alias suka main
kekerasan fisik (belum beradab, masih biadab). Bulan penuh “keberkahan”, bagi
siapa?—yakni bagi para penganiaya anak kecil, bagi para pengecut, maupun para
pendosa lainnya. Berkah bagi pendosa yang dihapus dosa-dosanya, dan petaka
bagi korban-korban para pendosa tersebut. “Buat dosa? Siapa takut?!”—itulah “mind set” yang selama ini dipelihara oleh para pemeluk keyakinan “penghapusan
dosa”.
Penulis pun bertanya-tanya,
mengapa orang-orang Muslim suka sekali berbuat dosa (jahat) dengan melukai, menyakiti,
maupun merugikan orang lain, alias tidak takut berbuat dosa, dan dengan begitu
mudahnya main kekerasan fisik secara tidak adil? Bahkan di bulan puasa yang
kata orang-orang Muslim sebagai bulan penuh pengendalian diri, yang terjadi
ialah bulan umbar intoleransi, minta dihormati tapi tidak mau menghormati orang
lain, pendek “sumbu”-nya, mudah tersinggung namun suka menyinggung, mabuk
kekerasan fisik, “kesetanan” sehingga dengan mudahnya menganiaya orang lain,
hingga umbar nafsu “penghapusan / pengampunan dosa”?
Penulis kemudian menyelidiki,
dan terus menyelidiki. Kediaman penulis tidak jauh dari Masjid, yang setiap
kali para ustad berceramah, selalu terdengar keras lewat speakser pengeras
suara eksternal Masjid, dan setiap bulan puasa tiba, yang selalu diperdengarkan
dan dikumandangkan ialah “Bulan puasa,
bulan penuh berkah, dimana dosa-dosa Muslim yang berpuasa akan diampuni!”
Tidak heran bila para Muslim suka sekali dan hobi berbuat dosa, juga senang
sekali berpuasa dan disaat bersamaan akan marah bila tergoda melihat makanan
seperti restoran yang tetap buka di siang hari sebelum kemudian mereka razia,
semata nafsunya diumbar hendak minta diampuni dosa-dosanya lewat berpuasa. Sungguh
menjadi bulan penuh petaka bagi korban-korban para pendosa bernama
Muslim-Muslim tersebut:
- “Agar Allah menghapus (mengampuni) perbuatan mereka yang paling
buruk yang pernah mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 35)
- “Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadan seraya beriman dan
ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau.” (HR Bukhari,
Muslim, dan lainnya).
- “Barang siapa puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala diampuni
baginya dosa-dosa masa lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
- ”Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap
pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni”. (HR.
Bukhari No. 38 dan Muslim no. 760)
- Ibnu Rajab Al Hambali
mengatakan, “Tatkala semakin banyak
pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati
pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.”
[Pengampunan dosa, disebut baik dan kebaikan? Berbuat dosa dan maksiat disebut
baik sehingga perlu dipromosikan? Standar moral semacam apakah itu? Rahmatan
bagi pendosa, bukan rahmatan bagi korban.]
- “Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan
kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah
pintu-pintu neraka serta syetan-syetan dibelenggu. di dalamnya terdapat malam
yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan
kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang / terjauhkan (dari kebaikan)”
(HR. Ahmad) [JIka benar-benar baik dan kebaikan, lantas dimana keadilan bagi
para korban dari para pendosa yang tidak bertanggung-jawab tersebut?]
- Nabi s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang melaksanakan puasa
Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan, maka diampuni dosanya yang telah
berlalu”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 37 dan Muslim: 1266).
- “Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap
hari di bulan Ramadhan, dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka
pasti dikabulkan.” (HR. Al Bazaar)
- Dari Abu Hurairah r.a.
menuturkan, “Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Sesungguhnya telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah
telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu. Dalam bulan itu dibukalah
pintu-pintu langit, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan syaitan-syaitan
dibelenggu. Pada bulan itu terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari
seribu bulan. Siapa yang tidak memperoleh kebajikan di malam itu, maka ia tidak
memperoleh kebajikan apapun”. (Hadis Shahih, Riwayat al-Nasa`i: 2079 dan
Ahmad: 8631. dengan redaksi hadis dari al-Nasa’i). [Umar nafsu penghapusan
dosa, bukankah merupakan “bisikan setan” itu sendiri? Hanya setan, yang butuh
penghapusan dosa, disamping “manusia setan” yang “kesetanan”.]
- “Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah
berkata-kata kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang
mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang
berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151) [JIka tidak sedang
berpuasa, maka artinya bebas untuk main kekerasan fisik, bebas untuk membunuh,
bebas untuk buat maksiat 11 bulan lalu mendadak alim cukup 1 bulan untuk dapat penghapusan
dosa dibulan puasa? Itu namanya “SIN
LAUNDRING”!]
- “Wahai orang-orang yang menghendaki kebajikan, bergembiralah dan wahai
orang-orang yang menghendaki keburukan tahanlah dirimu”. (Hadis Shahih,
Riwayat al-Nasa`i: 2080 dan Ahmad: 18042, dengan redaksi hadis dari al-Nasa’i).
[Mengapa mereka tidak bisa menahan diri dari nafsu umbar penghapusan dosa? Itu namanya
sedang mabuk kepayang dan tergila-gila kepada iming-iming penghapusan dosa.]
“Merugi” jika tidak puasa
ramadhan ala Islam karena tidak dapat iming-iming penghapusan dosa? Yang paling
rugi jika para pendosa tersebut dihapus dosa-dosanya, ialah para KORBAN dari
perbuatan Muslim-Muslim itu sendiri. Saat bulan puasa ramadhan, konsumsi umat
Muslim justru meningkat, karena itu harga pangan meningkat dan melambung tinggi
secara drastis. Lihatlah perut-perut para Muslim, buncit, sekalipun sebulan
penuh berpuasa, kenyang oleh konsumsi makanan yang meningkat (itukah yang
disebut menahan diri?) sekaligus kenyang oleh “penghapusan dosa”. Puasa makan,
tapi “mabuk” penghapusan dosa, sama artinya mengkonsumsi dosa itu sendiri. Cobalah
kita simak fakta berikut, dalam “Anomali Konsumsi di Bulan Suci”, https:// news.detik
.com/kolom/d-4553328/anomali-konsumsi-di-bulan-suci:
Muslim yang sebenarnya pasti
akan merasa senang dan gembira dengan hadirnya bulan Ramadhan yang penuh rahmat
dan maghfirah ini. Kegembiraan atas kehadiran bulan suci diapresiasi sedemikian
rupa oleh Nabi Muhammad, sebagaimana dalam hadisnya, man fariha bi dukhuli
ramadhan harramallahu jasadahu minan niran. Artinya, barang siapa bergembira
dengan kehadiran bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya dari api
neraka. Sebuah balasan yang secara konotatif akan mendapatkan balasan
surga-Nya, dambaan setiap hamba.
Kegembiraan muslim di bulan
suci merembet pada seluruh aktivitas kehidupan. Tidak jarang, perilaku muslim
menjadi tidak wajar karena saking gembiranya. Dalam urusan kebutuhan
konsumsi sehari-hari misalnya, puasa yang semestinya mengurangi kuantitas
konsumsi, malah menyajikan fakta yang sebaliknya. Secara umum, tingkat konsumsi
masyarakat muslim di bulan puasa cenderung meningkat dibandingkan bulan-bulan
lain di bulan Ramadhan.
Hasil kajian Febriyanto dkk
(2019) menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi rumah tangga meningkat antara
10-30% hingga 100-150% selama bulan puasa. Komponen penunjang peningkatan
itu termasuk anggaran untuk belanja sahur dan berbuka.
Tidak sedikit yang beralasan,
sajian di meja makan saat berbuka harus istimewa. Sebab sebagai ganti atas
jerih payah menahan lapar dahaga selama dua belas jam lebih dari waktu subuh
hingga matahari terbenam. Dalam bahasa lain, penceramah tadi “menuduh” orang
semacam ini sebagai orang yang balas dendam atas perutnya. Padahal pada
hari-hari biasa, untuk makan malam cukup dengan nasi dan lauk pauk secukupnya.
Namun untuk berbuka puasa, dipilih lauk pauk yang lebih berkelas dari pada
biasa. Sikap seperti ini masif berlaku di mana-mana. Alhasil, secara tidak
langsung berimbas pada peningkatan bahan-bahan untuk memenuhi selera
konsumtif tersebut.
Di Kabupaten Batang, Jawa
Tengah misalnya stok elpiji 3 kg ditambah hingga 19.000 tabung per hari dari
pasokan normal sebanyak 20.000. Menurut pihak yang berwenang, tambahan ini
ditujukan kepada warga yang berhak menerimanya. Juga untuk mensuplai
warung-warung musiman yang datang di bulan Ramadhan (detikcom, 7/5). Pastinya,
warung-warung tadi adalah penyedia beragam jenis makanan yang ditawarkan
masyarakat yang tengah berburu menu untuk berbuka dan cemilan lainnya di malam
hari selama bulan puasa.
Penawaran yang meningkat itu
seiring dengan peningkatan permintaan konsumen. Dalam hukum permintaan dan
penawaran, penawaran akan meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan.
Dengan mencermati realitas yang demikian, ada dua problem besar yang layak
diurai. Pertama terkait perilaku konsumsi yang tidak wajar, dan kedua
kesadaran akan nilai dan hikmah kehadiran bulan Ramadhan.
Lebih parahnya lagi, hal
tersebut terjadi di waktu ketika seharusnya konsumsi atas kebutuhan fisiologis dikekang
dan dikurangi. [JIka konsumsi berlebihan maupun membuang makanan yang tersisa tidak termakan
adalah “dosa”, maka bulan puasa ramadhan telah menihilkan atau menegasikan dosa-dosa
tersebut yang turut terhapuskan. RUGI bila tidak umbar nafsu dibulan puasa. Produksi
dan cetak banyak dosa sebelum dan saat memasuki bulan puasa ramadhan, agar
UNTUNG. Makan pula yang haram, meski dosa, akan turut dihapus dan diampuni, KESEMPATAN
EMAS bagi para Muslim pendosa.]
Pun demikian orang yang
berpuasa, selain menahan diri dari menahan lapar pada siang hari, juga harus
menghindari perilaku-perilaku yang merugikan diri dan orang lain. Misalnya
dalam hadis disebutkan, “Barang siapa berpuasa, maka janganlah berkata keji dan
berteriak-teriak.” Juga hadis lain yang senada, “Orang yang tidak meninggalkan
ucapan dan perbuatan keji, maka Allah tidak butuh orang tersebut meninggalkan
makan dan minumnya.” [Namun, sekali lagi, dosa-dosa diampuni di bulan puasa ramadhan yang
penuh “berkah” bagi para pendosa ini, dimana mentalitas dan standar moralitas manusia
dirusak oleh iming-iming “pengampunan / penghapusan dosa”, sehingga mereka
meremehkan dosa dan menyepelekan nasib korban-korban mereka terlebih diharapkan
untuk mampu menghargai nilai penting dibalik sikap bertanggung-jawab.]
Lebih ekstrem lagi tajuk berjudul
“Pendapatan Turun, tapi Konsumsi Masyarakat Naik saat Ramadan 2021” sebagaimana
dilansir “Liputan6 .com”, 03 Mei 2021, https:// www. liputan6 .com/bisnis/read/4548644/pendapatan-turun-tapi-konsumsi-masyarakat-naik-saat-ramadan-2021.
Begitu pula pemberitaan bertajuk “Ramadhan dan Konsumsi Pangan Koran Sindo
Rabu, 22 Mei 2019, https:// nasional.sindonews .com/berita/1406300/18/ramadhan-dan-konsumsi-pangan,
dengan kutipan sebagai berikut:
PADA hakikatnya, puasa Ramadhan
adalah upaya menahan rasa lapar, dahaga, dan meredam hawa nafsu yang membatalkannya.
Namun pada praktiknya pengendalian nafsu lebih sulit bukan saat kita berpuasa
menahan lapar dan dahaga, melainkan justru saat jelang berbuka. Kita sering
dibuat “kalap”, ingin rasanya menyantap semua menu berbuka sepuasnya.
Secara teori, kebutuhan pangan
pada bulan Ramadhan akan mengalami penurunan karena perubahan pola konsumsi. Pada bulan tersebut, orang yang berpuasa makan dua kali sehari, saat
sahur dan buka puasa. Namun pada bulan lainnya, umumnya mereka terbiasa makan
tiga kali sehari. Seharusnya kebutuhan pangan juga ikut menurun.
Tapi faktanya tidak demikian. Permintaan pangan pada bulan Ramadhan dan jelang Lebaran cenderung
meningkat, pada akhirnya menggerek tingkat konsumsi. Saat umat muslim di
seluruh dunia bergembira menyambut datangnya bulan Ramadhan, ada kecenderungan
jika makna bulan puasa akan bergeser dari bulan puasa (fasting), menjadi bulan
berpesta (feasting).
Sudah tradisi, aneka menu
disajikan saat bulan puasa lebih bervariasi dan lebih lengkap bahkan berlebih.
Saat berbuka mereka cenderung terobsesi menyiapkan beragam hidangan melebihi
kapasitas perut. Kelebihan makanan disimpan di kulkas untuk persediaan stok menu
sahur. Tidak jarang, makanan yang disimpan tersebut menjadi basi dan dengan
gampangnya kita membuang ke tempat sampah tanpa merasa bersalah.
Salah satu contoh sederhana
pemborosan pangan (food waste). Data pemborosan pangan global sangat
mencengangkan. Badan pangan dunia (FAO) pada 2016 merilis, kehilangan pangan
dunia akibat salah pola konsumsi hingga 1,3 miliar ton (USD1 triliun setiap
tahun). Jumlah tersebut hampir sepertiga jumlah pangan yang diproduksi dunia.
Demikian, upaya peningkatan
ketersediaan pangan seharusnya tidak hanya berorientasi pada peningkatan
produksi, tetapi juga fokus menurunkan kehilangan pangan pada tahap produksi, distribusi,
dan konsumsi. Kehilangan pangan di negara berkembang lebih banyak pada tahap pre-consumption,
sementara di negara maju lebih banyak terjadi pada tahap consumption (FAO,
2018).
Setali tiga uang, Indonesia
tidak luput dari tradisi “buang-buang makanan”. Mengutip dari laman The
Economist Intelligence Unit pada 2016, orang Indonesia rata-rata menghasilkan
sampah makanan hingga 300 kg per orang tiap tahun, setara 13 juta ton. Angka
ini menempatkan Indonesia sebagai runner-up pemborosan makanan setelah Arab
Saudi (427 kg) makanan per tahun.
Sejalan dengan itu, hasil
kajian Parongpong Waste Management tahun lalu, menyebut di Jakarta saja ada
tambahan 200 ton sampah saat Ramadhan, belum daerah lainnya. Pemborosan
pangan pada beras di Indonesia menjadi sorotan karena beras merupakan bahan
makanan pokok.
Kehilangan beras juga terjadi
pada tahap konsumsi (food waste). Hal ini berkaitan dengan perilaku konsumen
dalam memperlakukan makanan yang dikonsumsi sehari-hari itu. Temuan FAO (2014)
menyebut kehilangan beras pada saat konsumsi dapat terjadi pada berbagai
tingkatan meliputi institusi pemerintahan, nonpemerintahan, ataupun level rumah
tangga. Rumah tangga merupakan salah satu penyumbang food wastedi Indonesia.
Fenomena tersebut merupakan
hasil hubungan yang kompleks dari proses perencanaan, pembelian, penyimpanan,
penyiapan, hingga konsumsi makanan. Jumlah food waste beras pada tingkat rumah
tangga Indonesia kurun 2010–2014 rata-rata lebih dari 800.000 ton per tahun.
Food waste beras terjadi juga di restoran sebagai salah satu tempat makan
favorit penduduk Indonesia.
Temuan Anriany dan Martianto
(2013) menyebut wastenasi yang dihasilkan restoran Sunda lebih besar daripada
restoran Padang yaitu sebesar 1,5 kg/kap/tahun pada restoran Sunda dan 0,5 kg/kap/tahun
pada restoran Padang. Wastenasi terbanyak adalah yang dikonsumsi wanita,
tingkat pendidikan S-2, level pendapatan di bawah Rp2 juta. Mengacu pada harga
beras saat ini kerugian yang ditimbulkan food waste komoditas beras di restoran
di Indonesia ditaksir lebih Rp5,7 miliar per tahun.
Telah ternyata, bulan puasa
mara Muslim bukan hanya ajang pesta “penghapusan dosa”, namun juga ajang
mengumbar makanan yang dikonsumsi berlebihan maupun yang dibuang sia-sia. Lantas,
diluar bulan puasa ramadhan, perilaku “suci” semacam apakah yang dipertunjukkan
oleh para Muslim, sebagaimana perintah berikut ini:
- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar
mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Bukhari, No. 680]
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘
Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap orang-orang
yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki
mereka.” [Note
: Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi dengan
PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”