SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Question: JIka memang penentu bisa lolos atau tidaknya kita sebagai manusia dari “seleksi alam”, ialah faktor genetik manusia masing-masing individu, maka bukankah itu artinya menihilkan peran penting dan arti dibalik sebuah upaya maupun perjuangan? Genetik, seolah-olah kita diasingkan dari hakekat manusia yang berakal-budi, serba mekanistik. Bukankah itu artinya seseorang yang memang punya warisan genetik yang baik dan berkualitas dari ayah-ibu maupun silsilah nenek-moyangnya, sudah “menang” (dan akan lolos dari “seleksi alam”) bahkan sejak masih dalam kandungan dalam rahim ibunya?
Brief Answer: Dahulu, pada zaman batu prasejarah alias
purbakala, manusia yang dapat bertahan hidup dan “survive” ialah mereka yang bertubuh kuat mampu menaklukkan hewan
buas dan bertarung terhadap sesama pria purba lainnya. Kini, era sudah berubah
drastis dan kontras sebagaimana kehidupan manusia purba pada era prasejarah.
Seseorang pria di era modern, sekalipun bertubuh lemah dan ringkih, sepanjang
memiliki “modal” berupa otak maupun kapitalisasi uang, maka ia yang akan lebih
cenderung bertahan dan mudah menemukan calon pasangan hidup (yang mengantri)
untuk melangsungkan garis keturunan—yang kita sebut sebagai “lolos dari seleksi
alam”. Karenanya, definisi dari “survival
of the fittest” itu sendiri telah bergeser maknanya sehingga diperlukan sebentuk
re-definisi sesuai latar-belakang kondisi dan situasi era yang melingkupinya.
Perlu pula kita ketahui, bahwa umur umat manusia
sudah hampir setua usia Planet Bumi ini, dimana ratusan atau bahkan jutaan
miliar tahun umat manusia telah berevolusi dari makhluk primitif menjadi
makhluk yang cerdas. Nenek-moyang kita telah ternyata terbukti mampu dan dapat
bertahan hidup serta melangsungkan garis keturunan, yang artinya telah berhasil
lolos dari seleksi alam, yang dengan demikian bermakna bahwa kita semua tanpa
terkecuali, lebih tepatnya seluruh penduduk yang terlahir pada era modern saat
kini, merupakan para manusia yang “menang” karena telah terbukti lolos dari
“seleksi alam” serta merupakan hasil dari “seleksi alam” itu sendiri. Sehingga,
bukan pada zamannya lagi kita mencoba mengasihani dan menyesali kehidupan kita
yang ada saat kini, karena kita semua adalah keturunan para “pemenang
kehidupan” yang keras selama miliaran tahun ini.
PEMBAHASAN:
“Seleksi alam” maupun evolusi
manusia, tidak bermakna bahwa kita sebagai generasi yang terlahir pada zaman
kekinian, akan unggul dan mampu dalam segala hal dan segala bidang. Seseorang
yang terlahir pada abad ini, bisa jadi terampil dan unggul dalam satu bidang,
namun bisa jadi disaat bersamaan ia “payah” dan sama sekali tidak kompeten
dibidang lainnya. Seseorang, karenanya, bukan bisa bertahan hidup karena
menguasai segala bidang, namun menjadi terampil pada satu bidang tertentu
sehingga dikenal atas keterampilan dan keahlian sebagai kemampuan spesifiknya
sebagai topangan untuk mencari nafkah. Setiap orang memiliki bakat atau talenta
tersendiri, karenanya merupakan modal baginya untuk dapat bertahan hidup
ditengah pesatnya era pertumbuhan penduduk yang kian kompetitif sementara itu
sumber daya cenderung terbatas bahkan berkurang pasokannya.
Dalam derajat tertentu, bahkan
acapkali, yang keluar sebagai pemenang hidup atau yang dapat terus bertahan
dari kerasnya hidup (bisa bertahan hidup itu sendiri sudah cukup keras dan
mujur bisa selamat, sehingga untuk apa pula umat manusia masih “dicoba-coba”?),
ialah mereka yang beruntung dan mujur hidupnya, sekalipun dari segi
kemampuan akademik maupun keterampilan, mereka jauh dibawah kita. Ancaman
terbesar justru akan kita jumpai ketika kita masuk dalam “zoma nyaman”, dimana
kita tidak merasa perlu mengembangkan bakat terpendam kita untuk menjadi
terampil, semisal karyawan atau Pegawai Negeri Sipil yang seburuk atau tanpa
prestasi apapun akan tetap terjamin kelangsungan upah / gaji bulanan sepanjang
hayatnya. Pada saat itulah, lebih tepatnya pada saat ia mengalami pemutusan
hubungan kerja, pensiun saat memasuki usia paruh baya, tanpa bekal keahlian
ataupun keterampilan yang terasah apapun, kehidupan menjelma “mimpi buruk”
serta “kiamat” bagi karirnya.
Perihal “menang” ataupun
“kalah”, juga bersifat relatif adanya, bukan penentu mutlak dalam “sistem
seleksi”. Sebagai contoh, satu kelas berisi lima puluh orang murid, sementara
itu yang bisa menduduki peringkat juara tiga besar, hanya tiga orang murid.
Artinya, ada empat puluh tujuh murid yang telah “gagal”. Akan tetapi, apakah
artinya itu menjadi penentu mutlak atau vonis untuk seumur hidupnya? Bandul
terus bergerak, dan roda terus berputar. Ada kalanya yang kalah kemudian keluar
sebagai pemenang, dan yang menang akan menjadi pecundang. Tidak ada yang pasti
dalam kehidupan selain ketidak-pastian itu sendiri.
Universitas-universitas top
dunia paling bergengsi ada di Inggris dan di Amerika Serikat. Namun lihatlah,
kini yang menjadi raja ekonomi dunia justru ialah China, bukan lulusan top
bergengsi tersebut, karena warga Inggris dan Amerika-lah yang semestinya
menguasai dunia justru tergeser oleh para pengusaha dan ekonom China. Adidaya,
namun kalah bersaing dengan negara Tiongkok. Sebaliknya, Indonesia yang memiliki
“bonus (beban) demografi” dengan jumlah penduduk yang besar, terpuruk dan hanya
menjadi penonton dari masuknya para pemain pemodal asing yang bercokol dan
menghisap pundi-pundi maupun sumber daya dalam negeri untuk kemudian devisa
dari Indonesia dilarikan ke luar negeri lewat praktik “transfer pricing” (profit
shifting)—laba yang mereka larikan tersebut tidak jarang lebih besar daripada
biaya / “cost” upah karyawan di Indonesia.
Sebanyak apapun investor asing diundang masuk dan bercokol di republik ini,
kemakmuran justru dinikmati para investor asing, dimana devisa terus bocor lari
ke luar negeri. Singapura, negara “kecil”, namun bertaring dan kuat.
Betul bahwa modal berupa genetik
yang unggul, merupakan berkah. Namun apakah itu dapat terjadi secara sendirinya
tanpa didahului oleh suatu “sebab” yang mendahuluinya alias jatuh dari langit
secara begitu saja bagai spekulasi permainan melempar dadu? Kita terlahir
dengan genetik yang semacam apa, yang unggul ataukah yang “payah”, kesemua itu
hanyalah “akibat”. Yang menjadi “sebab”, ialah faktor perbuatan kita sendiri
sebagai benih Karma yang kita tanam dikehidupan sebelumnya. Kita adalah pewaris
perbuatan kita sendiri, dan terlahir serta terhubung dengan perbuatan kita
sendiri. Kita bukan dikalahkan oleh orang lain, namun sejatinya ialah
kemalasan, kebodohan, dan keserakahan diri kita sendiri sehingga kita kerap “bersikap
egois terhadap diri kita sendiri” dengan cara tidak bersedia merepotkan diri menanam
benih Karma Baik bahkan menanam berbagai benih Karma Buruk.
Karenanya, Hukum Karma
merupakan “sistem seleksi” yang jauh lebih mengedepankan asas meritokrasi serta
egalitarian, tanpa favoritisasi. Orang-orang jahat tersisih dari kehidupan oleh
akibat perbuatan-perbuatan jahat mereka sendiri—bukankah itu prinsip dan
gambaran paling ideal dari kehidupan ini? Justru kesemua itu sudah diakomodasi
oleh Hukum Karma. Tidak mengherankan bila Sang Buddha dalam berbagai
sabda-Nya, kerap mengajurkan kita untuk rajin menanam benih Karma Baik
sebagai modal hidup kita dimasa mendatang. Siapa yang rajin menanam Karma
Baik, maka dirinyalah yang akan “menang” (menikmati manisnya buah Karma Baik)
pada kehidupan berikutnya. Sebaliknya, mereka yang tidak rajin menanam benih
Karma baik, silahkan “gigit jari” dan harus puas menjadi penonton semata. Tidak
heran pula bila Sang Buddha kemudian bersabda, “Pandangan yang keliru artinya, tidak meyakini Hukum Karma maupun
kelahiran kembali.”
Dengan mulai memahami prinsip
dibalik cara kerja Hukum Karma demikian, maka kita dapat mulai termotivasi dan
tergerak untuk menjadi arsitek yang bebas merancang dan menentukan nasib serta
kehidupan kita sendiri di masa mendatang atau setidaknya di kehidupan mendatang,
dimana tiada yang dapat benar-benar kita curangi dalam hidup ini. Karenanya,
pemahaman yang sangat membebaskan demikian sungguh membuat kita berdaya atas
nasib kita sendiri, sebagaimana prinsip “self
determination” (hak untuk menentukan nasib sendiri). Tidak selamanya yang
kuat yang selalu akan menang, lihat saja dinosaurus raksasa semacam T-rex yang
disegani, gagal beradabtasi sehingga mengalami kepunahan jauh sebelum era
prasejarah tepatnya punah pada saat era zaman es menyelimuti muka Bumi ini
akibat pendinginan global.
Yang kaya, pun tidak identik
akan selalu lolos “seleksi alam”. Sebagaimana telah kita singgung di muka,
“zona nyaman” mematikan daya kreativitas maupun bakat terpendam seseorang,
sehingga menjadi tumpul serta “karatan”, mengakibatkan kualitas generasi
penerusnya menjadi diragukan, ibarat orang kaya ibarat mendadak jatuh miskin
akan lebih kecil peluangnya bertahan hidup karena tidak terbiasa pada pola
hidup orang miskin. Atau, akibat menyalah-gunakan buah Karma Baik yang sedang
berbuah, dengan bodoh dan senangnya ia “menggali lubang kubur sendiri” dengan
menanam banyak perbuatan jahat dan selalu berhasil akibat dukungan Karma Baik
yang sedang berbuah—ibarat jalan tol bebas hambatan, hanya saja ia melaju menuju
“neraka”—maka dapat dipastikan di kehidupan berikutnya ia tidak akan mempu
melewati “seleksi alam” karena tidak memiliki modal Karma Baik, bahkan hanya
memiliki timbunan Karma Buruk yang menunggu matang untuk berbuah dan ia petik
sebelum kemudian terjungkal jatuh dan keluar sebagai “pecundang kehidupan”.
Kerapkali orang-orang yang
mampu bertahan hidup adalah orang-orang yang berbahagia dalam hidupnya,
sekalipun penuh keterbatasan sumber daya dan fisik. Sebaliknya, mereka yang
meski hidup berkecukupan, akibat stress tekanan sosial, pekerjaan, maupun
keluarga, mengalami gangguan fisik psikosomatik maupun gangguan kejiwaan,
mengakibatkan kematian dini dapat saja terjadi, atau terjerumus pada
obat-obatan terlarang, minum-minuman keras, mutasi genetik akibat paparan
radikal bebas, mengakibatkan kualitas benih pembuahan generasi penerusnya
menjadi lemah atau dirudung penyakit sehingga tidak lagi produktif. Penelitian
juga menunjukkan, anak-anak hasil “broken
home” lebih cenderung bermasalah dengan hidupnya saat beranjak dewasa.
Karenanya, ketahanan sosial dan
ketahanan individual, sedikit-banyaknya berkaitan dengan kualitas mental
seseorang. Sebagaimana kini dapat kita saksikan, kemampuan untuk bertahan hidup
menyerupai “multi faset”, bukan ditentukan oleh satu faktor tunggal seperti kekuatan
fisik ataupun modal uang semata. Bahkan, bila kita tilik lebih jauh dengan perspektif
yang jernih, sejatinya bukanlah faktor kekuatan fisik, kecerdasan intelektual,
kekayaan materi, maupun kode genetik yang menjadi penentu akan dapat “survive” atau tidaknya seseorang
manusia, dengan merujuk dua buah pola dibalik cara bekerjanya Hukum Karma, yang
mungkin akan membuat Anda mendefinisikan ulang apa yang dimaksud sebagai “survival of the fittest”, yakni dua
postulat berikut yang “suka atau tidak suka” demikian adanya selama ini dapat
kita jumpai dan alami sendiri di keseharian:
- Ciri-ciri ketika Karma BAIK
sedang berbuah, yaitu ketika pada saat kini apapun yang kita katakan, lakukan,
pikirkan, kerjakan, usahakan, pelajari, dan upayakan, semua itu akan berjalan
dengan LANCAR tanpa hambatan, didukung, disetujui, diikuti, dipatuhi,
dikerjakan, ibarat jalan tol bebas hambatan—sekalipun perbuatan kita saat kini
adalah tidak benar, jahat, dan tercela adanya. Sebaliknya,
- Ciri-ciri ketika Karma BURUK
sedang berbuah, yaitu ketika pada saat kini apapun yang kita katakan, lakukan,
pikirkan, kerjakan, usahakan, pelajari, dan upayakan, semua itu akan berjalan
dengan TIDAK LANCAR penuh hambatan, tidak didukung, tidak disetujui, tidak diikuti,
tidak dipatuhi, tidak dikerjakan, ibarat jalan penuh lubang, jurang, berlumpur,
tergenang banjir, dan lika-liku yang terjal—sekalipun perbuatan kita saat kini
adalah baik, benar, dan mulia adanya.
Telah ternyata, hukum yang
terpenting bukanlah menjadi orang yang kaya raya, kuat, berkuasa, banyak
pengikut, digemari para fans, atau sejenisnya. Terdapat kisah yang menggugah
sekaligus menginspirasi perihal Hukum Karma, sebagaimana dituturkan oleh
seorang bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3!”, Penerjemah oleh Tasfan
Santacitta, Awareness Publication, Jakarta, Maret 2012, dengan kutipan sebagai
berikut:
Cenayang Tulen
Saya akan bercerita mengenai
salah satu cenayang, medium yang paling banyak diselidiki di dunia, cenayang
tulen bernama Edgar Cayce (1877-1945). Ia hidup di Virginia Beach, Amerika
Serikat, pada masa di antara Perang Dunia Pertama dan Kedua.
Alasan mengapa ia merupakan
cenayang sejati adalah karena ia begitu rendah hati. Selama hidupnya, ia
melakukan penerawangan berkali-kali. Karena ia hidup di Amerika, banyak dokter
dari New York, Washington, dan banyak lagi, datang dan merisetnya
berulang-ulang kali. Hasilnya selalu menunjukkan bahwa ia adalah cenayang
tulen.
Bahkan selama ia masuk dalam
keadaan “trans”, para peneliti ini menyelipkan potongan kayu di antara kuku dan
daging kukunya. Ini seperti metode penyiksaan, untuk menguji apakah ia mungkin
hanya sekadar pura-pura, karena selama ini tak ada seorang pun yang mampu
menahan sakit dari siksaan semacam itu hanya dengan kekuatan tekad.
Edgar membiarkan mereka
melakukannya begitu seringnya, sampai ia berkata, “Tidak. Saya tidak bisa merasakan
apa yang kalian lakukan ketika saya sedang ‘trans’, namun saya jelas
merasakannya ketika saya keluar dari ‘trans’.”
Ia mampu melakukan hal-hal luar
biasa ini. Ketika ia masuk dalam keadaan hipnosis, dan kapan pun mereka
menyebutkan nama seseorang kepadanya, ia bisa menyebutkan cara merawat dan
jenis obat untuk menyembuhkan orang itu, entah itu obat yang tak diketahui atau
dalam dosis yang benar-benar tidak lazim, namun cara pengobatannya selalu
manjur.
Saya ingat suatu kasus yang
sangat mengesankan. Dalam keadaan “trans”, mereka bertanya mengenai seorang
pasien yang penyakitnya sangat parah. Edgar Cayce mengatakan bahwa inilah obat
yang mereka butuhkan dan obat itu bisa menyembuhkan pasien. Jadi ketika ia
keluar dari keadaan “trans”, mereka pergi ke apotek, dan ahli farmasi di sana
megnatakan, “Saya tidak pernah dengar mengenai obat itu.”
Mereka kembali membuatnya masuk
ke dalam keadaan “trans” dan sekali lagi bertanya, “Apakah betul itu obatnya?”
Ia mengatakan, “Betul. Itu obatnya, namun memang benar Anda tak bisa
mendapatkannya di Virginia Beach. Mereka memiliki obat itu di apotek di St.
Louis.”
St. Louis itu sangat jauh. Pada
zaman itu, mereka tak ada e-mail, jadi mereka harus mengirim telegram ke apotek
di St. Louis. Lalu ahli farmasi di sana mengirimkan pesan kembali, “Tidak
pernah dengar tentang obat itu.”
Maka mereka kembali membuat
Edgar masuk dalam keadaan “trans” untuk ketiga kalinya. Kali ini ia berkata,
“Dengar, obat itu ada dalam apotek di St. Louis itu. Di rak ketiga dari sebelah
kiri, tepat di barisan paling belakang.”
Itulah bunyi telegram yang
mereka kirim, dan tak lama kemudian ada jawaban dari apotek di St. Louis :
“KETEMU!”
Inilah contoh yang menunjukkan
bahwa kemampuan cenayang satu ini adalah memang tulen.
Suatu hari, ketika ia dalam
keadaan “trans”, mereka menanyakan kepadanya perptanyaan berikut ini, “Apakah
hukum yang paling penting di dunia?” Ia menjawab, “Hukum karma.” Ini
terjadi sekitar tahun 1930-an, ketika belum banyak orang mengetahui ataupun
mengenal istilah itu.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.