Lebih Dilematis menjadi seorang Anak daripada Orangtua
Question: Mengapa anak yang selalu diposisikan sebagai pihak yang salah, tersudutkan, dan terpojokkan, sekalipun selama ini orangtua memperlakukan anak secara tidak layak dan tidak patut? Mengapa ada aturan (norma sosial) “tidak tertulis” yang berbunyi : Aturan pertama, orangtua selalu benar. Aturan kedua, jika orangtua keliru, lihat Aturan Pertama.
Brief Answer: Perlu kita akui, posisi dominan orangtua selalu
superior terhadap kedudukan seorang anak, sekalipun sang anak telah berusia
dewasa dan telah banyak “ditindas” ataupun “terzolimi” (luka batin yang kian
terakumulasi) oleh perilaku tidak patut dan tidak etis orangtua atau kedua
orangtua kandungnya. Pemaksaan dalam bentuk eksplisit maupun terselubung,
mengakibatkan tidak jarang seorang anak terkungkung dalam kondisi tidak
berdaya, membenci diri sendiri, depresi, “hopeless”,
serta terpasung secara psikis. Seorang anak, bila memiliki orangtua bertipe “toxic parents”, setiap harinya selama
puluhan tahun hanya akan belajar bahasa kebencian, bahasa ketakutan, bahasa dendam,
bahasa kemarahan, dan ekses-ekses negatif lainnya, tidak sehat bagi kondisi
kejiwaan.
Sebagai contoh, orangtua selalu mendalilkan
dengan tujuan memanipulasi dan mengeksploitasi mental, betapa anak berhutang-budi
kepada orangtua yang telah mengandung dan melahirkannya dengan perjuangan
hidup-mati di ruang bersalin, orangtua mencari nafkah untuk memberi makan dan
membiaya sekolah sang anak, dsb. Alhasil, anak “tersandera” sepanjang ia masih
tinggal satu atap dengan orangtuanya. Kondisi tidak kondusif demikian kian
diperkeruh oleh dogma-dogma keagamaan, yang tidak pro terhadap kondisi, posisi,
maupun kepentingan seorang anak, dan disaat bersamaan membuat kalangan orangtua
menjadi “besar kepala”. Terlebih, “ilmu parenting”
masih dipandang sebagai hal sepele yang “sebelah mata” di kalangan orangtua
yang berdelusi sebagai “tahu segalanya” hanya karena menjadi orangtua yang telah
melahirkan anak.
PEMBAHASAN:
Anak, oleh guru maupun oleh
pemuka agama, dalam “common practice”
diwajibkan untuk “berbakti”, disertai ancaman disebut sebagai “durhaka” bagi
sang anak yang tidak “berbakti” kepada orangtuanya sekalipun selama ini
orangtuanya bersikap tidak bertanggung-jawab terhadap anak-anaknya. Sekalipun,
seorang anak tidak pernah meminta dilahirkan, sehingga secara “common sense” adalah tanggung-jawab
orangtua yang melahirkan seorang anak untuk memastikan tumbuh-kembang seorang
anak secara normal dan optimal serta hidup secara bahagia bebas dari ketakutan.
Bagai “standar yang pincang
sebelah” atau cerminan “wajah yang bopeng sebelah”, orangtua seakan-akan tidak dapat
disebut sebagai tidak “berbakti” kepada sang anak, dan seolah-olah tidak dapat “durhaka”
kepada anak-anak kandung yang menjadi tanggung-jawab mereka dan mereka abaikan.
Memang menyerupai “dagelan”, ketika kisah-kisah fiksi secara klise mengisahkan
seorang anak yatim-piatu, mendambakan memiliki orangtua, dan mendapati
orangtuanya telah ternyata dibunuh oleh konspirasi kejahatan sewaktu sang anak
masih sangat kecil.
Lantas, sang anak bertekad
membalas dendam, demi membalas dendam orangtuanya, sekaligus sebagai tanda
bakti. Namun, jika saja skenario-nya tidak seperti itu, dalam artian
orangtuanya masih hidup, bisa jadi dan tidak tertutup kemungkinan, sang anak
merasa tidak tahan atas perilaku buruk orangtuanya, lalu memutuskan untuk pergi
melarikan diri atau bahkan berperang melawan “diktatoriat arogansi” orangtua
kandungnya sendiri. Mereka, anak-anak yang berstatus yatim piatu sejak
kelahirannya, hanya berdelusi bahwa orangtuanya adalah sosok yang manis, hangat,
kebapakan, keibuan, penuh welas asih, dan bijaksana, sehingga sang anak patut
merasa “kehilangan” ataupun “menyangkan”—akan tetapi, semua itu hanyalah
spekulasi “impian”.
Seakan belum cukup menyudutkan,
dogma-dogma keagamaan turut membuat posisi seorang anak kian tidak
menguntungkan menghadapi dominasi orangtua. Bila Anda tidak bergidik membaca
ayat-ayat “pesugihan” berikut, berarti Anda adalah tergolong sebagai orangtua
yang “psikopat”. Kita buka dengan mengutip teladan bagi para umat Nasrani
sebagaimana versi Alkitab. Kisah pengorbanan Ishak atas perintah Allah kepada
Abraham (Ibrahim) tercatat dengan eksplisit dalam Kitab Kejadian, (Alkitab)
22:1-3. [PERINGATAN / WARNING : DON’T TRY THIS AT HOME!]
(1) Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya:
“Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.”
(2) Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi,
yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban
bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”
(3) Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana
keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia
membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke
tempat yang dikatakan Allah kepadanya. [NOTE : Menurut ilmu hukum, sudah terjadi delik
“percobaan pembunuhan”, karena melakukan persiapan yang juga merupakan delik
“pembunuhan berencana”.]
Atas dasar ayat inilah umat
Kristen meyakini bahwa anak yang akan dikurbankan oleh Abraham adalah Ishak dan
bukan Ismail sebagaimana kepercayaan Umat Islam di seluruh dunia, juga
di-“halal”-kan untuk dilakukan oleh para Nasrani kepada anak-anak kandung
mereka sendiri, alih-alih di-tabu-kan. Dalam kitab Kejadian 22:2 di atas, Allah
memerintahkan kepada Abraham mengambil anak tunggalnya, Ishak, untuk
dipersembahkan. Demi apa? Demi memuaskan EGO diri Abraham sendiri guna
mendapatkan surga lengkap dengan jajaran bidadarinya yang menggoda dan siap
memberikan “service” pemuas dahaga birahi
seorang pria “hidung belang”.
Pertanyaan nurani dan “akal
sehat”-nya bukanlah, apakah Ishak ataukah Ismail yang hendak coba dikorbankan
oleh Abraham, namun apakah praktik SETAN (kesetanan) demikian berbeda dengan
praktik perdukukan klenik “black magic”
seperti pesugihan yang mengorbankan anak kandung kesayangan para pelaku praktik
pesugihan? Semua dukun “black magic”,
ketika ditanya dari mana sumber kekuatan mistis pendukukannya, dijawab oleh
semua dukun manapun sebagai, “Dari Allah.”—Anda
lihat, semua dukun jahat sekalipun, mengaku-ngaku kekuatannya bersumber dari
Tuhan. Itulah ciri khas pola tingkah-laku setan, si “Maha Penyesat” yang haus
darah, suka menyaru sebagai Tuhan.
Kini kita membandingkan versi
dalam AL-QURAN, yang (justru) juga mempromosikan dan mengkampanyekan praktik
EGOSENTRIS dengan merampas hak hidup anak sendiri maupun orang lain demi
memakan iming-iming “masuk surga”, iman membuta mengangkangi akal sehat otak
(otak mana untuk berpikir sendiri merupakan pemberian dan anugerah terbesar
Tuhan, justru digadaikan), tidak mengkritisi dengan nurani apakah itu “bisikan
SETAN” ataukah “bisikan Tuhan”, dan tidak juga memilih untuk menyembelih
leher sendiri alih-alih menyembelih leher orang yang “terkasih” ataupun orang
lain—semata demi EGO pribadi untuk disebut “beriman”, untuk disebut sebagai
“nabi”, untuk disebut sebagai “calon penghuni surga”, “soleh”, “patuh”,
mendapat hadiah puluhan bidadari berdada “montok”, dsb.
Peristiwa pengurbanan ini
diceritakan juga dalam Al-Quran dalam versi yang sangat singkat, dan tanpa
menyebut secara jelas nama anak yang akan dikurbankan oleh Ibrahim. Mari kita
simak ayat-ayat Al-Quran yang bercerita tentang kisah perintah Allah kepada
Ibrahim versi Al-Quran sebagai berikut dalam Surah Ash Shaffat ayat 100 - 111.
[PERINGATAN / WARNING : PLEASE DON’T TRY THIS TO YOUR CHILDREN!]
(100) “Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.
(101) Maka Kami beri dia kabar
gembira dengan seorang anak yang amat sabar. [NOTE : Namun menjadi kabar buruk bagi sang anak
yang memiliki ayah kandung yang EGOISTIK dan NARSISTIK!]
(102) Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
sabar”. [NOTE
: Sang anak “durhaka” ini telah mencelakai ayah kandungnya sendiri dengan
membiarkan tangan sang ayah banjir darah karena menumpahkan darah anak
kandungnya sendiri. Sang anak pun tidak menghargai hidup pemberian Tuhan.
Penjahat yang paling beruntung ialah penjahat yang selalu gagal melancarkan
niat jahatnya, sementara itu penjahat yang paling malang ialah penjahat yang
selalu lancar ketika hendak mewujudkan niat jahatnya.]
(103) Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah
kesabaran keduanya).
(104) Dan Kami panggillah dia:
“Hai Ibrahim,
(105) susungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang berbuat baik. [NOTE : Sang setan menang, dua orang dungu
membenarkan bisikan sang setan.]
(106) Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. [NOTE : Pertanyaannya, Tuhan Maha Tahu, mustahil
masih perlu menguji umat manusia. Hanya setan, yang merasa perlu menguji
kedunguan umat manusia.]
(107) Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar.
(108) Kami abadikan Ibrahim itu
(pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang yang datang kemudian.
(109) (yaitu) “Kesejahteraan
dilimpahkan atas Ibrahim”. [NOTE : Anda lihat, yang punya niat buruk dan jahat untuk membunuh orang
lain, justru diberikan “reward”
alih-alih diberi “punishment”. Jika
yang berlaku ialah hukum pidana, jelas bahwa sang ayah terkena delik pasal
“percobaan pembunuhan berencana”, alias kriminal, penjahat.]
(111) Sesungguhnya ia termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman.
Sebaliknya, bertolak-belakang
secara kontras dengan kisah atau ajaran di atas, Buddhisme mengajarkan
cinta-kasih sejati yang tidak melekat juga tidak berupaya untuk menguasai
individu lainnya, namun melepaskan ego, yakni dengan cara melepaskan
orang-orang yang kita kasihi dari jeratan derita apapun—jika perlu mengorbankan
hidup kita demi keselamatan dan kebahagiaan hidup anak-anak yang kita kasihi
dan cintai. Mengorbankan hidup anak dengan mengatasnamakan agama, itulah ibadah
yang “penuh pertumpahan darah”, dimana para umatnya menjadi “haus darah”, SESAT
dan MENYESATKAN serta melanggar hak asasi anak!
Umat muslim, sekalipun telah
diberitakan oleh kalangan medik, bahaya dibalik “daging merah” seperti daging
sapi, daging kamping, dsb, tetap saja menyembelih hewan-hewan ternak besar
tersebut setiap tahunnya, dengan alasan demi memuaskan euforia ritual
keagamaan. Sekalipun, kalangan dokter lebih menyarangkan konsumsi tangkapan
laut seperti ikan, maupun unggas seperti ayam atau telur ayam untuk memenuhi
kebutuhan asupan nutrisi dan gizi hewani, tetap saja umat muslim menyembelih hewan-hewan
besar seperti sapi, kamping, dsb. Mengapa?
Lewat pengeras suara speaker
toa eksternal masjid, seorang ustad yang berceramah berkata sebagai berikut : “Karena bila ikan hendak dikurbankan, tidak berdarah-darah
saat disembelih, karenanya tetap dipilih hewan kurban seperti sapi dan kambing
yang banyak darahnya untuk ditumpahkan saat disembelih!” Sungguh
mengajarkan dan mempertontonkan jiwa “haus darah” kepada diri sendiri maupun sebagai
teladan kepada anak-anak yang banyak belajar dari cara meniru dan melihat,
seolah “menumpahkan darah” makhluk lainnya dan memperlihatkannya kepada anak untuk
ditiru adalah hal yang suci, agung, dan mulia, alih-alih disebut sebagai “hewanis”,
“barbariknis”, “premanis”, dan “predatoris”.
Untuk menjadi manusia yang “humanis”,
dimulai dari menjadi orangtua yang tidak sewenang-wenang terhadap anak-anaknya.
Mulai gerakan “children friendly” dari
rumah kediaman keluarga kita sendiri, barulah kita hendak menceramahi orang lain
perihal hidup yang sukses membangun keluarga yang harmonis, sehat, serta positif.
Selama anak tidak merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, maka yang paling
bertanggung-jawab dan yang bersalah karena gagal berempati dan memastikan
kebahagiaan hidup anak-anaknya tidak lain ialah kalangan orangtua itu sendiri.
Bukan pada proporsinya,
orangtua menuntut dibahagiakan oleh anak, namun adalah hak seorang anak untuk
diberikan dan diperkenalkan kebahagiaan oleh orangtua yang telah membawa sang
anak hidup ke dunia ini—atau setidaknya, menghormati dan menghargai kebahagiaan
hidup sang anak tanpa secara “dangkal” merasaa iri hati dan dengki penuh
kecemburuan terhadap kebahagiaan yang dengan susah-payah dibangun dan
diperjuangkan sendiri oleh sang anak lewat “suka dan duka seorang diri”.