Penyebab PT. POS Indonesia menjadi Duri dalam Daging bagi Rakyat Indonesia
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Question: Sejak era maraknya jual-beli “online” (daring)
via marketplace, dimana pembeli cukup
berada di rumah dan paket berisi barang belanjaan dikirim oleh kurir sampai ke
rumah pembeli, menjadi titik dimulainya fenomena tumbuh subur berbagai pilihan perusahaan
ekspedisi yang bertumbuhan, sehingga kini tersedia beragam pilihan kurir
ataupun jasa ekspedisi, bahkan dengan ongkos kirim yang kian terjangkau (karena
kompetitif) dan semakin memanjakan masyarakat selaku pembeli. Ada pilihan bebas
bagi konsumen untuk memilih kurir sesuai minat, sehingga masyarakat kita dewasa
ini kian gemar membeli barang secara “online”.
Pertanyaannya, dimana rasanya tidak masuk akal, mengapa PT. POS Indonesia tidak menjadi pilihan warga sebagai perusahaan kurir dalam mengirim paket ataupun dokumen surat serta turut menikmati “kue” peningkatan serta pertumbuhan pemakaian jasa kurir dan pengiriman barang di Indonesia yang konon tertinggi konsumen pemakai jasa pembelian “online”? Apa yang sebetulnya melatar-belakangi fenomena “lain sendiri” ini, sehingga PT. POS Indonesia selalu tertinggal di belakang sebagai “pemain” dalam industri ekspedisi, bahkan lebih banyak menjadi “penonton”, sementara itu perusahaan ekspedisi swasta serupa kian menjamur kantor cabangnya ataupun merek-nya?
Brief Answer: Justru karena selama ini PT. POS Indonesia dianak-emaskan
pemerintah, sehingga tidak tumbuh budaya meritokrasi di dalam tubuh perusahaan
yang bergerak dibidang ekspedisi pengiriman paket maupun surat tersebut. Kini
dan sejauh ini, bahkan untuk tempo waktu yang masih panjang di masa depan, mayoritas
pengguna jasa / pelanggan PT. POS Indonesia ialah produk / jasa yang
dimonopolistik oleh perusahaan tersebut, dimana pendapatan atau laba usaha PT.
POS Indonesia ialah didominasi dari layanan jasa monopolistik yang hanya dikuasai
oleh PT. POS Indonesia.
Setidaknya terdapat dua alasan paling krusial
yang menjadi alasan mengapa PT. POS Indonesia selaku badan usaha milik
pemerintah pusat, menjadi “duri dalam daging” bagi pemerintah itu sendiri maupun
bagi masyarakat luas. Pertama, “zona nyaman” para pegawai maupun pengurusnya.
Kedua, kekecewaan banyak anggota masyarakat oleh layanan PT. POS Indonesia,
lalu melakukan “pembalasan dendam” dengan tidak memakai jasa PT. POS Indonesia,
atau menjadikan PT. POS Indonesia sebagai opsi yang paling akhir untuk dipilih
dari sekian banyak opsi kurir lainnya.
PEMBAHASAN:
Bila kita pernah membandingkan kondisi
aktivitas kantor pusat PT. POS Indonesia dan kantor pusat perusahaan ekspedisi lainnya,
perbedaannya sangat kontras dari segi kesibukan pegawainya dan arus paket yang
keluar-masuk. Kini kita bahas alasan pertama, perihal “zona nyaman” atau “zona
aman” para pegawai maupun pejabat tinggi (top
management) di PT. POS Indonesia. Adapun mental ataupun kultur yang sangat
kental dapat kita lihat dan alami sendiri selaku warga masyarakat pengguna jasa
dalam setiap aspek pelayanan di loket-loket kantor PT. POS Indonesia ialah, bahasa
klise yang klasik berikut, mental atau “mindset”
mana juga menjadi “penyakit” pada berbagai lembaga ataupun instansi pemerintahan
lainnya yang memonopoli pelayanan publik tertentu:
“Seburuk apapun pelayanan kami di kantor kami, sebanyak
apapun kompetitor kami di luar sana, serugi apapun perusahaan kami, setidak-suka
seperti apapun para pengguna jasa kami, perusahaan kami, PT. POS Indonesia,
tidak akan pernah ditutup oleh pemerintah, dimana kami akan tetap eksis,
dipekerjakan, dan digaji karena diberikan hak monopoli berbagai hal, sehingga
suka maupun tidak suka, mau tidak mau, masyarakat tetap bergantung pada layanan
jasa kami!”
Semata akibat “dinina-bobokan”
oleh pemerintah pusat, PT. POS Indonesia alhasil tidak memiliki budaya
meritokrasi dalam pelayanannya, tiada semangat untuk maju, terlebih berinovasi,
meningkatkan pelayanan berbasis kepuasan pengguna jasa, terlebih peka terhadap “sense of crisis” (sebuah rasa
kemendesakan untuk bisa “survive”), bahkan
cenderung “sok jual mahal” ketika melayani, meski bila pemerintah mencabut hak
monopolistik PT. POS Indonesia, dapat dipastikan PT. POS Indonesia akan “gulung-tikar”
karena tiada masyarakat yang berminat menggunakan jasa PT. POS Indonesia.
Sehingga praktis PT. POS Indonesia
hanya memboroskan sumber daya keuangan negara dimana harus ditanggung oleh para
wajib pajak pada gilirannya. Kini, berbagai perusahaan ekspedisi dan kurir
swasta telah menjamur bahkan ke setiap pelosok desa maupun kota, berbanding
terbalik dengan kondisi berbagai kantor cabang PT. POS Indonesia pada beberapa
dekade lampau, sehingga eksistensi PT. POS Indonesia sejatinya sudah tidak lagi
dibutuhkan oleh rakyat di Indonesia sebagaimana kondisi masa lampau dimana masyarakat
di daerah amat bergantung pada PT. POS Indonesia yang jaringan kantornya paling
meluas.
Praktis, berdasarkan pengamatan
langsung maupun dari pengalaman pribadi penulis, jasa yang masih dibutuhkan
oleh masyarakat dari PT. POS Indonesia ialah jasa-jasa yang bersifat
monopolistik oleh PT. POS Indonesia, seperti penjualan materai, “pemateraian
kemudian”, leges, dan pengambilan paket ataupun pengiriman paket lintas negara—selebihnya,
PT. POS Indonesia tidak diminati oleh masyarakat, dimana masyarakat lebih
memilih menggunakan jasa perusahaan ekspedisi ataupun kurir swasta yang benar-benar
mengedepankan pelayanan, kepuasan pelanggan, serta inovasi layanan.
Mental “birokratik” ketimbang
jiwa pelayanan publik, namun tidak rasional, mengingat untuk bidang usaha
pengiriman paket / dokumen saat kini masyarakat dapat memilih opsi perusahaan
logistik maupun ekspedisi kurir swasta yang saat kini banyak tersedia dan kian
beragam. Singkat kata, PT. POS Indonesia bersikap “jual mahal” dengan
menutup mata dari apa yang disebut sebagai “users
/ customers experience” terkait pelayanan maupun jasa yang ditawarkan oleh PT.
POS Indonesia—suatu sikap yang sangat fatal karena meremehkan ataupun
menyepelekan perspektif ataupun tingkat kepuasan maupun level kekecewaan masyarakat
pengguna jasa begitu sensitif serta bernilai di mata perusahaan ekspedisi
swasta, namun dipandang sebelah mata oleh PT. POS Indonesia semata akibat
terjebak dalam mentalitas “comfort zone”.
Ditengah era persaingan usaha
dibidang kurir dan ekspedisi, ditengah berbagai inovasi perusahaan swasta dibidang
yang sama, namun PT. POS Indonesia masih bersikap konservatif ber-euforia yang
sudah tidak sesuai lagi dengan konteks zaman, karena era keemasan PT. POS Indonesia
sudah berlalu dimana kini pilihan alternatif kompetitor dapat dipilih secara
meluas oleh masyarakat pengguna jasa kurir dan ekspedisi. Bila dapat kita
katakan, PT. POS Indonesia telah demikian “outdated”,
alias ketinggalan zaman, dimana juga para investor perorangan lebih berminat
bekerjasama dengan kalangan perusahaan kurir dan ekspedisi swasta dengan membuka
kantor cabang waralaba perusahaan tersebut, ketimbang bekerjasama membuka
kantor cabang PT. POS Indonesia (ada, namun kemudian “gulung tikar” karena sepi
oleh peminat pengguna jasa).
Alasan kedua, yang menurut
hemat penulis bersifat amat sangat fatal, ialah “pembalasan dendam” oleh masyarakat
yang pernah mencicipi arogansi “permainan harga” dalam layanan monopolistik PT.
POS Indonesia. Pengalaman nyata berikut penulis alami sendiri secara langsung,
yang membuat penulis merasa jera dan bertekad sebisa mungkin tidak akan pernah lagi
menggunakan jasa pengiriman paket ataupun surat-menyurat lewat PT. POS Indonesia.
Beberapa tahun lampau, keluarga penulis dari luar negeri mengirimkan paket dari
luar negeri ke alamat domisili keluarga penulis di Indonesia.
Paket yang ditunggu-tunggu begitu
lama tiba, meski hanya paket berisi dokumen yang tidak sampai satu kilogram
beratnya, namun baru tiba di kediaman keluarga penulis lebih dari satu bulan
kemudian, sekalipun sudah sejak lama ditunggu-tunggu karena kebutuhan mendesak yang
segera (sensitif waktu, namun PT. POS Indonesia meremehkan kebutuhan aspek
waktu masyarakat pengguna jasa). Yang paling membuat penulis tidak dapat mentolerir
sikap PT. POS Indonesia ialah, disamping sikap monopolistik PT. POS Indonesia terhadap
paket yang dikirimkan lintas-negara (masyarakat tidak dapat memilih perusahaan
kurir lainnya saat paket tiba di pihak “custom”
(kantor bea dan cukai bandara maupun pelabuhan), ketika tiba, sang kurir
berseragam warna oranye dari PT. POS Indonesia menyodorkan menagih sejumlah
ongkos kirim yang kelewat tidak masuk akal disertai kwitansi ongkos kirim berupa
tulisan tangan!—sulit dipercaya,
namun itulah faktanya, blangko kritansi yang tidak bonafid dan tidak
profesional, berupa fotokopian kertas kecil dengan nominal tarif ongkos kirim
yang DITULIS TANGAN, nominal ongkos mana bisa jadi ditulis sendiri oleh pihak “oknum”
pada PT. POS Indonesia.
Bandara internasional Soekarno
Hatta tidak jauh dari kediaman penulis, dan kantor pos milik PT. POS Indonesia yang
menerima paket kiriman dari luar negeri berdasarkan informasi pelacakan paket
yang keluarga penulis mintakan, ialah telah lama “dikandangkan” pada kantor cabang
pos PT. POS Indonesia yang masih dalam satu wilayah administrasi (dimana
bermotor tidak akan sampai setengah jam untuk tiba dari kediaman penulis),
sehingga semestinya ongkos kirim wajarnya ialah tidak jauh dari ongkos kirim
perusahaan ekspedisi swasta lainnya untuk dalam kota yan sama, dimana telah
ternyata PT. POS Indonesia bersikap “aji mumpung” dengan menagih sekitar hampir
empat kali lipat tarif ongkos kirim lazimnya perusahaan ekspedisi lainnya.
Sejak saat itulah, terbit antipati
(ill feel) dalam diri dan benak penulis
terhadap citra PT. POS Indonesia, yang telah ternyata dicoreng oleh aksi
korporasi yang tidak sehat oleh pihak PT. POS Indonesia itu sendiri—penulis
merasa “diperas”, tidak berdaya selain harus menuruti kemauan sang kurir dari PT.
POS Indonesia serta membayar ongkos kirim kelewat tidak wajar demikian oleh
kurir PT. POS Indonesia. Bila tidak bayar, Anda tahu sendiri akibatnya, paket berharga
yang Anda butuhkan dikirim jauh-jauh dari luar negeri ini tidak akan kami
berikan, itulah bahasa non-verbal yang disampaikan oleh sang kurir dari PT. POS
Indonesia yang menyandera paket milik keluarga penulis meski kami tidak pernah
memilih PT. POS Indonesia sebagai perusahaan ekspedisinya.
Aksi korporasi yang “aji
mumpung”, jauh dari etika berbisnis, dimana kemudian konsumen menunjukkan
supremasinya dengan tidak memilih PT. POS Indonesia dalam setiap kebutuhan pengiriman
paket maupun dokumen. Cobalah tanyakan kepada diri para pembaca, ketika memesan atau membeli
barang di marketplace, dari sekian
banyak opsi kurir yang dapat dipilih, pernahkah Anda berminat memilih
mengirimkan paket berisi barang belanjaan via PT. POS Indonesia? Bahkan pihak “seller” di marketplace pun amat sangat jarang menyediakan opsi tersebut,
sementara itu opsi kurir-kurir lainnya berjejeran ditawarkan kepada pelanggan
dan konsumen mereka. Mengapa demikian?
Karena penulis yakin, bukan hanya
penulis seorang diri yang pernah dikorbankan dan menjadi “korban perasaan”
praktik korporasi dan cara berbisnis yang tidak etis serta tidak sehat oleh PT.
POS Indonesia, sehingga lahir kesadaran kolektif publik, bahwasannya PT. POS
Indonesia “jauh dari hati” dan bukanlah “teman”. Kita memang tidak perlu
bersikap seolah-olah tiada perusahaan ekspedisi dan kurir lain selain PT. POS Indonesia,
meski yang menjadi “duri dalam daging” ialah praktik monopolistik PT. POS Indonesia
atas beberapa kebutuhan tertentu yang ditutup peluangnya oleh pemerintah pusat
untuk dapat masuk pihak kompetitor (entry
barrier)—sejatinya, pihak pemerintah itu sendiri yang menjadi “pelakor”
aksi persaingan usaha tidak sehat, dengan kedok badan usaha milik pemerintah
ataupun milik daerah.
Bila kelak kita selaku anggota masyarakat
kembali terjebak oleh pelayanan monopolistik penerimaan paket lintas-negara
oleh pihak kurir dari PT. POS Indonesia, maka inilah yang perlu kita utarakan,
agar tidak menjadi korban “mangsa empuk” praktik bisnis tidak sehat PT. POS Indonesia
yang eskploitatif dan tidak etis terhadap rakyat: [NOTE : Bila PT. POS Indonesia
berdalih itu adalah ulah “oknum”, maka itu artinya sistem SOP PT. POS Indonesia
patut kita ragukan]
“Berapa kamu minta dan menagih
ongkos kirimnya? JIka kami selaku rakyat bisa memilih kurirnya, tidak akan akan
kami memilih PT. POS Indonesia, perusahaan ekspedisi lainnya saja tidak sampai
separuh ongkos kirim yang kamu tagih!
“Coba mana, saya mau lihat dulu
kwitansi tanda terima ongkos kirimnya? Ini apaan, ini sih potongan kertas fotokopian
yang semua orang bisa buat, tidak ada detail paket untuk siapa, berapa beratnya,
nominal ongkos kirimnya bahkan DITULIS TANGAN, bisa jadi kamu sendiri yang
menulisnya!
“Saya minta kuitansi RESMI,
bukan tulisan tangan seperti ini! Pak, saya ingatkan ya, saya tidak suka dan
tidak rela diperas seperti ini, tidak boleh “AJI MUMPUNG” memeras orang lain.
“Saya terpaksa bayar ongkos
yang kami tagih, meski tidak rela. Jika ternyata ada manipulasi ongkos kirim
yang kamu atau PT. POS Indonesia tagihkan kepada masyarakat, saya biarkan HUKUM
KARMA yang akan membalasnya.”—dan hukum sosial saat kini penulis berlakukan dengan
sebisa mungkin tidak pernah lagi menggunakan layanan PT. POS Indonesia,
penghukuman secara kolektif sehingga kini PT. POS Indonesia selalu tertinggal
di belakang, selangkah selalu lebih mundur dari para kompetitornya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.