Beribadah Semestinya Melihat ke Dalam Diri, Bukan Justru Lebih Sibuk Menghakimi Kaum Lainnya
Pendosa adalah Busuk, Kotor, Tercela, dan Ternoda,
namun Memandang Dirinya sebagai Umat dari “Agama SUCI”? Jika yang Sekotor itu Disebut
sebagai Umat dari ”Agama SUCI”, Lantas yang Disebut sebagai “Agama DOSA”
seperti apakah?
Yang Kotor dan Tercela Penuh Noda Dosa hendak Bersatu
dengan Tuhan? Bagai Minyak hendak Bersatu dengan Air, Api hendak Bersatu dengan
Es, Niscaya ataukah Mustahil?
Question: Umat dari agama apakah, yang paling berbagia di Muka Bumi ini?
Brief Answer: Umat yang paling bahagia dalam kehidupannya
ialah umat-umat yang tidak harus menggadaikan otak maupun jiwa dan nuraninya
demi beribadah, umat yang beribadah tanpa mengusik ataupun merugikan pihak
manapun, umat yang tidak diperintahkan untuk menumpahkan darah kaum yang
berbeda, umat yang tidak menciumi batu berhala, umat yang dijejali ideologi
penuh kebencian serta permusuhan, umat yang dibentuk menjadi intoleran (dari
sebelumnya toleran), umat “Agama SUCI” bukan umat “Agama DOSA” (hanya pendosa
yang butuh pengampunan / penghapusan / penebusan dosa), umat yang diajarkan
untuk dapat menjadi arsitek atas kehidupan dan nasibnya sendiri (dengan hukum
tabur-tuai), umat yang diajak untuk bertanggung-jawab atas kehidupannya sendiri
dan berjiwa ksatria (alih-alih memohon penghapusan / pengampunan / penebusan
dosa), serta umat yang dapat berjuang atas usahanya sendiri untuk terbebas dari
samsara (alih-alih menjadi budak sembah-sujud dari makhluk adikodrati bagaikan
relasi antara raja yang tiran pamer kekuasaan dan para hambanya).
PEMBAHASAN:
Tiada yang lebih menderita, daripada
umat akibat memiliki dosa-dosa “segunung”, memaksakan diri memeluk “Agama
DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”—semata karena
mempromosikan penghapusan / pengampunan dosa alih-alih mengkampanyekan
kehidupan suci penuh pengawasan diri ataupun kehidupan yang penuh tanggung-jawab—yang
hidupnya bergantung pada dosa-dosa, seolah-olah tidak dapat melangsungkan
kehidupannya tanpa mencetak dosa, berkubang dalam dosa, maupun menimbun diri dengan
dosa-dosa, dengan harga yang harus mereka para pendosa tersebut bayarkan ialah:
- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar
mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Bukhari, No. 680]
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘
Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta
kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi
dengan PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Sebaliknya, adalah sungguh
berbahagia menjadi umat dari “Agama SUCI” yang berumber dari “Kitab SUCI”, yang
jauh dari iming-iming korup semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan
dosa”, penuh kendali diri dan mawas diri, penuh martabat atas jiwa dan hidupnya
sendiri—atau setidaknya menjadi seorang ksatria penganut “Agama KSATRIA” yang
sekalipun telah pernah atau masih dapat berbuat keliru, namun memilih untuk
bertanggung-jawab dan penuh tanggung-jawab alih-alih lari dari tanggung jawab
ataupun “tabrak lari”, dimana para suciwan ataupun para ksatria tidak
diperintahkan untuk melakukan hal-hal yang tercela maupun jahat yang
bertentangan dengan hati nurani, akan tetapi hidup dalam kedamaian terhadap
dirinya sendiri:
Aku tidak mengajar untuk
menjadikanmu sebagai murid-Ku.
Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku.
Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan
gurumu yang lama.
Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu,
karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan.
Cobalah apa yang telah Kutemukan ini,
dan nilailah oleh dirimu sendiri.
Jika itu baik bagimu, terimalah.
Jika tidak, janganlah engkau terima.
[Digha Nikaya 25; Patika Vagga;
Udumbarika-Sihanada Sutta]
Faktanya, tidak semua orang
sanggup untuk tidak berbuat kejahatan, terlebih untuk rajin menanam perbuatan
bajik, terlebih-lebih memurnikan hati dan pikiran. Lebih banyak umat manusia
yang lebih memilih untuk tetap dengan perilaku jahatnya “as usual”, namun mengharap penghapusan / pengampunan / penebusan dosa.
Berdaya, bukan tanpa daya, bergantung serta menjadi tuan serta arsitek atas
hidup kita sendiri serta bertanggung-jawab sepenuhnya atas suka maupun duka
hidupnya sendiri, itulah berkah paling utama dari umat yang belajar perihal Hukum
Karma dan Kelahiran Kembali.
Lebih banyak umat manusia yang
dengan sifat pemalasnya lebih memilih menyembah dan melantunkan puja-puji
ketimbang merepotkan diri menanam perbuatan baik. Bahkan, berdelusi bahwa
manusia yang tercela dan penuh kekotoran batin dapat bersatu dengan Tuhan yang murni
di alam surgawi. Mereka, patut disebut sebagai para pecundang dunia, para
pengecut dan para pemalas kehidupan. Untuk memuliakan Tuhan, bukanlah dengan
menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun dengan menjadi manusia
yang mulia. Semua orang senyatanya sanggup menjadi “pendosa penjilat penuh dosa”,
namun tidak semua orang yang “agamais” tersebut sanggup hidup penuh
tanggung-jawab ataupun penuh pengawasan terhadap dirinya sendiri layaknya cara
hidup para ksatria maupun para suciwan.
~ Ovada Patimokkha ~
Sabbapāpassa akaraṇaṃ
Kusalassa upasampadā
Sacittapariyodapanaṃ
Etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Khantī paramaṃ tapo titikkhā
Nibbāṇaṃ paramaṃ vadanti buddhā
Na hi pabbajito parūpaghātī
Samaṇo hoti paraṃ viheṭhayanto.
Anūpavādo anūpaghāto, pātimokkhe
ca saṃvaro
Mattaññutā ca bhattasmiṃ, pantañca sayanāsanaṃ
Adhicitte ca āyogo, etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.
Kesabaran adalah praktek
bertapa yang paling tinggi.
“Nibbana adalah tertinggi”,
begitulah sabda Para Buddha.
Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).
Tidak menghina, tidak
menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal
makan, berdiam di tempat yang sunyi
serta giat mengembangkan
batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.
[Sumber: Dhammapada
183-184-185, Syair Gatha.]