KONSISTENSI artinya, Sebagaimana Apa yang Dikatakan maka Demikianlah yang Dilakukan; Sebagaimana yang Dilakukan maka Demikianlah Dikatakan. Melakukan Apa yang Dikatakan dan Mengatakan Apa yang Benar-Benar Dilakukan—Tiada yang Lebih Indah dari Komitmen Tanpa Cela antara Perbuatan dan Ucapan
Question: Bagaimana cara menilai suatu ideologi berbau keagamaan, apakah agama tersebut memang benar lurus, suci, dan mulia, ataukah seperti tingkah kelakuan para penipu, di mulut dan di wajah tampak baik dan mulia namun kotor dan busuk di hati ataupun didalamnya? Jangan-jangan iblis berwajah dan berbulu malaikat, sangat mengecoh dan menjebak, sungguh berbahaya.
Brief Answer: Yang pertama-tama perlu ditelaah ialah KONSISTENSI
antar dogma, antar ayat, antar sikap, maupun antar dalil dalam Kitab suatu
agama yang kita kaji, apakah memang konsisten ataukah kita justru menemukan
fakta sebaliknya, ditemukan berbagai inkonsistensi? Ketika antara ucapan dan
perbuatan, tidak saling sinkron alias tidak saling seiring-sejalan antara
keduanya, maka itulah yang disebut sebagai tidak konsisten.
Melakukan apa yang diajarkan, dan mengajarkan apa
yang betul-betul dilakukan oleh seorang pengajar, merupakan indikator paling
konkret perihal integritas diri sang subjek. Pada prinsipnya, semua orang
sanggup dan mampu dengan mudahnya sesumbar (banyak bicara namun minim teladan
nyata) perihal hidup baik, suci, penyabar, penuh pengendalian diri, bertanggung
jawab, bekerja keras, jujur, dapat diandalkan, dan lain sebagainya. Namun tidak
semua dari mereka sanggup dan mampu, terlebih memiliki komitmen konkret untuk
memberi teladan positif dan unggul sebagaimana yang selama ini mereka ucapkan
untuk dipraktikkan secara nyata olehnya sendiri, tidak berkamuflase dan kerap
berubah “warna” selayaknya seekor bunglon.
Sebagai ilustrasi, bisakah atau adakah diantara
para pembaca yang dapat menyebutkan setidaknya satu contoh saja, ajaran yang
buruk ataupun teladan yang tercela dari khotbah-khotbah dalam Tipitaka maupun
kehidupan dari Sang Buddha? Tantangan demikian sudah sejak lama penulis
umumkan secara terbuka, namun tiada satu kalangan mana pun yang sanggup
menerima tantangan dimaksud, mengapa? Jawabannya ialah semata karena sebagaimana
yang dikatakan oleh Sang Buddha, demikianlah Beliau melakukan;
sebagaimana Beliau melakukan, demikianlah Beliau mengatakannya. Karena Beliau
melakukan apa yang Beliau katakan dan mengatakan apa yang Beliau lakukan.
Karena itulah, salah satu gelar atau julukan dari Sang Buddha ialah
“guru dari para dewa dan para manusia”.
PEMBAHASAN:
“Para bhikkhu, Sang Tathāgata
telah tercerahkan sepenuhnya pada dunia; Sang Tathāgata terlepas dari dunia.
Sang Tathāgata telah tercerahkan sepenuhnya pada asal-mula dunia; Sang
Tathāgata telah meninggalkan asal-mula dunia. Sang Tathāgata telah tercerahkan
sepenuhnya pada lenyapnya dunia; Sang Tathāgata telah merealisasikan lenyapnya
dunia. Sang Tathāgata telah tercerahkan sepenuhnya pada jalan menuju lenyapnya
dunia; Sang Tathāgata telah mengembangkan jalan menuju lenyapnya dunia.
(1) “Para bhikkhu, di dunia ini
bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini bersama
dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, apa pun yang dilihat,
didengar, diindra, dikenali, dicapai, dicari, diperiksa oleh pikiran – Sang
Tathāgata telah tercerahkan pada semuanya; oleh karena itu Beliau disebut Sang
Tathāgata.
(2) “Para bhikkhu, apa pun yang
dibicarakan, diucapkan, atau dibabarkan oleh Sang Tathāgata selama interval
antara malam ketika Beliau tercerahkan pada pencerahan sempurna yang tidak
terlampaui hingga malam ketika Beliau mencapai nibbāna akhir, semuanya adalah
persis seperti itu dan bukan sebaliknya; oleh karena itu Beliau disebut Sang
Tathāgata.
(3) “Para bhikkhu, sebagaimana
yang dikatakan oleh Sang Tathāgata, demikianlah Beliau melakukan; sebagaimana
Beliau melakukan, demikianlah Beliau mengatakannya. Karena Beliau
melakukan apa yang Beliau katakan dan mengatakan apa yang Beliau lakukan,
oleh karena itu Beliau disebut Sang Tathāgata.
(4) “Para bhikkhu, di dunia ini
bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini bersama
dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Sang Tathāgata adalah
Sang Penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, pemegang kekuasaan; oleh
karena itu Beliau disebut Sang Tathāgata.”
Setelah secara langsung
mengetahui dunia – semua di dunia hanyalah demikian – Beliau terpisah dari
seluruh dunia, terlepas dari seluruh dunia. Beliau adalah penakluk segalanya,
Sang Bijaksana yang telah melepas segala ikatan. Beliau telah mencapai
kedamaian tertinggi, nibbāna, yang tidak terjangkau oleh ketakutan.
Beliau adalah Sang Buddha,
noda-nodaNya telah dihancurkan, tidak terganggu, semua keragu-raguan terpotong;
setelah mencapai hancurnya semua kamma, Beliau terbebaskan dalam padamnya
perolehan. Beliau adalah Sang Bhagavā, Sang Buddha, Beliau adalah singa yang
tidak tertandingi; di dunia ini bersama dengan para devanya, Beliau memutar
roda Brahmā.
Demikianlah para deva dan manusia
itu yang telah berlindung pada Sang Buddha berkumpul dan memberi hormat
padaNya, yang agung bebas dari ketiadaan kepercayaan-diri: “Jinak, Beliau
adalah penjinak terbaik; damai, Beliau adalah sang bijaksana di antara para
pembawa kedamaian; bebas, Beliau adalah pemimpin di antara para pembebas;
menyeberang, Beliau adalah penuntun terbaik ke seberang.”
Demikianlah sesungguhnya mereka
memberi hormat kepadaNya, yang agung bebas dari ketiadaan kepercayaan-diri. Di
dunia ini bersama dengan para devanya, tidak ada yang mampu menandingiMu.
Kini, mari kita bandingkan
dengan agama diluar Buddhisme, dimana disebutkan bahwa hukuman syariah bagi
seorang pencuri ialah “potong tangan”. Namun pertanyaannya ialah, mengapa
terhadap nabi para umat muslim, diberlakukan “standar ganda”, dengan tidak
meneriakkan yel-yel “potong tangan” terhadap dosa-dosa sang nabi? Apakah
korban-korban dari sang nabi, yang telah ternyata sang nabi juga merupakan
seorang pendosa selayaknya umat manusia lainnya, layak untuk banyak bersyukur
karena keadilan dirampas dari tangan mereka?
Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang
banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].
Disebutkan bahwa Islam adalah
“Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”. Namun pertanyaannya ialah,
bukankah hanya pendosa yang butuh penghapusan dosa? Bukankah hanya “Agama DOSA”
yang bersumber dari “Kitab DOSA” yang justru mengkampanyekan penghapusan dosa
alih-alih mempromosikan hidup suci bebas dari dosa-dosa? Bukankah “kabar
gembira” bagi kalangan para pendosa, sama artinya merupakan “kabar buruk” bagi
korban-korban para pendosa tersebut?
Mengapa juga Tuhan digambarkan
atau dicitrakan seolah-olah lebih PRO terhadap pendosa yang tercela dan ternoda,
alih-alih lebih menaruh simpatik dan berkeadilan bagi kalangan korban? Islam
mencoba memposisikan dirinya sebagai “polisi moral”, yang artinya merasa berhak
menghakimi orang lain, bahwa berzina harus dihukum rajam, mencuri harus dihukum
potong tangan, namun kita lihat sendiri inkonsistensi berikut ini:
“Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami
Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur
berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka
dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina?
‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
Islam mengklaim sebagai agama
yang anti berhala, mengutuk dan merusak apapun yang mereka nilai sebagai
berhala, sekalipun itu situs budaya bernilai sejarah. Namun, pertanyaannya
ialah, apakah ada agama diluar Islam yang mana umatnya sampai menciumi patung?
Menciumi istri / suami / anak / keluarga, tidak disebut sebagai berhala. Sama
seperti anak-anak menciumi bonekanya. Namun, adakah yang setidak waras menciumi
batu hitam berbentuk kelamin wanita yang mereka sebut sebagai “simbol
kesuburan”? Jika menciumi batu hitam bukan disebut sebagai berhala, lantas yang
disebut sebagai berhala adalah yang seperti apakah?
Umar bin al-Khattab, rekan
Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan
menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah
batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika
saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2,
Buku 26, Nomor 680]
Para muslim di negara-negara
muslim meneriakkan tuntutan kesetaraan serta toleransi di negara-negara
mayoritas nonmuslim, namun mereka menerapkan “standar berganda” dengan
menghalangi-halangi ataupun merintangi bahkan melarang agama-agama non-Islam
untuk tumbuh dan berkembang di negara-negara mayoritas muslim. Sebagaimana
merujuk bukti sejarah, Nusantara disuburkan oleh Buddhisme sejak abad ke-5
Masehi, dan menjadi agama nenek-moyang bangsa ini hingga abad ke-15 Masehi,
dimana kemudian Kerajaan Majapahit yang berhaluan Buddhisme, memberi toleransi
bagi Islam untuk masuk dan berkembang di Nusantara. Kini, setelah Islam menjadi
mayoritas, para muslim justru ingin memberangus toleransi yang dahulu mereka
tuntut dan nikmati.
Janganlah bertanya toleransi
apa yang berhak mereka terima dan dapatkan, namun tanyakanlah “toleransi” alias
perlakuan seperti apa yang selama ini mereka berlakukan terhadap para nonmuslim
di negara-negara mayoritas muslim? Sama seperti ketika para muslim mengklaim
selama ini sebagai pihak yang terzolimi, namun mengapa faktanya ialah
sebaliknya berupa bukti otentik dalam sumber Kitab agama Islam itu sendiri:
“Saya
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK
ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami,
memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka
melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS
HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Disebutkan bahwa Islam hanya
membolehkan para muslim umatnya, untuk menikah dengan maksimum 4 orang istri
dan sebagai agama yang beradab. Namun pertanyaan terbesarnya ialah, mengapa
para muslim boleh memiliki 72 bidadari sebagai istri di kerajaan “Tuhan”-nya
setelah kematian? Mengapa istri sah hanya boleh 4 orang, namun sang muslim
dibolehkan bebas mengoleksi “budak-budak seksuil” yang tidak dibatasi? Bukankah
melestarikan praktik perbudakan adalah tercela disamping biadab?
“Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
(Q.S. an-Nisa` [4]: 3).
Diklaim sebagai agama “cinta
DAMAI”, namun berikut inilah isi perintah-perintah dalam dogma yang dibalut
dengan nama merek “Kitab SUCI”, maka menjadi pertanyaan terbesarnya ialah,
lantas seperti apakah yang disebut sebagai “haus DARAH”, tidak cinta damai, dan
“Kitab DOSA” ala “Agama DOSA”?
- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan)
tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap
mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman;
- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik
dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka
Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu
jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu
(Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah
kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di
tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah
mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [NOTE : Balas
dizolimi dengan pembunuhan, kapan konflik akan berakhir dan apakah
proporsional? Apakah itu bukan merupakan “alasan pembenar” alias alibi atau
justifikasi diri seolah berhak untuk merampas hidup orang lain?]
- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar. [NOTE : Maha Pengasih juga Maha Pengampun. Yang “Maha Pemurka” akan
seperti apa perintahnya?]
- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”.
Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH
KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.
- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. [NOTE:
sekaligus sebagai bukti, selama ini siapa yang menyerang dan siapa yang
terlebih dahulu diserang. Mengaku “dizolimi”, namun mengapa justru mengintai
dan mengepung? Bagaimana mungkin, mengaku diserang, namun yang diserang yang
justru mengintai dan mengepung yang menyerang?]