Nilai dari Cara Seseorang Berpikir, Berbicara, dan Berperilaku
Ada sebagian diantara anggota masyarakat kita—atau mungkin juga sebagian mayoritas dari masyarakat kita—di Indonesia ini bahwa seorang manusia secara ekstrim tidak perlu menerapkan gaya hidup sehat maupun gaya hidup bersih, toh masih bisa hidup. Semisal, mereka memberi contoh, tukang sampah yang setiap harinya mengangkuti sampah dari rumah ke rumah, tanpa sarung tangan, bahkan banyak diantara masyarakat kita yang makan tanpa terlebih dahulu mencuci tangannya baik-baik dengan sabun, bahkan juga berbagai penjual masakan kita tidak mencuci sayur-mayur lalapan yang mengandung pestisida, larva cacing, kotoran binatang liar, dan kimia karsinogenik lainnya dalam proses penanaman, panen, maupun distribusi hingga penyajian, toh mereka semua masih bisa hidup sampai dewasa dan tua pada realitanya. Mereka juga kerap memberi ilustrasi kalangan penghisap bakaran tembakau, masih sehat-sehat saja.
Ya, untuk jangka pendek tampak
tidak menunjukkan dampak negatifnya, namun tidak sehat dan tidak baik ketika
kita mencermatinya dalam lingkup pengamatan secara “jangka panjang”. Sama halnya,
sesama orang jahat tampak akur, rukun, serta harmonis, namun itu hanya pada
permulaannya saja, temporer. Cepat atau lambat, mereka akan saling bertikai dan
saling merusak satu sama lainnya, hanya persoalan waktu saja. Sebagai upaya
penulis menyajikan kontra-narasi terhadap gerakan anti hidup higienis demikian,
kini penulis menawarkan kepada Anda, kepada mereka, maupun kepada seluruh para
pembaca, Anda pilih yang mana? Pilihan ada di tangan Anda, Anda sendiri yang
memilihnya lengkap dengan segala konsekuensi dan bahaya dibaliknya.
Semua kriteria jenis manusia,
memiliki ciri-ciri khas unik tersendiri. Orang dengan tingkat kecerdasan IQ jenius
memiliki ciri-cirinya tersendiri, sebagaimana halnya orang-orang dengan “down sysdrome” memiliki cirinya sendiri,
baik ciri perilaku maupun ciri gaya / cara hidup. Orang suci memiliki ciri-cirinya
tersendiri, sebagaimana orang-orang jahat memiliki cirinya sendiri—bahkan
seorang kriminolog legendaris bernama Lambroso di Italia mampu mengidentifikasi
seorang kriminal dari bentuk tengkorak kepala dan wajahnya yang menurutnya “khas
seorang kriminil”. Orang miskin memiliki cirinya tersendiri, sebagaimana juga
orang kaya memiliki ciri-cirinya sendiri. Orang yang “dangkal” memiliki ciri-cirinya
tersendiri, sebagaimana halnya orang-orang yang “dalam” dan berbobot memiliki
cirinya sendiri. Singkatnya, seperti kata pepatah, tong kosong nyaring
bunyinya, itulah salah satu ciri faktual orang-orang yang “kosong” dan “kopong”
meski rambutnya telah memutih dan tubuhnya telah tinggi besar.
Kini, pertanyaan terkait relevansinya
ialah, betul bahwa orang-orang yang menerapkan gaya hidup jorok, kotor, tidak
higienis, “masak bodoh”, adakah diantara mereka yang tergolong sebagai orang-orang
dengan kriteria “papan atas” atau sukses dari segi ekonomi, sumbangsih, akademik,
status, prestasi olahraga, maupun keilmuan ataupun pencapaian lainnya yang
layak dikenang oleh dunia? Banyak diantara mereka yang justru membebani negara
serta menjadi “sampah masyarakat”. Tidak ada diantara mereka yang berprestasi, itulah
jawaban tegasnya tanpa tedeng aling-aling.
Betul bahwa orang-orang yang
hidup di bantaran sungai maupun kali yang jorok dan kotor, tetap hidup meski
mandi dan minum dari air sungai yang berbau menyengat dan bewarna hitam dimana
ikan pun tidak bisa hidup di sungai tersebut. Namun, hidup seperti apa yang
mereka jalani selama ini? Semua ada ciri-cirinya sendiri, orang-orang dengan
kualitas tertentu, tentunya juga memiliki cirinya tersendiri yang membedakan
mereka dengan kriteria manusia lainnya. Hidup, mereka semua hidup, namun dari
segi level / tingkat, bobot, kualitas hidup, dan kapasitasnya bisa sangat
berdisparitas demikian lebar.
Realita demikian bagaikan “lingkaran
setan”, satu keluarga melahirkan generasi penerus dengan gaya hidup yang sama
serta nasib yang sama seperti generasi tua mereka sebelumnya. Karena itulah,
jika ingin mengubah nasib, ubahlah atau perlu kita mulai mulai dengan mengubah
gaya hidup berupa cara hidup selayaknya orang-orang yang lebih makmur dan
sejahtera hidupnya—dari segi pikiran, ucapan, maupun perilaku. Fakta membuktikan,
generasi muda yang mengikuti gaya hidup orangtuanya yang jorok dan kotor, akan
cenderung mengulangi jalan hidup yang sama seperti orangtuanya, tersungkur dan
menjadi orang “buangan”, masyarakat kelas bawah yang tersisihkan sekalipun
mereka anggota masyarakat di kota metropolitan.
Orang suci mengkampanyekan gaya
hidup suci, orang jahat mengkampanyekan gaya hidup jahat, dimana tentu saja orang-orang
jorok mengkampanyekan gaya hidup tidak higienis dan cukup berbangga diri menjadi
orang jorok dan hidup di “slum”
(selokan dan kubangan parit). Relevan dengan bahasan kita dalam kesempatan ini,
tepat kiranya kita merujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal ciri khas kepribadian suatu
individu, dengan kutipan:
“Para bhikkhu, dengan memiliki
dua kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan
dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para
bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah dua ini? Tanpa
menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. Tanpa
menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.
Dengan memiliki dua kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat
mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela
oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
dua kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya
dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan
oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah dua ini? Setelah
menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.
Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.
Dengan memiliki dua kualitas ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik
mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa
cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.”
~0~
“Para bhikkhu, si dungu
memiliki tiga karakteristik seorang dungu, tanda-tanda seorang dungu,
manifestasi seorang dungu. Apakah tiga ini? Di sini, seorang dungu berpikir
buruk, berbicara buruk, dan bertindak buruk. Jika si dungu tidak berpikir
buruk, tidak berbicara buruk, dan tidak bertindak buruk, bagaimanakah
orang-orang bijaksana dapat mengenalinya: ‘Orang ini adalah seorang dungu,
seorang jahat’? Tetapi karena si dungu berpikir buruk, berbicara buruk, dan bertindak buruk, maka
orang-orang bijaksana mengenalinya: ‘Orang ini adalah seorang dungu, seorang
jahat.’ Ini adalah tiga karakteristik seorang dungu, tanda-tanda seorang
dungu, manifestasi seorang dungu.
“Orang bijaksana memiliki tiga
karakteristik seorang bijaksana, tanda-tanda seorang bijaksana, manifestasi
seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bijaksana berpikir baik,
berbicara baik, dan bertindak baik. Jika orang bijaksana itu tidak berpikir
baik, tidak berbicara baik, dan tidak bertindak baik, bagaimanakah orang-orang
bijaksana dapat mengenalinya: ‘Orang ini adalah seorang bijaksana, seorang
baik’? [103] Tetapi karena orang bijaksana itu berpikir baik, berbicara
baik, dan bertindak baik, maka orang-orang bijaksana mengenalinya: ‘Orang ini
adalah seorang bijaksana, seorang baik.’ Ini adalah tiga karakteristik
seorang bijaksana, tanda-tanda seorang bijaksana, manifestasi seorang bijaksana.
“Oleh karena itu, para bhikkhu,
kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghindari ketiga kualitas
yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang dungu, dan kami
akan menjalankan dan mempraktikkan ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka
seseorang dikenal sebagai seorang bijaksana.’ Demikianlah kalian harus
berlatih.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.