Dosa adalah Nikmat di Mata DOSAWAN, namun adalah Derita di Mata seorang SUCIWAN. Meditatif, Hening, dan Higienis dari Dosa adalah Kebahagiaan di Mata seorang SUCIWAN, namun adalah Derita di Mata para DOSAWAN
Ketika Umat Pemeluk AGAMA DOSA Berdelusi sebagai
Agama yang Paling Superior dan Bangga Mempromosikan Ideologi Korup bernama Iming-Iming
“Penghapusan Dosa”, alih-alih Merasa Malu
Seperti kata anekdot klasik yang ternyata masih relevan hingga saat kini, “don’t judge the book by the cover”, dalam kesempatan ini hendak penulis tambahkan dan lengkapi menjadi “jangan pula menilai sebuah kitab dari nama yang dilekatkan sebagai ‘Kitab SUCI’”, namun lihat dan nilai isi substansinya. Dalam istilah dunia politik dan marketing, upaya manipulatif-pengelabuan demikian diberi istilah sebagai “framing”, alias membingkai dan menghiasinya dengan “make up” pemutih kulit wajah agar tampak menarik dan mengundang minat masyarakat. Jangan menelan secara mentah-mentah nama dari sebuah buku (kitab agama) ataupun nama suatu alam.
Apakah Anda berminat,
dimasukkan ke alam “surga” yang berisi penuh sesak oleh lautan manusia-manusia “pendosa
penjilat penuh dosa” yang masuk membanjiri “surga” semata karena memakan dan
termakan ideologi “cuci dosa” (sins
laundring), serta dipersatukan dengan para pendosa tersebut untuk hidup
berdampingan? Bisa jadi, alam “surga” versi “Agama DOSA” tersebut menyerupai “tong
sampah berisi manusia-manusia sampah”, dimana para pendosa berdesak-desakkan dan
berbondong-bondong memeluk “Agama DOSA” dengan harapan masuk surga (bagi para
pendosa) setelah sedemikian banyaknya—dan masih akan terus “business as usual”—memproduksi dosa,
menimbun diri dengan segunung dosa, berkubang dalam dosa, bersimbah dosa, dan
mengoleksi segudang dosa?
Alam neraka di mata “Agama DOSA”,
merupakan alam surga di mata “Agama SUCI”. Sebaliknya, alam surga di mata “Agama
DOSA”, merupakan alam neraka di mata “Agama SUCI”. Untuk itu, penting untuk
kita pilah satu per satu, dengan rincian sebagai berikut:
1.) Agama SUCI.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana
tidak butuh ideologi korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh
ideologi ataupun iming-iming korup demikian, maka timbul distingsi pembeda
(perbandingan) antara si “suciwan” dan si “pendosa”. Para suciwan memuliakan
Tuhan, dengan cara menjadi manusia yang mulia.
Para suciwan disebut demikian, suci dan suciwan,
semata karena lebih memilih hidup dalam latihan diri yang ketat dalam praktik
kontrol diri dan mawas diri (self-control),
dimana mawas diri dan perhatian terhadap perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri
adalah objek perhatian utamanya, sehingga tiada seorang lainnya pun yang akan
disakiti, dirugikan, terlebih dilukai oleh sang suciwan. Mereka memurnikan serta
memuliakan dirinya dengan usaha diri mereka sendiri, tanpa noda, dan tidak
tersandera, tanpa cela, bebas sempurna, dan tercerahkan—yang dalam bahasa
Buddhistik, “break the chain of kamma”;
2.) Agama KSATRIA.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang ksatria, yang mana
memilih untuk bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya
yang telah pernah ataupun masih dapat menyakiti, melukai, dan merugikan
pihak-pihak lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya—dimana
korban-korbannya tidak perlu bersusah-payah menagih tanggung-jawab, bahkan sang
ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan
ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih
merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya
tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya. Singkat kata, para kaum ksatria
senantiasa “tahu diri”.
Ideologi bertanggung-jawab yang penuh
tanggung-jawab kalangan ksatria, dianggap sebagai ancaman maupun musuh terbesar
di mata kaum dosawan yang membuat para dosawan tersebut tampak sebagai “manusia
sampah” yang selama ini menjadi pecandu tetap iming-iming “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sementara kalangan ksatria justru
mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan berke-jantan-an alih-alih
“cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab. Kalangan korban yang telah
dirugikan / terluka, tidak perlu sibuk menagih tanggung-jawab—terlebih
mengemis-ngemis tanggung-jawab—dari seseorang berjiwa ksatria. Karenanya,
seorang ksatria layak menyandang gelar sebagai seseorang yang “jantan”, alias
jentelmen, bukan “pengecut” yang lari dari tanggung-jawab maupun “cuci dosa” (sins laundring);
3.) Agama DOSA.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa,
dimana para dosawan menjadi umatnya, yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa
semata agar dapat menjadi pecandu yang mencandu ideologi korup penuh kecurangan
bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins)—masuk ke dalam
lingkaran komunitas “pendosa”, memakan dan termakan ideologi korup penuh
kecurangan, terjebak untuk selamanya, “point
of no return”.
Bagaikan raja yang lalim, yang senang ketika
dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu memberikan hadiah, dan akan murka
sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud sebelum kemudian memberikan hukuman,
maka para pendosa yang pandai menyanjung dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh
dosa) akan dimasukkan ke alam surgawi—alam dimana telah sangat tercemari serta
ternodai oleh kekotoran batin para pendosa yang menjadi mayoritas penghuninya
jika tidak dapat disebut sebagai satu-satunya penghuni alam surgawi. Dengan
kata lain, secara tidak langsung, para dosawan mengilustrasikan sosok Tuhan
tidak ubahnya “raja yang lalim”.
Itulah penjelasannya, mengapa berbagai penjara di
Indonesia tidak pernah sepi dari para narapidana penghuninya, bahkan sepanjang
tahun selalu mengalami fenomena klise “overcapacity”
dan “overload” yang konon sepanjang
tahunnya hampir mendekati 200% kapasitas maksimum, sekalipun bangsa kita
dikenal “agamais” (kurang “agamais” apa, warga di negeri ini?), disamping fakta
aktual bahwasannya jauh lebih banyak aduan maupun laporan warga korban pelapor
yang diabaikan dan ditelantarkan oleh aparatur penegak hukum. Alam surgawi,
karenanya, menjadi menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana para pendosa
kembali beraksi tanpa “self-control”
(menyakiti, merugikan, maupun melukai) orang-orang maupun makhluk-makhluk
lainnya.
Terdapat sebuah artikel berisi
ulasan dogma yang “memalukan namun dipandang sebagai membanggakan” berjudul “Belajar
Dari Kedua Penjahat Yang Disalibkan Bersama Yesus” yang ditulis oleh P. Avensius
Rosis, CP. Seketika itu juga yang terbersit di benak penulis ialah : Belajar
dari penjahat? Itu ibarat “orang buta” hendak menuntun “orang-orang buta”
lainnya. Alih-alih belajar dan meneladani orang-orang suci maupun
orang-orang berjiwa ksatria, mereka para “agamais” tersebut, justru belajar dan
meniru serta menjadikan teladan seorang penyamun, penjahat, hewanis, premanis,
maupun para dosawan lainnya—dosa-dosanya menjadi semakin menjadi-jadi, karena
terinspirasi untuk melekat pada “kekotoran batin” yang bersarang kian tebal
dalam diri karena dipelihara sebagai hal yang lumrah dan wajar saja sifatnya—sebagaimana
ulasan dalam artikel tersebut dengan kutipan berikut:
Menurut Lukas dalam bab 23
tampak jelas bahwa salah satu dari penjahat yang disalibkan bersama Yesus
menantang-Nya. ‘Seorang dari penjahat yang digantung itu menghujat Dia, katanya
: “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!”
Tetapi yang seorang menegor
dia, katanya : “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau
menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita
menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak
berbuat sesuatu yang salah.” [NOTE : menurut litelatur, penjahat tersebut
merupakan seorang penyamun. Bagaimana mungkin, seorang penyamun tahu serta
membedakan mana orang yang baik dan mana orang yang bersalah?]
Lalu ia berkata: “Yesus,
ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (Lukas 23: 39-41).
Apa yang Yesus lakukan kemudian
adalah contoh yang indah dari pengertian, penerimaan, cinta dan belaskasihan
yang dibungkus dalam satu tindakan. Ini adalah gambaran kehidupan Yesus,
kekuatan dalam kesulitan. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, hari ini juga
Engkau berada bersama Aku di surga” (Lukas: 23 :43). Kita dapat belajar
dari penjahat ini bahwa tidak ada kata terlambat untuk bertobat dan memohon
kepada Tuhan untuk menerima kita. Yesus membersihkan orang ini dari
dosa-dosanya, menerima dia dengan hati terbuka, dan memulihkannya tanpa syarat.
Dia menganugerahkan kepada orang berdosa itu karunia hidup kekal.
Siapapun mampu semudah berkata
bahwa kita telah bertobat. Namun perihal kemauan untuk bertanggung-jawab,
nihil. Mereka, para pendosa tersebut, terlampau pengecut untuk
bertanggung-jawab. Diklaim penuh “cinta kasih”, namun justru mencintai dan PRO
terhadap penjahat, dan disaat bersamaan membuat “gigit-jari” korban-korban dari
sang penyamun yang dimasukkan ke surga oleh sang “pengobral surga”—bukankah itu
artinya alam surgawi menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana si dosawan
kembali berbuat dosa terhadap para penghuni alam surgawi lainnya, dimana bahkan
bisa jadi sang penjahat untuk kali-keduanya kembali merugikan, menyakiti,
maupun melukai korban-korban yang sama—bahkan memiliki “standar ganda”, yakni
penuh kebengisan dan kekejaman yang lebih otoriter daripada seorang Adolf
Hitler, mengingat umat manusia yang tidak “menggadaikan jiwanya” akan dilempar
ke neraka dan tersiksa abadi di alam yang terbakar.
Sama sekali tidak mendidik
serta tidak mengusung budaya / semangat egaliter / meritokrasi selayaknya Hukum
Karma, dimana si baik masuk surga memetik buah manis kebaikan hatinya, dan si
jahat memetik buah pahit yang mereka tanam sendiri dengan masuk neraka. Dogma “penghapusan
dosa bagi PENJAHAT (PENDOSA)” demikian adalah merupakan misionaris pembawa
kabar gembira, ataukah justru sebaliknya, pembawa mala-petaka bagi orang-orang baik?
Kabar gembira bagi para DOSAWAN dan disaat bersamaan menjadi kabar buruk bagi
kalangan para korban. Juru selamat bagi PENJAHAT (PENDOSA), disaat bersamaan
menjadi juru petaka bagi kalangan korban.
Yang tidak kalah ironisnya
ialah klaim ajaran di bawah ini oleh para umatnya sebagai ajaran “cinta DAMAI”,
“Agama SUCI”, “ajaran LURUS”, “teladan SEMPURNA”, “tanpa CELA”, dimana patut
kita pertanyakan seperti apakah yang disebut sebagai sebaliknya, “cinta
PERTUMPAHAN DARAH”, “Agama DOSA”, “ajaran IBLIS”, “teladan CACAT”, serta “penuh
CELA”? Memalukan ataukah patut dibanggakan? Patut ditiru dan dijalankan ataukah
merusak dan mencemari “standar moral” umat manusia? Layak dipeluk ataukah harus
dimusnahkan?
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam
hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah
baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak
bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].
- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan
kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al
Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira,
bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun
dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga
berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya.
“Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’,
menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan
kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Untuk menyikapinya, kita butuh
perbandingan dogma-ajaran maupun teladan hidup dengan merujuk langsung apa yang
menjadi khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, perihal “keyakinan yang sehat Vs. keyakinan yang sakit”
dengan kutipan:
65 (5) Kesaputtiya [Note : Khotbah ini dikenal
dengan sebutan “Kālāma Sutta.”]
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang mengembara di antara penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di sebuah
pemukiman para penduduk Kālāma bernama Kesaputta. Pada saat itu, para penduduk
Kālāma di Kesaputta telah mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putra
Sakya yang meninggalkan keduniawian dari sebuah keluarga Sakya, telah tiba di
Kesaputta. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah beredar
sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan
sempurna … [seperti pada 3:63] … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang
lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui
para Arahant demikian.”
Kemudian para penduduk Kālāma
di Kesaputta mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa orang bersujud kepada Sang
Bhagavā dan duduk di satu sisi … [seperti pada 3:63] … beberapa hanya berdiam
diri dan duduk di satu sisi. Sambil duduk di satu sisi, para penduduk Kālāma
itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, ada beberapa petapa dan brahmana yang
datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka
sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin
yang lain. Tetapi kemudian beberapa petapa dan brahmana lainnya datang ke
Kesaputta, [189] dan mereka juga menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka
sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin
yang lain. Kami menjadi bingung dan ragu-ragu, Bhante sehubungan dengan petapa mana
yang mengatakan yang sebenarnya dan yang mana yang berbohong.”
“Adalah selayaknya bagi kalian
untuk menjadi bingung, O penduduk Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi
ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian sehubungan dengan suatu
persoalan yang membingungkan. Marilah, O penduduk Kālāma, jangan menuruti
tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika,
penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar
yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah
guru kami.’ Tetapi ketika, penduduk Kālāma, kalian mengetahui untuk diri kalian
sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela;
hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan
dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka kalian harus
meninggalkannya.
[Kitab Komentar : Sepuluh
kriteria kebenaran yang tidak mencukupi ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok:
(1) Yang pertama terdiri dari empat
kriteria pertama, semua dalil berdasarkan pada tradisi. Ini termasuk “tradisi
lisan” (anussava), yang biasanya
merujuk pada tradisi Veda; “silsilah” (paramparā)
menyiratkan penyampaian ajaran secara turun-temurun tanpa terputus; “kabar
angin” (atau “berita”; itikirā),
opini populer atau konsensus umum; dan “kumpulan teks” (piṭakasampadā), sekumpulan teks yang dianggap selalu benar. Pada masa Sang Buddha
hal-hal ini lebih disampaikan secara lisan daripada tulisan.
(2) Kelompok ke dua, juga
terdiri dari empat kriteria, yang merujuk pada empat jenis penalaran;
perbedaan-perbedaannya tidak perlu menahan kita di sini, tetapi karena Sang
Buddha sendiri sering menggunakan penalaran, maka penalaran di sini pasti semuanya
melibatkan penalaran dari alasan yang lebih bersifat dugaan daripada
pengamatan empiris.
(3) Kelompok ke tiga, terdiri dari
dua hal terakhir, merujuk pada dua jenis otoritas personal: yang pertama,
“tampak kompeten” (bhabbarūpatā),
adalah kharisma personal dari si pembabar (mungkin termasuk kualifikasi eksternalnya);
yang ke dua adalah otoritas si pembabar sebagai guru seseorang (Pāli garu identik dengan Sansekerta guru).]
(1) “Bagaimana menurut
kalian, para penduduk Kālāma? Ketika keserakahan muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
[Kitab Komentar : Menurut Sang
Buddha, keserakahan, kebencian, dan delusi adalah tiga akar tidak bermanfaat (akusalamūlāni), yang mendasari segala perbuatan
tidak bermoral dan segala kondisi pikiran yang kotor. Karena tujuan dari ajaran-Nya
sendiri, nibbāna, adalah
hancurnya keserakahan, kebencian, dan delusi (SN 38:1, IV 251,16-20), maka
Sang Buddha secara halus menuntun para penduduk Kālāma untuk membenarkan
ajaranNya hanya dengan merefleksikan pengalaman mereka sendiri, tanpa perlu
bagiNya untuk memaksakan otoritasNya pada mereka.]
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh keserakahan,
dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya dikuasai oleh keserakahan, akan
melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran
dengan istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia menganjurkan orang
lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan
penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurut
kalian, para penduduk Kālāma? Ketika kebencian muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh kebencian,
dikendalikan oleh kebencian, pikirannya dikuasai oleh kebencian, akan melakukan
pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah
itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurut
kalian, para penduduk Kālāma? Ketika delusi muncul dalam diri seseorang, apakah
hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
[190]
“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh delusi,
dikendalikan oleh delusi, pikirannya dikuasai oleh delusi, akan melakukan
pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah
itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurut kalian, para
penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak
bermanfaat?” – “Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak
tercela?” – “Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?”
– “Dicela oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan,
apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau
bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan,
maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah
kami menganggapnya.”
“Demikianlah, para penduduk
Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti
tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri:
“Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini
dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan
mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka kalian harus meninggalkannya,’
adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.
“Marilah, para penduduk Kālāma.
Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan
teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan,
pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa
itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian
sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela;
hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan
dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian
harus hidup sesuai dengannya.
(1) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-serakahan muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya,
Bhante.”
“Para penduduk Kālāma, seseorang yang tanpa keserakahan,
tidak dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya tidak dikuasai oleh
keserakahan, tidak akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa yang tidak
diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak
mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk
melakukan hal serupa. [191] Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-bencian muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya,
Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang tanpa kebencian, tidak dikendalikan oleh kebencian, pikirannya
tidak dikuasai oleh kebencian, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga
tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan
mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-delusian muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya,
Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang tidak terdelusi, tidak dikendalikan oleh delusi, pikirannya
tidak dikuasai oleh delusi, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak
akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan
mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurut kalian, para
penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –
“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela,
Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji oleh para
bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini
mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah
kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan
mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”
“Demikianlah, para penduduk
Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti
tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri:
“Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini
dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan
mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka kalian harus [192] hidup
sesuai dengannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.
“Kemudian, para penduduk
Kālāma, siswa mulia itu, yang hampa dari kerinduan, hampa dari niat buruk,
tidak bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian, berdiam dengan
meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih … dengan
pikiran yang dipenuhi dengan belas-kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi
dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan
keseimbangan, demikian pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat.
Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada
semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi
seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur,
tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.
“Siswa mulia ini, para penduduk
Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk,
tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.
“Jaminan pertama yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, dan jika ada buah
dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka adalah mungkin bahwa dengan
hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan muncul di alam tujuan yang baik,
di alam surga.’
“Jaminan ke dua yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, dan jika tidak
ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja di sini, dalam
kehidupan ini, aku hidup dalam kebahagiaan, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk,
bebas dari kesulitan.
“Jaminan ke tiga yang ia menangkan adalah
sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan. Maka,
karena aku tidak bermaksud jahat terhadap siapa pun, bagaimana mungkin
penderitaan menimpaku, karena aku tidak melakukan perbuatan jahat?’
“Jaminan ke empat yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si
pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua
hal.’
[Kitab Komentar : Kedua jenis
pemurnian ini adalah (1) tidak melakukan perbuatan jahat apa pun, dan (2) mengembangkan
pikiran murni melalui praktik empat kondisi tanpa batas (cinta kasih, dan
seterusnya).]
“Siswa mulia ini, para penduduk
Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak
kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.”
[Kitab Komentar : Empat jaminan
dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) Jika ada dunia ini dan
dunia lain, jika ada akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka aku memperoleh
kamma yang berhubungan dengan pandangan benar; aku menegakkannya dan memilikinya.
Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku pasti akan pergi ke alam yang
baik, bahkan kelahiran kembali di alam surga.
(2) Jika dunia ini dan dunia
lain tidak ada, dan tidak ada akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja,
bahkan dalam kehidupan ini, aku tidak dapat disalahkan oleh orang lain
sehubungan dengan [perbuatanku], melainkan aku akan dipuji oleh para bijaksana.
Akan tetapi, mereka yang berusaha dan berpandangan benar mengatakan bahwa ada
[dunia ini, dunia lain, dan akibat karma].
(3) Jika segala sesuatunya selesai,
tentu saja aku tidak melakukan kejahatan, aku tidak memikirkan hal jahat.
Karena aku tidak melakukan kejahatan, bagaimana mungkin penderitaan muncul
bagiku?
(4) Jika segala sesuatunya
selesai, tentu saja aku tidak melakukan kejahatan. Aku tidak melanggar apa yang
menakutkan dan tidak menakutkan di dunia ini. Aku selalu memiliki cinta dan
belas kasihan kepada seluruh dunia. Pikiranku tidak kejam pada makhluk-makhluk
hidup; tanpa noda, gembira dan bahagia.]
“Demikianlah, Sang Bhagavā!
Demikianlah, Yang Sempurna! Siswa mulia ini, yang pikirannya tanpa permusuhan
seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan murni, [193] telah memenangkan
empat jaminan dalam kehidupan ini. “Jaminan pertama yang ia menangkan …
[seperti di atas, hingga:] … Jaminan ke empat yang ia menangkan adalah sebagai berikut:
‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan
melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’
“Siswa mulia ini, Bhante, yang
pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan
murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.
“Bagus sekali, Bhante! Bagus
sekali, Bhante! Sang Bhagavā telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara,
seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi,
menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam
kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk.
Kami berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha. Sudilah Sang Bhagavā menganggap kami sebagai
umat-umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir
hidup kami.”
~0~
66 (6) Sāḷha
Demikianlah yang kudengar. Pada
suatu ketika Yang Mulia Nandaka sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramātā
di Taman Timur. Kemudian Sāḷha, cucu dari Migāra, dan Rohaṇa, cucu dari Pekkhuniya, mendatangi Yang Mulia Nandaka, bersujud kepadanya,
dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Nandaka berkata kepada Sāḷha:
“Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun,
kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan
pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau
karena engkau berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika engkau
[194] mengetahui untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat;
hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal
ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan
penderitaan,’ maka engkau harus meninggalkannya.
(1) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada keserakahan?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
kerinduan. Seorang yang serakah, penuh kerinduan, akan melakukan pembunuhan,
mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain,
dan mengucapkan kebohongan; dan ia mendorong orang lain untuk melakukan
hal serupa. Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu
yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada kebencian?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
niat buruk. Seorang yang penuh kebencian, dengan pikiran berniat buruk, akan
melakukan pembunuhan … dan ia mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa.
Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada delusi?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
ketidak-tahuan. Seorang yang terdelusi, terbenam dalam ketidak-tahuan, akan
melakukan pembunuhan … dan ia mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa.
Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau
tidak bermanfaat?” – “Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak
tercela?” – “Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” –
“Dicela oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah
hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau
bagaimanakah engkau menganggapnya?” [195] – “Jika diterima dan dijalankan, maka
hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami
menganggapnya.”
“Demikianlah, Sāḷha, ketika kami berkata: ‘Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika
engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat;
hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal
ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,”
maka engkau harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini
dikatakan.
“Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun,
kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan
pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau
karena engkau berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika engkau mengetahui
untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak
tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan
dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka
engkau harus hidup sesuai dengannya.
(1) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-serakahan?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
ketiadaan kerinduan. Seorang yang tanpa keserakahan, tanpa kerinduan, tidak
akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan
pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan kebohongan; dan ia
juga tidak akan mendorong orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut. Akankah
itu mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-bencian?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
niat baik. Seorang yang tanpa kebencian, dengan pikiran berniat baik, tidak
akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan mendorong orang lain untuk melakukan
hal-hal tersebut. Akankah itu mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaannya
untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-delusian?”
“Ada, Bhante.”
“Aku katakan bahwa ini berarti
pengetahuan sejati. Seorang yang tidak terdelusi, [196] yang telah sampai pada
pengetahuan sejati, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan mendorong
orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut. Akankah itu mengarah pada
kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau
tidak bermanfaat?” – “Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” –
“Tidak tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji
oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal
ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah
engkau menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan
mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”
“Demikianlah, Sāḷha, ketika kami berkata: ‘Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika
engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal
ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini,
jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan
kebahagiaan,” maka engkau harus hidup sesuai dengannya,’ adalah karena alasan
ini maka hal ini dikatakan.
“Kemudian, Sāḷha, siswa mulia itu – yang hampa dari kerinduan, hampa
dari niat buruk, tidak bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian,
berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan
cinta-kasih … dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas-kasih … dengan pikiran
yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi
dengan keseimbangan, demikian pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat.
Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan
kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi
seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur,
tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.
“Kemudian ia memahami sebagai
berikut: ‘Ada ini; ada yang hina; ada yang mulia; ada jalan membebaskan
diri dari apa pun yang berhubungan dengan persepsi.’ Ketika ia mengetahui dan melihat
demikian, pikirannya terbebaskan dari noda indriawi, dari noda penjelmaan,
dan dari noda ketidak-tahuan. [197] Ketika terbebaskan muncullah
pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan,
kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan,
tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’
“Ia memahami sebagai berikut: ‘Sebelumnya,
ada keserakahan; itu tidak bermanfaat. Sekarang tidak ada lagi; dengan demikian
ini bermanfaat. Sebelumnya, ada kebencian; itu tidak bermanfaat. Sekarang tidak
ada lagi; dengan demikian ini bermanfaat. Sebelumnya, ada delusi; itu tidak
bermanfaat. Sekarang tidak ada lagi; dengan demikian ini bermanfaat.’
“Demikianlah dalam kehidupan
ini ia berdiam tanpa lapar, terpuaskan dan sejuk, mengalami kebahagiaan,
setelah dirinya sendiri menjadi brahma.”
~0~
134 (5) 323
“Para bhikkhu, dengan memiliki
dua kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan
dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para
bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah dua ini? Tanpa
menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. Tanpa
menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. Dengan
memiliki dua kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat
mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela
oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
dua kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan
dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar
celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah dua
ini? Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang
layak dicela. Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji
seorang yang layak dipuji. Dengan memiliki dua kualitas ini, orang
bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi
tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para
bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.”