Agama Koor Paduan Suara, AGAMA MUSIK & LAGU

Bahaya Melafalkan Paritta dengan Intonasi Dilagukan

Buddhisme memiliki filosofi, keheningan dan senyap adalah musik terindah. Ketika bermeditasi, kita tidak perlu bernyanyi ataupun mendengarkan nyanyian / lagu apapun. Pada umat kristiani kerap mengejek para umat Buddhist sebagai “agama patung”, karena mereka anggap sebagai penyembah yang menyembah patung dan beribadah dengan cara yang sehening “patung” (tidak norak). Namun tahukah Anda, lebih baik menjadi “agama patung” daripada “agama penjilat bokong (kue sus)”. Lihat, betapa noraknya umat kristiani, kemana-mana memakai liontin bergambar kue sus disalib—lahirnya di kandang ternak, matinya berdarah-darah disalib, dengan hanya mengenakan celana dalam, sungguh hina-dina. Jangan lupa, salib adalah tempat atau simbol dimana para penjahat pada masanya itu disalib dan dihukum mati. Tragis, lahir kotor di kandang ternak dan mati diatas salib, dengan hanya memakai “kolor”, AGAMA KOLOR.

Para umat kristiani begitu bangga, memiliki tim paduan suara yang kerap koor, seolah Tuhan butuh para “penjilat pendosa penuh dosa”, para pendosa yang bernyanyi-nyanyi ria. Memuliakan Tuhan, adalah dengan cara menjadi manusia yang mulia—namun umat kristiani manakah, yang paham filosofi hidup demikian? Umat kristiani terlampau pemalas untuk menanam karma baik untuk mereka petik sendiri, dan disaat bersamaan terlampau pengecut terhadap perbuatan-perbuatan buruk mereka sepanjang hidup dengan menjadi penyembah ideologi korup bernama “penghapusan / penebusan dosa” atau apapun itu istilahnya yang merujuk kepada sifat korup semacam “abolition of sins”.

Namun bukan berarti umat Buddhist kebanyakan dewasa ini sudah sempurna dan benar, sehingga dalam kesempatan ini pun penulis hendak memberikan otokritik agar tidak meniru-niru kekonyolan umat kristiani “si konyol pendosa penjilat penuh dosa”. Banyak kita jumpai di berbagai vihara, kebaktian pembacaan paritta yang sangat menyimpang dari kaedah pelafalan Bahasa Pali. Praktik demikian terus berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada upaya yang berarti untuk membenahi ataupun mengoreksi kebiasaan yang selama ini dipraktikkan. Bila umat kristiani patuh terhadap seruan “kue sus” agar para umat penyembahnya menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”—agar iming-iming “penebusan dosa” tidak menjadi mubazir dimana hanya pendosa yang butuh ditebus dosa-dosanya, ibarat meminta maaf terlebih dahulu barulah berbuat kejahatan—maka banyak umat Buddhist yang justru membangkang dan membantah ajaran Sang Buddha.

Salah satunya dapat kita jumpai dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

209 (9) Intonasi

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini dalam melafalkan Dhamma dengan intonasi yang ditarik, menyerupai lagu. Apakah lima ini?

(1) Seseorang menjadi tergila-gila pada intonasinya sendiri.

(2) Orang lain menjadi tergila-gila pada intonasinya.

(3) Para perumah tangga mengeluhkan: ‘Seperti halnya kita menyanyi, demikian pula, para petapa yang mengikuti putra Sakya ini.’

(4) Terjadi gangguan konsentrasi pada seseorang yang menginginkan intonasi yang lebih baik.

(5) [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladannya. Ini adalah kelima bahaya dalam melafalkan Dhamma dengan intonasi yang ditarik, menyerupai lagu.

~0~

210 (10) Dengan Pikiran Kacau

“Para bhikkhu, ada lima bahaya bagi seseorang yang jatuh terlelap dengan pikiran kacau, tanpa pemahaman jernih. Apakah lima ini? Ia tidak tidur nyenyak; ia terjaga dalam keadaan tidak bahagia; ia bermimpi buruk; para dewata tidak melindunginya; dan ia mengeluarkan mani. Ini adalah kelima bahaya bagi seseorang yang jatuh terlelap dengan pikiran kacau, tanpa pemahaman jernih.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat bagi seseorang yang jatuh terlelap dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih. Apakah lima ini? Ia tidur nyenyak; ia terjaga dalam keadaan bahagia; ia tidak bermimpi buruk; para dewata melindunginya; dan ia tidak mengeluarkan mani. Ini adalah kelima manfaat bagi seseorang yang jatuh terlelap dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih.” [252]

[NOTE : Pendosa itu “keruh” dan tebal “kekotoran batinnya”. Bagaikan kemana-mana membawa serta seonggok bangkai yang berbau busuk, “kekotoran batin” yang dipelihara dan bersarang dalam diri sungguh tidak membuat nyaman orang lain maupun diri mereka sendiri.]

~0~

II. Seorang Yang Menghina

211 (1) Seorang yang Menghina

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu adalah seorang yang menghina dan merendahkan teman-temannya para bhikkhu, seorang pencerca para mulia, maka lima bahaya menantinya. Apakah lima ini? (1) Apakah ia melakukan pārājika dan memutuskan jalan keluar, atau (2) melakukan suatu pelanggaran kotor tertentu, atau (3) mengidap suatu penyakit keras. (4) Ia meninggal dunia dalam kebingungan. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ketika seorang bhikkhu adalah seorang yang menghina dan merendahkan teman-temannya para bhikkhu, seorang pencerca para mulia, maka kelima bahaya ini menantinya.”

[Kitab Komentar : telah memotong jalan keluar yang melampaui keduniawian (lokuttaraparipanthassa chinnattā chinnaparipantho), tetapi mungkin yang dimaksudkan adalah bahwa, setelah melakukan pārājika, yang mengharuskan pengusiran dari Sagha, ia tidak lagi dapat mempertahankan statusnya sebagai seorang bhikkhu.]

~0~

197 (7) Hujan

“Para bhikkhu, ada lima rintangan pada hujan ini yang tidak diketahui oleh para peramal cuaca, di mana mata mereka tidak dapat menjangkaunya. Apakah lima ini?

(1) “Para bhikkhu, elemen panas di bagian atas langit menjadi terganggu. Karena hal ini, awan-awan yang telah muncul menjadi berhamburan. Ini adalah rintangan pertama pada hujan yang tidak diketahui oleh para peramal cuaca, di mana mata mereka tidak dapat menjangkaunya.

(2) “Kemudian, elemen udara di bagian atas langit menjadi terganggu. Karena hal ini, awan-awan yang telah muncul menjadi berhamburan. Ini adalah rintangan ke dua pada hujan …

(3) “Kemudian, Rāhu raja asura mengambil air dengan tangannya dan membuangnya ke samudra. Ini adalah rintangan ke tiga pada hujan …

(4) “Kemudian, para deva hujan menjadi lalai. Ini adalah rintangan ke empat pada hujan …

(5) “Kemudian, umat manusia menjadi tidak baik. Ini adalah rintangan ke lima pada hujan …

“Ini adalah kelima rintangan pada hujan yang tidak diketahui oleh para peramal cuaca, di mana mata mereka tidak dapat menjangkaunya.”

~0~

200 (10) Jalan Membebaskan Diri

“Para bhikkhu, ada lima elemen jalan membebaskan diri ini. Apakah lima ini?

[Kitab Komentar : “terlepas, terputus,” ataupun “sebuah sifat yang kosong dari diri.”]

(1) “Di sini, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan kenikmatan indria, pikirannya tidak meluncur ke sana, dan tidak menjadi tenang, tidak kokoh, dan tidak terpusat padanya. Tetapi ketika ia memperhatikan pelepasan keduniawian, pikirannya meluncur ke sana dan menjadi tenang, kokoh, dan terpusat padanya. Pikirannya menjauh dengan baik, terkembang dengan baik, keluar dengan baik, terbebaskan dengan baik, dan terlepas dengan baik dari kenikmatan indria. Dan ia terbebas dari noda-noda, kesengsaraan dan demam itu, yang muncul dengan kenikmatan indria sebagai kondisi. Ia tidak merasakan perasaan itu. Ini dinyatakan sebagai jalan membebaskan diri dari kenikmatan indria.

[Kitab Komentar : Setelah keluar dari jhāna pada objek yang tidak menarik, ia mengarahkan pikirannya pada kenikmatan indria untuk menyelidikinya, seperti halnya seseorang akan mengambil obat penawar untuk menyelidiki racun. Bhikkhu itu tidak memperhatikan kenikmatan indria dalam makna [bahwa ia dikuasai] oleh kekotoran. Melainkan, ia menyelidiki: ‘Pikiranku sekarang kokoh dalam pelepasan keduniawian. Mengapa pikiran indriawi muncul?’”

Gagasan jalan membebaskan diri (nissaraa). Na so ta vedana vediyati : “Ia tidak merasakan perasaan indriawi atau perasaan menyengsarakan atau demam itu.”]

(2) “Kemudian, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan niat buruk, pikirannya tidak meluncur ke sana, dan tidak menjadi tenang, tidak kokoh, dan tidak terpusat padanya. Tetapi ketika ia memperhatikan niat baik, pikirannya meluncur ke sana dan menjadi tenang, kokoh, dan terpusat padanya. Pikirannya menjauh dengan baik, terkembang dengan baik, keluar dengan baik, terbebaskan dengan baik, dan terlepas dengan baik dari niat buruk. Dan ia terbebas dari noda-noda, kesengsaraan dan demam itu, yang muncul dengan niat buruk sebagai kondisi. Ia tidak merasakan perasaan itu. Ini dinyatakan sebagai jalan membebaskan diri dari niat buruk.

(3) “Kemudian, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan mencelakai, pikirannya tidak meluncur ke sana dan tidak menjadi tenang, tidak kokoh, dan tidak terpusat padanya. Tetapi ketika ia memperhatikan tidak-mencelakai, pikirannya meluncur ke sana dan menjadi tenang, kokoh, dan terpusat padanya. Pikirannya menjauh dengan baik, terkembang dengan baik, keluar dengan baik, terbebaskan dengan baik, dan terlepas dengan baik dari mencelakai. Dan ia terbebas dari noda-noda, kesengsaraan dan demam itu, yang muncul dengan mencelakai sebagai kondisi. Ia tidak merasakan perasaan itu. Ini dinyatakan sebagai jalan membebaskan diri dari mencelakai. [246]

(4) “Kemudian, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan bentuk, pikirannya tidak meluncur ke sana dan tidak menjadi tenang, tidak kokoh, dan tidak terpusat padanya. Tetapi ketika ia memperhatikan tanpa-bentuk, pikirannya meluncur ke sana dan menjadi tenang, kokoh, dan terpusat padanya. Pikirannya menjauh dengan baik, terkembang dengan baik, keluar dengan baik, dan terlepas dengan baik dari bentuk. Dan ia terbebas dari noda-noda, kesengsaraan dan demam itu, yang muncul dengan bentuk sebagai kondisi. Ia tidak merasakan perasaan itu. Ini dinyatakan sebagai jalan membebaskan diri dari bentuk.

(5) “Kemudian, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan eksistensi-diri, pikirannya tidak meluncur ke sana dan tidak menjadi tenang, tidak kokoh, dan tidak terpusat padanya. Tetapi ketika ia memperhatikan lenyapnya eksistensi-diri, pikirannya meluncur ke sana dan menjadi tenang, kokoh, dan terpusat padanya. Pikirannya menjauh dengan baik, terkembang dengan baik, keluar dengan baik, terbebaskan dengan baik, dan terlepas dengan baik dari eksistensi-diri. Dan ia terbebas dari noda-noda, kesengsaraan dan demam itu, yang muncul dengan eksistensi-diri sebagai kondisi. Ia tidak merasakan perasaan itu. Ini dinyatakan sebagai jalan membebaskan diri dari eksistensi-diri.

Kesenangan dalam kenikmatan indria tidak ada padanya; kesenangan dalam niat buruk tidak ada padanya; kesenangan dalam mencelakai tidak ada padanya; kesenangan dalam bentuk tidak ada padanya; kesenangan dalam eksistensi-diri tidak ada padanya. Karena ia tanpa kecenderungan tersembunyi pada kesenangan dalam kenikmatan indria, kesenangan dalam niat buruk, kesenangan dalam mencelakai, kesenangan dalam bentuk, dan kesenangan dalam eksistensi-diri, maka ia disebut seorang bhikkhu yang hampa dari kecenderungan tersembunyi. Ia telah memotong ketagihan, melepaskan belenggu, dan dengan sepenuhnya menerobos keangkuhan, ia telah mengakhiri penderitaan. Ini, para bhikkhu, adalah kelima elemen jalan membebaskan diri itu.” [247]

Para umat agama samawi, tidak akan mungkin paham terhadap apa yang dimaksud dengan : “Kemudian, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan niat buruk, pikirannya tidak meluncur ke sana, dan tidak menjadi tenang, tidak kokoh, dan tidak terpusat padanya. Tetapi ketika ia memperhatikan niat baik, pikirannya meluncur ke sana dan menjadi tenang, kokoh, dan terpusat padanya. Pikirannya menjauh dengan baik, terkembang dengan baik, keluar dengan baik, terbebaskan dengan baik, dan terlepas dengan baik dari niat buruk. Dan ia terbebas dari noda-noda, kesengsaraan dan demam itu, yang muncul dengan niat buruk sebagai kondisi. Ia tidak merasakan perasaan itu. Ini dinyatakan sebagai jalan membebaskan diri dari niat buruk.” Selama ini mereka hanya diajarkan “ibadah berbentuk ritual sembah-sujud ataupun nyanyi-nyanyian paduan suara”, cara beribadah yang dangkal dan miskin esensi. Bila “menjilat” adalah beribadah, maka semua penjilat tergolong agamais dan sedang beribadah ketika menjilat bokong pejabat. Bila “menyanyi” adalah beribadah, maka tiada yang lebih agamais daripada kalangan musisi maupun pengamen di jalanan.

Indonesia, adalah negara dimana bencana alam begitu dahsyat dan masif sifatnya. Dahulu kala, sejak zaman prasejarah dan purbakala, bencana alam di Nusantara adalah eksis adanya. Ketika masyarakat di Nusantara menjelma sebagai pemeluk agama islam sejak abad ke-15 dan menjelma mayoritas sejak saat itu, bencana alam tetap bertubi-tubi menghantam masyarakat Indonesia. Pertanyaannya, lantas untuk apa mereka menyembah Tuhan hingga mencium-ciumi batu hitam, toh tidak lebih baik dari kondisi di zaman prasejarah? Bencana alam yang bertubi-tubi dahsyat, adalah pertanda bahwa Tuhan tidak butuh jilatan para pendosa penuh dosa yang hanya pandai menjilat, dimana juga Tuhan tidak butuh jilatan para pendosa. Tuhan sudah penuh, sehingga tidak memerluka puja-puji, juga tidak akan berkurang hanya karena dicela dan tidak dipuja-puji.

Perbedaan atau gab terbesar antara Buddhistik dan agama-agama samawi ialah, bila dalam Buddhisme kita tidak perlu menyangkal fakta bahwa hidup adalah tidak terpuaskan dan selalu berubah, maka dalam agama-agama samawi diajarkan bahwa “hidup adalah nikmat”—yang karenanya, ketika umat nasrani maupun muslim mendapati dirinya dan hidupnya adalah penuh dukkha, tidak bahagia, tidak sehat, serta bahkan membosankan, mereka akan cenderung merasa ada yang salah dengan diri atau hidupnya, lalu merasa iri melihat hidup orang lain seolah hanya dirinya seorang di dunia ini yang menderita, karena itu kemudian menjustifikasi dirinya sendiri untuk merampas kebahagiaan orang lain dan jatuh ke dalam lubang dosa. Itulah yang disebut sebagai “jebakan dan lingkaran iblis”, disatu sisi mendorong para umatnya untuk menjadi pendosa, dan disaat bersamaan menawarkan iming-iming “penghapusan dosa”, jadilah para pendosa tersebut merasa bangga menjadi pendosa dan disaat bersamaan berdelusi sebagai umat dari agama yang paling superior dan terjamin masuk surga. Surga semacam apakah, yang diumbar dan diobral murah bagi para kalangan pendosa, menyerupai tong sampah bagi kalangan pendosa dimana para pendosa dijejali masuk kedalamnya bagaikan ikan sarden?

Kedua, Buddhisme mengejar kebahagiaan yang tidak bergantung pada kondisi-kondisi dangkal demikian. Ketika mendapati manisnya madu, tidak menjadi melekat kepadanya. Sebaliknya, agama-agama samawi justru mengidentifikasikan “hidup yang normal” artinya ialah “hidup yang penuh kesenangan dan nikmat”, lalu melekat padanya dan dengan demikian membenarkan segala cara untuk tetap “nikmat” sekalipun dengan cara menyengsarakan dan merampas hak-hak orang lain. Umat Buddhist, diajarkan oleh Sang Buddha untuk memahami bahaya dibalik kenikmatan inderawi, dimana sebaliknya para umat agama samawi diajarkan untuk melekat pada kenikmatan inderawi dimana bila satu istri tidak cukup, maka dua istri, tiga istri, empat istri—dimana juga bila masih belum puas maka dibolehkan untuk menggauli “budak-budak seksuil” hingga praktik ped0filia yang rendahan untuk mencari sensasi kenikmatan lain. Bila umat Buddhist diajarkan untuk menaruh waspada dan memberikan perhatian kepada kekotoran batin yang bersarang dalam diri kita sendiri, para umat samawi justru lebih sibuk mengatur dan menghakimi umat yang berbeda keyakinan, alias pendosa penuh kekotoran batin yang merasa berhak menjadi “polisi moral”.