Kiat Meloloskan Diri dari Kutukan Warisan Genetik Buruk Orangtua Kita

Tanpa Istrospeksi Diri dan Latihan Self-Control, Determinisme Genetik menjadi Mutlak dan Permanen

IBLIS Melahirkan IBLIS, PENJAHAT Melahirkan PENJAHAT

Question: JIka genetik memang memegang tanggung-jawab seseorang menjadi seorang malaikat atau menjadi seorang penjahat yang menyerupai iblis, maka apakah artinya manusia menjadi budak genetiknya sendiri tanpa adanya pilihan bebas? Jika tidak punya pilihan bebas, apakah artinya dapat dimintakan pertanggung-jawaban atas perbuatan-perbuatan buruk seseorang? Bila tidak dapat dimintakan pertanggung-jawaban, maka bukankah artinya orang tersebut tidak dapat dihukum, entah di dunia manusia seperti penjara ataupun di alam baka berupa neraka?

Brief Answer: Deterministik karma, yakni paham Jainisme, telah ditolak oleh Sang Buddha, karena menafikan faktor kehendak bebas seorang manusia yang berakal-budi. Sama halnya, deterministik genetik adalah benar sepanjang seseorang tidak mau mendisiplinkan dan mendidik dirinya sendiri. Ibarat aliran air, alamiahnya selalu bergerak ke arah bawah, bukan ke arah atas. Sama halnya juga, kecenderungan seseorang yang lahir dengan kekotoran batin, ialah mempertebal kekotoran batinnya bila tidak disekai upaya serius dan komitmen untuk menapak di jalur yang berbeda dengan tidak serta-merta menuruti tendensi-tendensi dalam terbit dari dalam diri. Hanya lewat disiplin diri dan praktik latihan mawas diri yang ketat, seseorang baru dapat berlatih dan berjuang mengikis kekotoran batinnya, dan disaat bersamaan “melampaui kutukan genetik” yang bersarang dalam darah warisan dari leluhurnya.

PEMBAHASAN:

Terdapat beberapa tahapan, agar kita bisa “melampaui warisan genetik buruk” yang diturunkan dari keluarga kita. Pertama, menyadari bahwa orangtua kita memiliki sifat-sifat buruk yang perlu ditanggalkan sama sekali. Kedua, menyadari bahwa genetik orangtua kita juga mengalir dan bersarang dalam nadi dan aliran darah kita. Ketiga, bertekad untuk melampaui genetik tersebut dengan tidak membiarkan genetik mengambil-alih pikiran kita sepenuhnya, alias bertekad untuk menjadi individu yang berkebalikan dengan orangtua kita. Keempat, berlatih mengikisnya lewat praktik latihan disiplin diri, edukasi diri, serta mawas diri. Prinsip yang sama berlaku sebaliknya, bila orangtua kita tidak memiliki kualitas-kualitas diri yang baik dan positif, maka perlu ditanamkan ke dalam diri kita lewat proses internalisasi-diri yang serupa dengan metode diatas, yang menumbuhkan sikap-sikap dan sifat-sifat baru yang berkebalikan dari orangtua kita. Lebih ideal lagi, bila kita dapat juga meng-kondisikan tempat dimana kita bertempat tinggal maupun lingkungan pergaulan kita, hindari orang-orang yang “toxic”.

Dua tahap pertama, menjadi tahap paling awal, yakni identifikasi kualitas genetik keluarga kita serta mengidentifikasi bahwa genetik tersebut juga mengalir dan bersarang dalam diri kita alias diwarisi juga oleh diri kita. Dua tahap berikutnya, ialah sebuah bentuk tekad atau komitmen diri, untuk menjadi pribadi yang berbeda dari orangtua kita. Sebuah tekad dan upaya, dapat diumpamakan seperti ombak lautan dan angin yang membawa buah jatuh jauh dari pohonnya, dan tumbuh di tempat lain. Terdapat sebuah kisah klasik yang masih relevan. Seorang ayah memiliki dua putra yang keduanya saling bertolak-belakang nasib hidupnya. Sang ayah, seorang pemabuk. Anak yang satu, juga sama pemabuknya dengan sang ayah. Mengapa? Anak pertama menjawab, karena ayahnya adalah seorang pemabuk. Anak kedua, berkebalikan, sukses dalam hidupnya. Mengapa? Karena ia menyadari ayahnya adalah seorang pemabuk dan itu buruk, lalu bertekad : Saya tidak mau menjadi seperti ayah saya.

Relevan dengan bahasan kita, tahapan ketiga dan keempat dapat pula merujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

20 (10) Perenungan pada Kematian (2)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, perenungan pada kematian, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, dengan tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya. Dan bagaimanakah hal ini demikian?

“Di sini, para bhikkhu, ketika siang hari berlalu dan malam menjelang, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku dapat mati karena banyak penyebab. (1) Seekor ular mungkin menggigitku, atau seekor kalajengking atau seekor lipan mungkin menyengatku; itu akan menjadi rintangan bagiku. (2) Aku mungkin tersandung dan jatuh, atau (3) makananku mungkin tidak cocok bagiku, atau (4) empeduku [307] mungkin menjadi terganggu, atau (5) dahakku mungkin menjadi terganggu, atau (6) angin tajam dalam tubuhku mungkin menjadi terganggu, dan aku dapat mati; itu akan menjadi rintangan bagiku.’

“Bhikkhu ini harus merefleksikan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat apa pun yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini?’ Jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui: ‘Aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu harus mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Tetapi jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui sebagai berikut: ‘Aku tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia boleh berdiam dalam sukacita dan kegembiraan yang sama itu, berlatih siang dan malam dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Tetapi ketika malam hari berlalu dan siang menjelang, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku dapat mati karena banyak penyebab. Seekor ular mungkin menggigitku … atau angin tajam dalam tubuhku mungkin menjadi terganggu, dan aku dapat mati; itu akan menjadi rintangan bagiku.’

“Bhikkhu ini harus merefleksikan sebagai berikut: [308] ‘Apakah aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat apa pun yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati siang ini?’ Jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui: ‘Aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati siang ini,’ maka ia harus mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpalelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpalelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu harus mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Tetapi jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui sebagai berikut: ‘Aku tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati siang ini,’ maka ia boleh berdiam dalam sukacita dan kegembiraan yang sama itu, berlatih siang dan malam dalam kualitas-kualitas bermanfaat. “Adalah, para bhikkhu, ketika perenungan pada kematian dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka akan berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, dengan tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.” [309]

~0~

213 (3) Perilaku Bermoral

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini bagi seorang yang tidak bermoral karena kekurangannya dalam perilaku bermoral. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang yang tidak bermoral yang kurang dalam perilaku bermoral kehilangan banyak kekayaan karena kelengahan. Ini adalah bahaya pertama bagi seorang yang tidak bermoral karena kekurangannya dalam perilaku bermoral.

(2) “Kemudian, suatu berita beredar tentang keburukan seorang yang tidak bermoral yang kurang dalam perilaku bermoral. Ini adalah bahaya ke dua … [253]

(3) “Kemudian, kumpulan apa pun yang didatangi oleh seorang yang tidak bermoral yang kurang dalam perilaku bermoral – apakah khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – ia mendatanginya dengan takut dan malu. Ini adalah bahaya ke tiga …

(4) “Kemudian, seorang yang tidak bermoral yang kurang dalam perilaku bermoral meninggal dunia dalam kebingungan. Ini adalah bahaya ke empat …

(5) “Kemudian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang yang tidak bermoral yang kurang dalam perilaku bermoral terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah bahaya ke lima …

“Ini adalah kelima bahaya itu bagi seorang yang tidak bermoral karena kekurangannya dalam perilaku bermoral. “Para bhikkhu, ada lima manfaat ini bagi seorang yang bermoral karena kesempurnaannya dalam perilaku bermoral. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang yang bermoral yang sempurna dalam perilaku bermoral mengumpulkan banyak kekayaan karena kewaspadaan. Ini adalah manfaat pertama bagi seorang yang bermoral karena sempurna dalam perilaku bermoral.

(2) “Kemudian, seorang yang bermoral yang sempurna dalam perilaku bermoral memperoleh reputasi baik. Ini adalah manfaat ke dua …

(3) “Kemudian, kumpulan apa pun yang didatangi oleh seorang yang bermoral yang sempurna dalam perilaku bermoral – apakah khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – ia mendatanginya dengan percaya-diri dan tenang. Ini adalah manfaat ke tiga …

(4) “Kemudian, seorang yang bermoral yang sempurna dalam perilaku bermoral meninggal dunia tanpa kebingungan. Ini adalah manfaat ke empat …

(5) “Kemudian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang yang bermoral yang sempurna dalam perilaku bermoral terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah manfaat ke lima … [254]

“Ini adalah kelima manfaat itu bagi seorang yang bermoral karena sempurna dalam perilaku bermoral.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.