(DROP DOWN MENU)

Mengapa Kita Suka Menonton / Menyaksikan Kisah Drama? Karena Tuhan adalah Penulis Skenario yang BURUK, KONYOL, TOXIC, serta MEMBOSANKAN

HAPPY ENDING, Jauh Panggang dari Api dengan Realita Dunia Dibawah Kendali Tuhan : Kesenjangan Ekonomi, Mafia Tanah dan Hukum, Pejabat Korup, serta Pelaku Usaha Kartel Harga Dibiarkan Merajalela, Dipelihara, serta Berkeliaran Mencari Warga yang Lemah sebagai Mangsa Empuk

Tuhan Ibarat Profesor LING-LUNG, Terus Mencobai Manusia Sekalipun Umur Umat Manusia Sudah Setua Usia Planet Bumi

Saat ulasan ini ditulis, terdapat sebuah Chinese Drama berjudul “FORTUNE WRITER” yang rilis pada tahun 2024. Kisahnya cukup menarik bila tidak bisa dibilang tidak lazimnya kisah-kisah drama mainstream, tokoh utamanya justru ialah tokoh antagonis yang jahat, sehingga jalannya alur cerita menggunakan persepsi dan perspektif sang tokoh antagonis yang “evil and venom”. Tuhan bagaikan sedang bercanda, bermain-main dan menjadikan lelucon nasib umat manusia, semua manusia dijadikan “pion” demi merealisasikan “naskah kisah” ciptaan Tuhan yang sedang bereksperimen-ria sehingga manusia ibarat kelinci percobaan. Ada yang dibuat berperan menjadi manusia jahat lengkap dengan sifat jahatnya, ada juga tokoh baik yang menjadi pahlawan, namun lebih banyak manusia-manusia yang lemah dan kurang tampan sekadar menjadi tokoh figuran semata.

Pada suatu ketika, sang tokoh antagonis berjumpa dengan seseorang wanita yang tewas di jalanan, meninggalkan anaknya yang masih sangat cilik. Sang tokoh antagonis melakukan konfrontasi dengan Tuhan, ketika Tuhan mengatakan kepada sang tokoh antagonis, bahwa wanita tersebut memang ditakdirkan untuk mati di jalan itu agar sang tokoh protagonis punya peran utama untuk menjadi tohoh protagonis yang menyerupai pahlawan yang berhati lembut dan penuh cinta-kasih kepada sang bocah cilik yang ditinggalkan. Inilah yang menjadi perkataan sang tokoh antagonis kepada Tuhan—si penulis script kisah kehidupan yang buruk—dengan penuh keprihatinan, frustasi, emosi, serta rasa terkejut : “Demi memuluskan rencana Engkau agar ada tokoh protagonis, Engkau membuat ibu dari anak malang itu meninggal dunia di jalan! Tahukah Engkau, Engkau telah menghilangkan sebuah nyawa. Sekalipun itu tokoh figuran, itu tetap sebuah NYAWA!

Pada akhir tahun 2020, terdapat Chinese Drama lain yang cukup populer pada masanya, yakni berjudul “EVER NIGHT”, dimana tokoh utamanya ialah anak seorang pembantu / pegawai biasa di sebuah kediaman (mansion). Seluruh keluarga dan penghuni lengkap dengan para pegawai kediaman tersebut, dibantai dalam satu malam, dimana satu-satunya yang selamat ialah sang tokoh utama yang berhasil meloloskan diri dan tumbuh dewasa dengan satu misi : membalas dendam. Inilah yang dikatakan oleh sang tokoh utama ketika pada akhirnya berjumpa dengan sang “mastermind” dibalik pembantaian satu keluarga pada saat ia masih kecil : “Aku bukanlah anak dari pemilik kediaman, aku adalah anak dari pelayan yang tewas pada malam pembantaian itu. Apakah seorang pegawai / pelayan, artinya boleh dirampas nyawanya begitu saja hanya karena ia seorang pegawai / pelayan?!” Pesan dari kedua kisah tersebut sangat jelas dan tegas, TETAP SAJA ITU SEBUAH NYAWA sekalipun hanya sebagai figuran ataupun pelayan biasa pada suatu kediaman!

Dari begitu banyak kisah-kisah drama yang dapat kita saksikan, salah satu tema klasik yang masih tetap populer di tengah masyarakat ialah, kisah dimana tokohnya tidak menyerah melawan nasib, bahkan “fighting against nature”, tidak tunduk pada ramalan, serta “self determination”. “SAYA YANG MENENTUKAN NASIB DAN MENCIPTAKAN MASA DEPAN SAYA SENDIRI!”, begitulah para tokoh-tokoh utama menyihir para penonton yang terkesima menyaksikan tokoh jagoannya tidak bertekuk lutut menyerah terhadap kejamnya kehidupan maupun kejinya alam tidak terkecuali buas serta liciknya sifat manusia-manusia ciptaan Tuhan. Kita pun menjadi turut bergairah penuh semangat, turut terinsipirasi untuk juga “fight against nature”.

Diberi nasib kanker, maka kita perlu berjuang untuk berobat, untuk sembuh dan sehat. Hujan deras atau sebaliknya kering-kerontang akibat El Nino maupun Na Lina yang membuat anomali cuaca selama sepanjang hari, tahun demi tahun, sebelum kemudian dibuatlah “modifikasi cuaca” seperti hujan buatan. Belum lagi perihal bencana alam—yang dalam Bahasa Inggris diistilahkan sebagai “the act of God”—seperti gunung meletus, gempa bumi, hingga juga wabah penyakit menular seperti polio hingga penyakit menular antar ternak, maupun terisolirnya suatu daerah ataupun kepulauan, dimana bahkan manusia tidak dikodratkan untuk merajai langit telah ternyata mampu menciptakan pesawat terbang bahkan pesawat ulang-alik yang mengangkasa ke luar Planet Bumi. Manusia tidak dikodratkan merajai lautan, tetap saja kapal selam mampu memetakan dasar samudera dan melintasi antara benua kini bukan lagi hal yang diluar biasa.

Kesemua contoh ilustrasi dibalik kisah-kisah diatas, sejatinya merupakan “bencana sehubungan dengan pandangan” yakni pandangan mengenai agama samawi yang bertopang pada “Tuhan-isme” atau “Tuhan-sentris”. Semboyan nomor satu dalam agama samawi ialah : TIDAK ADA YANG TERJADI TANPA RESTU, RENCANA, SEIZIN, MAUPUN KEHENDAK TUHAN. Artinya, segala sesuatunya terjadi akibat seizin serta rencana Tuhan, termasuk diperkosanya seorang wanita, dibunuhnya orang-orang tidak bersalah, berhasilnya para koruptor melakukan aksi korupsi berjemaah, penjahat yang justru meraih kursi kekuasaan di pemerintahan, kesenjangan sosial dan ekonomi yang kian lebar, tidak terkecuali berapa telur yang ditelurkan bebek si Danu bertelur pada hari ini, berapa banyak telur yang ditelurkan ayam-ayam di kandang si Bedu, maupun berapa helai daun di hutan belantara yang akan berguguran pada pagi hari ini, serta termasuk sebagai “pengatur skor pertandingan sepak bola” (yang ternyata lebih berkuasa para bandar jud!, karena skor hasil pertandingan dikendalikan oleh para mafia-mafia tersebut).

Perihal “bencana sehubungan dengan pandangan”, dapatlah kita merujuk kepada khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

130 (10) Keberhasilan

“Para bhikkhu, ada lima bencana ini. Apakah lima ini? Bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] sanak saudara, bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] kekayaan, bencana yang disebabkan oleh penyakit, bencana sehubungan dengan perilaku bermoral, dan bencana sehubungan dengan pandangan. Bukanlah karena bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] sanak saudara, atau bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] kekayaan, atau bencana yang disebabkan oleh penyakit maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Adalah karena bencana sehubungan dengan perilaku bermoral dan bencana sehubungan dengan pandangan, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bencana itu.

[Kitab Komentar : Bencana sehubungan dengan perilaku bermoral (sīlavyasana) jelas merujuk pada perilaku yang melanggar lima aturan etis, dan bencana sehubungan dengan pandangan (diṭṭhivyasana) merujuk pada penerimaan pandangan salah, khususnya pandangan yang menyangkal prinsip kamma dan akibatnya.]

“Para bhikkhu, ada lima keberhasilan ini. Apakah lima ini? Keberhasilan dalam hal sanak saudara, keberhasilan dalam hal kekayaan, keberhasilan dalam hal kesehatan, keberhasilan dalam hal perilaku bermoral, dan keberhasilan dalam hal pandangan. Bukanlah karena keberhasilan dalam hal sanak saudara, keberhasilan dalam hal kekayaan, keberhasilan dalam hal kesehatan maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Adalah karena keberhasilan dalam hal perilaku bermoral dan keberhasilan dalam hal pandangan maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima keberhasilan itu.”

~o~

238 (8) Seorang yang Layak Dicela (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

(3) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.

(4) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga.

(5) Ia kikir sehubungan dengan perolehan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. [266]

(3) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.

(4) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga.

(5) Ia tidak kikir sehubungan dengan perolehan.

Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.