(DROP DOWN MENU)

Modifikasi Cuara adalah HALAL LIFESTYLE ataukah MURTAD LIFESTYLE

Inkonsistensi dan Kerancuan Umat Agama Samawi, penuh STANDAR GANDA

Kita tahu, bahwa umat muslim paling suka memposisikan dirinya sebagai Tuhan, dengan membuat “ini itu adalah haram”. Namun, gaibnya, mengapa tiada muslim yang selama ini merasa paling tahu dan paling mengenal Tuhan, tidak pernah membuat “fatwa haram” terhadap operasi tumor / kanker, asuransi jiwa / kecelakaan, maupun modifikasi cuaca, sekalipun jelas-jelas kesemua itu sifatnya ialah melawan kehendak Tuhan? Tuhan memberikan kanker / tumor ganas sekalipun, itu adalah rencana, kuasa, serta kehendak Tuhan, maka mengapa si muslim justru pergi ke dokter untuk dioperasi agar kanker / tumor ganasnya tersebut diangkat serta diterapi kemoterapi?

Kita juga tahu bahwa para muslim selalu sesumbar bahwa hidup atau matinya manusia ada di tangan Tuhan, Tuhan yang menentukan umur setiap umat manusia, sehat ataupun penuh kecelakaan dan bencana yang menimpa bertubi-tubinya atau tidak. Karenanya, praktik asuransi nyata-nyata dan jelas-jelas bertentangan dengan kodrat si muslim yang hanya bisa pasrah menerima takdir, nasib, serta kuasa Tuhan, seolah-olah sang muslim sedang “membentengi diri” dari rencana maupun kehendak Tuhan dengan mempolis-asuransikan dirinya maupun anggota keluarganya. Anehnya, bahkan ada bidang usaha atau perusahaan yang bergerak dibidang “asuransi syariah”, seolah berhadap-hadapan dengan kuasa maupun kehendak Tuhan.

Begitupula fenomena alam berupa kekeringan parah maupun banjir ekstrem, bila Tuhan berkehendak bahwa para petani tidak bisa bertani terlebih memanen karena tiada hujan yang diturunkan oleh Tuhan, maka mengapa para muslim begitu rajinnya memanen awan agar tercipta hujan? Bila Tuhan berkehendak agar terjadi kebakaran hutan akibat kekeringan yang mudah memicu bibit-bibit api akibat terik sengatan matahari tanpa hujan, maka itulah jadinya. Bila Tuhan berkehendak sebaliknya, berhari-hari hujan lebat tanpa henti, mengakibatkan banjir hebat yang menghanyutkan, maka mengapa juga para muslim perlu menaruh waspada, bukankah Tuhan “Maha Baik” dan “Maha Pemurah” disamping “Maha Kuasa juga Penyayang”?

Mungkin Sang Buddha akan menyebut agama-agama samawi sebagai “agama gosip penuh spekulasi”, dimana para umatnya adalah para manusia-manusia tidak rasional yang merasa senang tertipu dan bangga ditipu atau bahkan memang hendak menipu dirinya sendiri. Bagai ber-“standar ganda”, ini dan itu mereka sebut sebagai “terjadi atas seizin dan kehendak serta rencana Tuhan”, namun ketika musibah menimpa diri mereka, mereka lalu memungkirinya. Bahkan, Sang Buddha bisa jadi akan menyebut mereka sebagai kaum yang “tumpul dan bodoh”, selengkapnya dapat kita simak khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

V. Tikaṇḍakī

141 (1) Setelah Memberi, Ia Merendahkan

“Para bhikkhu, ada lima jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah lima ini? Seorang yang memberi dan kemudian merendahkan; seorang yang merendahkan sebagai akibat dari hidup bersama; seorang yang mudah tertipu oleh gosip; seorang yang berubah-ubah; dan seorang yang tumpul dan bodoh.

(1) “Dan bagaimanakah seseorang adalah seorang yang memberi dan kemudian merendahkan? Di sini, seseorang memberikan kepada orang lain jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Ia berpikir: ‘Aku memberi; ia menerima.’ Setelah memberikan kepadanya, ia merendahkannya. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang yang memberi dan kemudian merendahkan.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang adalah seorang yang merendahkan sebagai akibat dari hidup bersama? [165] Di sini, seseorang hidup bersama dengan orang lain selama dua atau tiga tahun. Kemudian ia merendahkan orang lainnya itu karena mereka telah hidup bersama. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang yang merendahkan sebagai akibat dari hidup bersama.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang mudah tertipu oleh gosip? Di sini, ketika pujian atau celaan sedang dibicarakan tentang orang lain, ia segera mempercayainya. Dengan cara inilah seseorang yang mudah tertipu oleh gosip.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berubah-ubah? Di sini, keyakinan seseorang, kesetiaannya, kasih sayangnya, dan kepercayaannya lemah. Dengan cara inilah seseorang berubah-ubah.

(5) “Dan bagaimanakah seorang yang tumpul dan bodoh? Di sini, seseorang tidak mengetahui kualitas-kualitas apa yang bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat, kualitas-kualitas apa yang tercela dan apa yang tidak tercela, kualitas-kualitas apa yang rendah dan apa yang tinggi; ia tidak mengetahui kualitas-kualitas yang gelap dan terang bersama dengan padanannya. Dengan cara inilah seseorang tumpul dan bodoh.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

Coba lihat kelakuan masyarakat kita di Indonesia, kerap menghujat pejabat yang korupsi (koruptor), padahal sang koruptor bisa terpilih sebagai pejabat karena seizin Tuhan, begitupula ketika sang pejabat melakukan korupsi, bukankah itu juga atas kuasa serta seizin Tuhan? Bukankah tidak ada yang mungkin terjadi bila tidak ada kehendak, rencana, serta seizin maupun kuasa Tuhan—terlebih ketika sang koruptor selalu berhasil melakukan aksi korupsinya tanpa tersentuh oleh hukum. Bila memang kejahatan sekalipun adalah atas seizin dan kuasa Tuhan, sebagaimana bencana alam (the act of God), maka mengapa penjahat-penjahat tersebut dijebloskan ke penjara serta ke neraka?

Ketika menjadi pelaku, para umat agama samawi melontarkan jargon-jargon “segala sesuatunya terjadi atas seizin dan kuasa / kehendak / rencana Tuhan”. namun, giliran mereka menjadi korban, mana nama Tuhan pun mereka masukkan ke dalam kantong lalu berkoar-koar menuntut keadilan seolah-olah kejadian yang menimpanya bukanlah atas dasar kehendak, seizin, kuasa, maupun rencana Tuhan. Bukankah Anda sepakat bahwa tiada yang lebih inkonsisten dan ber-“standar ganda” daripada umat-umat agama samawi? Cobalah lihat tayangan-tayangan sinetron dimana para muslim mengemis-ngemis belas-kasih Tuhan sembari merengek-rengek, seolah-olah Tuhan adalah “TIDAK Maha Tahu” sehingga harus diberi-tahu harus bagaimana dan jangan melakukan apa terhadap diri si muslim.