Seni Tidak Kikir terhadap Diri Kita Sendiri

Seni Mengubah Petaka, menjadi Berkah

Penulis adalah pribadi yang sangat berhemat dalam hal pengeluaran keuangan. Sukar untuk menjumpai dan menemukan pria yang lebih hemat daripada penulis. Mungkin sebagian besar kalangan akan menilai bahwa penulis sedang “menyiksa diri sendiri” lewat gaya hidup penuh kesederhanaan dan kebersahajaan demikian. Namun, kemudian timbul inspirasi di benak penulis, bagaimana cara mengubah “petaka” demikian, menjadi sebentuk “berkah”? Kabar baiknya, ada seninya sebagai solusi efektif, dan akan penulis ulas secara lugas dalam kesempatan kali ini. Sebagai contoh sederhana, ketika penulis secara irasional begitu pemalas untuk melakukan sesuatu tugas tertentu, maka penulis menyusun suatu strategi manajemen diri, berupa menetapkan ataupun membuat ketetapan dalam hati, bahwa jika prosesnya betul-betul penulis jalani, maka penulis akan memberikan hadiah kepada diri penulis sendiri. Dengan begitu, penulis tidak akan berfokus pada sukarnya proses yang akan dilalui, namun berfokus pada hadiah yang berpotensi akan penulis dapatkan—meski yang akan memberikan hadiah ialah diri penulis sendiri.

Berikan hadiah kepada diri kita sendiri, ketika kita berani dan bertekad menjalankan sebuah proses yang memang harus kita kerjakan, tanpa lagi dibiarkan tertunda-tunda secara berlarut-larut. Kedua, berikan pula hadiah kepada diri kita sendiri, ketika kita berhasil mewujudkan ataupun menyelesaikan sesuatu tugas yang selama ini telah atau akan kita tunda-tunda. Cobalah tips sederhana di atas, dan rasakan dampak hebat yang mampu mengubah kehidupan dan cara Anda menjalani hidup, menjadi lebih bersemangat serta termotivasi menjalani hidup yang produktif dan sehat. Memberikan hadiah kepada diri kita sendiri, ketika menjalani sesuatu proses, terlepas dari berhasil atau tidaknya, sekaligus menjadi cerminan betapa kita mencintai dan menghargai diri kita sendiri. Bahkan, sekalipun kita menemui kegagalan, kita tetap perlu memberikan hadiah kepada diri kita, sebagai bentuk apresiasi telah menjalani prosesnya dengan kemampuan terbaik kita. Terkadang, rasa sayang memang harus diekspresikan, tidak cukup lewat perkataan “Aku cinta dan sayang kamu” ataupun seperti “Aku cinta dan sayang kepada diri saya sendiri”.

Adalah betul ketika Ajahn Brahm berkata bahwa, yang seringkali berat ialah memikirkan apa yang harus kita jalani dan lewati ketika mengerjakan sebuah tugas yang kita tunda-tunda selama ini. Ketika kita terjun untuk mengerjakannya, ternyata tidak seberat beban dalam pemikiran kita selama ini. Yang berat ialah memikirkannya, itulah fenomena kehidupan yang sangat relevan dan bisa kita buktikan sendiri bobot kebenarannya dalam realita kehidupan berumah-tangga, dalam berkarir, dalam bersekolah, dan sebagainya.

Daya tahan, menentukan kualitas batin seseorang dan membedakan orang tersebut dari kebanyakan orang lainnya, dapat kita jumpai dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan yang inspiratif sebagai berikut:

75 (5) Prajurit (1)

“Para bhikkhu, ada lima jenis prajurit ini terdapat di dunia. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang prajurit, ketika melihat awan debu, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit pertama yang terdapat di dunia.

[Kitab Komentar : Awan debu berupa kumpulan debu yang muncul dari tanah, yang telah terinjak-injak oleh kaki gajah, kuda, dan sebagainya.]

(2) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke dua yang terdapat di dunia.

(3) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke tiga yang terdapat di dunia.

(4) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke empat yang terdapat di dunia.

(5) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, hiruk-pikuk, [90] dan serangan. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke lima yang terdapat di dunia.

“Ini adalah kelima jenis prajurit itu yang terdapat di dunia.

“Demikian pula, ada lima jenis orang ini yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu, ketika ia melihat awan debu, merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Apakah awan debu dalam hal ini? Bhikkhu itu mendengar: ‘Di suatu desa atau pemukiman terdapat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa.’ Setelah mendengar hal ini, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah awan debu dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang, ketika ia melihat awan debu, merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis pertama yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

[Kitab Komentar : Ini adalah metode yang ditetapkan untuk meninggalkan status monastik. Seseorang menyatakan kepada seorang lainnya (biasanya seorang bhikkhu) tentang ketidak-mampuannya untuk menjalankan latihan, mengganti jubahnya menjadi pakaian biasa, menerima lima sila, dan kembali ke kehidupan awam.]

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Apakah panji-panji dalam hal ini? Bhikkhu itu tidak mendengar: ‘Di suatu desa atau pemukiman terdapat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa,’ melainkan ia sendiri melihat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa. Setelah melihatnya, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan [91] tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah panji-panji dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke dua yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Apakah hiruk-pikuk dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, tersenyum kepadanya, berbincang-bincang dengannya, tertawa padanya, dan menggodanya. Ketika perempuan itu tersenyum kepadanya, berbincang-bincang dengannya, tertawa padanya, dan menggodanya, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah hiruk-pikuk dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke tiga yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu, panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Apakah serangan dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, [92] atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, duduk atau berbaring di sebelahnya, dan merangkulnya. Ketika ia melakukan hal itu, bhikkhu itu melakukan hubungan seksual dengannya tanpa meninggalkan latihan dan tanpa mengungkapkan kelemahannya. Ini adalah serangan dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu, panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke empat yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(5) Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu, panji-panji, hiruk-pikuk, dan serangan. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Apakah kemenangan dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, duduk atau berbaring di sebelahnya, dan merangkulnya. Tetapi ia melepaskan dirinya, membebaskan dirinya, dan pergi ke mana pun yang ia kehendaki.

“Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pemakaman, hutan pegunungan, ruang terbuka, tumpukan jerami. Setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan pada dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari kerinduan; ia memurnikan pikirannya dari kerinduan. Setelah meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran bebas dari niat buruk, berbelas kasihan pada semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Setelah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, ia berdiam dengan bebas dari ketumpulan dan kantuk, mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih; ia memurnikan pikirannya dari ketumpulan dan kantuk. Setelah meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa gejolak, dengan pikiran damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Setelah meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, [93] tidak bingung sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, kekotoran pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat, yang tidak menyakitkan juga tidak menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’ Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’ Ini adalah kemenangan dalam pertempuran.

“Para bhikkhu, Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu, panji-panji, hiruk-pikuk, dan serangan, dan yang setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke lima yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

“Ini adalah kelima jenis orang itu yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.