Makna Ikhtiar dalam Perspektif Agama Samawi
Question: Sering kita dengar orang menyebut-nyebut istilah “ikhtiar”. Sebenarnya hewan atau makanan apakah itu “ikhtiar”?
Brief Answer: Ikhtiar dalam perspektif “Agama SUCI”, artinya
berlatih dalam disiplin diri “gaya hidup higienis dari perilaku dosa” (self-control), mengingat “berbuat dosa merupakan
aurat terbesar”. Ikhtiar dalam perspektif “Agama KSATRIA”, artinya berupaya
keras untuk bersikap penuh tanggung-jawab terhadap pihak-pihak yang telah pernah
ia sakiti, lukai, maupun rugikan, sehingga para korbannya tidak perlu mengemis-ngemis
pertanggung-jawaban dari sang ksatriawan. Sebaliknya, makna ikhtiar menurut “Agama
DOSA” tidak lain tidak bukan ialah “lanjut buat dosa terus sebagai business as usual”, dan disaat bersamaan
mencandu ritual “penghapusan / pengampunan dosa” ataupun “penebusan dosa” (abolition of sins), dimana jelas hanya seorang
pendosa yang butuh penghapusan dosa.
Terhadap dosa dan maksiat, demikian kompromistik.
Namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan, demikian intoleran. Praktis, implementasi
“ikhtiar” dalam dogma-dogma agama samawi, ialah berputar-putar dalam siklus “produktif
mencetak segunung dosa” serta “berkubang dalam dosa”, dan disaat bersamaan
rajin ibadah (ritual permohonan penghapusan dosa) setiap harinya, rajin puasa
satu bulan untuk setiap tahunnya sehingga dosa-dosa selama setahun penuh
terhapuskan (“kabar baik” bagi pendosa artinya “kabar buruk” bagi korban-korban
para pendosawan tersebut), membersihkan penghasilan / harta kotor lewat zakat
2,5% (money laundring pakai “recehan”,
paling disukai koruptor), serta sering-sering ibadah umroh menciumi batu hitam
hajar aswad agar dosa-dosanya terhapuskan.
Seakan belum cukup sampai disitu, ketika
meninggal dunia, sanak-keluarga sang almarhum pendosawan melantunkan doa-doa “penghapusan
dosa”. Seolah-olah, Tuhan lebih PRO terhadap pendosawan alih-alih bersikap adil
terhadap kalangan korban. Mereka, para pendosawan tersebut, begitu pemalas
untuk menanam Karma Baik, dan disaat bersamaan terlampau penyecut untuk
bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri. Itulah juga yang
mereka sebut sebagai “kaum yang merugi” bila tidak menjadi pecandu ideologi
korup bernama “penghapusan dosa”—sekalipun akal sehat dan pikiran jernih sudah
cukup menjelaskan, sifat iming-iming demikian ialah “too good to be true”. Semua orang sanggup menjadi seorang “pendosa
penjilat penuh dosa”, apa hebatnya?
PEMBAHASAN:
Untuk meluruskan “salah-kaprah”
mengenai kategorisasi agama yang berkembang luas di masyarakat, terlebih dahulu
patut kita telaah dan pahami uraian tiga kategorisasi besar agama-agama yang
dikenal di dunia, yakni:
1.) Agama SUCI. Sebagaimana namanya, umat
pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana tidak butuh ideologi
korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh ideologi ataupun
iming-iming korup demikian, maka timbul distingsi pembeda (perbandingan) antara
si “suciwan” dan si “pendosa”. Para suciwan memuliakan Tuhan, dengan cara
menjadi manusia yang mulia. Hanya seorang pendosa, yang butuh iming-iming
ideologi korup bernama “penghapusan dosa”;
Para
suciwan disebut demikian, suci dan suciwan, semata karena lebih memilih hidup
dalam latihan diri yang ketat dalam praktik kontrol diri dan mawas diri (self-control), dimana mawas diri dan
perhatian terhadap perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri adalah objek perhatian
utamanya, sehingga tiada seorang lainnya pun yang akan disakiti, dirugikan,
terlebih dilukai oleh sang suciwan. Mereka memurnikan serta memuliakan dirinya
dengan usaha diri mereka sendiri, tanpa noda, dan tidak tersandera, tanpa cela,
bebas sempurna, dan tercerahkan—yang dalam bahasa Buddhistik, “break the chain of kamma”;
2.) Agama KSATRIA. Sebagaimana namanya, umat
pemeluknya ialah seorang ksatria, yang mana memilih untuk
bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya yang telah
pernah ataupun masih dapat menyakiti, melukai, dan merugikan pihak-pihak
lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya, dimana
korban-korbannya tidak perlu bersusah-payah menagih tanggung-jawab, bahkan sang
ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan
ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih
merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya
tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya. Singkat kata, para kaum ksatria
senantiasa “tahu diri”.
Ideologi
bertanggung-jawab yang penuh tanggung-jawab kalangan ksatria, dianggap sebagai
ancaman maupun musuh terbesar di mata kaum dosawan yang membuat para dosawan
tersebut tampak sebagai “manusia sampah” yang selama ini menjadi pecandu tetap
iming-iming “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sementara kalangan
ksatria justru mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan
berke-jantan-an alih-alih “cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab.
Kalangan korban yang telah dirugikan / terluka, tidak perlu sibuk menagih
tanggung-jawab—terlebih mengemis-ngemis tanggung-jawab—dari seseorang berjiwa
ksatria. Karenanya, seorang ksatria layak menyandang gelar sebagai seseorang
yang “jantan”, alias jentelmen, bukan “pengecut” yang lari dari tanggung-jawab
maupun “cuci dosa” (sins laundring);
3.) Agama DOSA. Sebagaimana namanya, umat
pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa, dimana para dosawan menjadi
umatnya, yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa semata agar dapat menjadi
pecandu yang mencandu ideologi korup penuh kecurangan bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition
of sins)—masuk ke dalam lingkaran komunitas “pendosa”, memakan dan termakan
ideologi korup penuh kecurangan, terjebak untuk selamanya, “point of no return”.
Bagaikan
raja yang lalim, yang senang ketika dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu
memberikan hadiah, dan akan murka sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud
sebelum kemudian memberikan hukuman, maka para pendosa yang pandai menyanjung
dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh dosa) akan dimasukkan ke alam surgawi—alam
dimana telah sangat tercemari oleh kekotoran batin para pendosa yang menjadi
mayoritas penghuninya jika tidak dapat disebut sebagai satu-satunya penghuni
alam surgawi. Dengan kata lain, secara tidak langsung, para dosawan
menggambarkan sosok Tuhan tidak ubahnya “raja yang lalim”.
Itulah
penjelasannya, mengapa berbagai penjara di Indonesia tidak pernah sepi dari
para narapidana penghuninya, bahkan sepanjang tahun selalu mengalami fenomena
klise “overcapacity” dan “overload” yang konon sepanjang tahunnya
hampir mendekati 200% kapasitas maksimum, sekalipun bangsa kita dikenal
“agamais” (kurang “agamais” apa, warga di negeri ini?), disamping fakta aktual
bahwasannya jauh lebih banyak aduan maupun laporan warga korban pelapor yang
diabaikan dan ditelantarkan oleh aparatur penegak hukum. Alam surgawi,
karenanya, menjadi menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana para pendosa
kembali beraksi tanpa “self-control”
(menyakiti, merugikan, maupun melukai) orang-orang maupun makhluk-makhluk
lainnya. Ketika kalangan pendosawan ini berceramah perihal hidup mulia, itu
ibarat orang buta hendak menuntun kalangan butawan lainnya, alam neraka pun
disebut sebagai “surga”.
Selanjutnya, kita akan
mendalami “ikhtiar” dalam Buddhisme, yakni kiat cara memperbaiki nasib hidup,
sebagai bekal dimasa mendatang maupun untuk kehidupan mendatang, sebagaimana khotbah
Sang Buddha yang sangat memotivasi dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
IV. Sumanā
31 (1) Sumanā [Kitab Komentar mengidentifikasi
Sumanā sebagai putri Raja Pasenadi dari Kosala.]
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Putri Sumanā,
disertai oleh lima ratus kereta dan lima ratus dayang, mendatangi Sang Bhagavā,
bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Putri Sumanā berkata
kepada Sang Bhagavā:
“Di sini, Bhante, mungkin ada
dua orang siswa Sang Bhagavā yang setara dalam hal keyakinan, perilaku
bermoral, dan kebijaksanaan, tetapi yang satu dermawan sedangkan yang lainnya
tidak. Dengan hancurnya jasmani, [33] setelah kematian, mereka berdua terlahir
kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ketika mereka telah menjadi
deva, apakah ada kesenjangan atau perbedaan antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya
dalam lima hal: umur kehidupan surgawi, kecantikan surgawi, kebahagiaan
surgawi, keagungan surgawi, dan kekuasaan surgawi. Yang dermawan, setelah
menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika kedua
orang ini meninggal dunia dari sana dan sekali lagi menjadi manusia, apakah
masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan
mengungguli yang lainnya dalam lima hal: umur kehidupan manusia, kecantikan
manusia, kebahagiaan manusia, kemasyhuran manusia, dan kekuasaan manusia.
Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang
lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika kedua
orang ini meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan
tanpa rumah, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli
yang lainnya dalam lima hal. (1) Ia biasanya mengenakan jubah yang telah secara
khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara
khusus dipersembahkan kepadanya. (2) Ia biasanya memakan makanan yang telah
secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak
secara khusus dipersembahkan kepadanya. (3) Ia biasanya menempati tempat tinggal
yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati tempat
tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (4) Ia biasanya
menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara
khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menggunakan obat-obatan dan
perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya.
(5) Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia menetap, biasanya
memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan,
dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. Mereka biasanya
memberikan kepadanya apa yang menyenangkan, jarang memberikan [34] apa yang
tidak menyenangkan. Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan
mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika keduanya
mencapai Kearahattaan, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara
mereka setelah mereka mencapai Kearahattaan?”
“Dalam hal ini, Sumanā, Aku
nyatakan, tidak ada perbedaan antara kebebasan [yang satu] dan kebebasan [yang
lainnya].”
“Menakjubkan dan
mengagumkan, Bhante! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk
memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena
perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi]
menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.”
“Demikianlah, Sumanā!,
demikianlah, Sumanā! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus
untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan
itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia,
atau meninggalkan keduniawian.”
Itu adalah apa yang dikatakan
oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna Menempuh Sang
Jalan, Sang Guru, lebih lanjut berkata sebagai berikut:
“Seperti halnya rembulan
tanpa noda bergerak di sepanjang lintasan di angkasa cahayanya lebih cemerlang
daripada semua bintang di dunia, demikian pula seseorang yang sempurna dalam
perilaku bermoral, seorang yang memiliki keyakinan, lebih cemerlang karena
kedermawanan daripada semua orang kikir di dunia.
“Seperti halnya awan hujan
berpuncak-seratus, bergemuruh, di dalam lingkaran halilintar, menurunkan hujan
ke bumi membanjiri dataran-dataran dan tanah rendah, demikian pula siswa
Yang Tercerahkan Sempurna, yang bijaksana yang sempurna dalam penglihatan, melampaui
orang kikir dalam lima aspek: umur kehidupan dan keagungan, kecantikan dan
kebahagiaan. Memiliki kekayaan, setelah kematian ia bergembira di alam surga.”
[35]
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.