Mengapa Masyarakat Agamais di Indonesia, justru Tidak Takut Berbuat Dosa? Ini Penjelasannya

Dosa dan Maksiat Disebut HARAM, namun Penghapusan Dosa Disebut HALAL dan Dijadikan HALAL LIFESTYLE

Question: Mengapa sampai-sampai ada seorang muslim, yang mengatakan atau membuat pengakuan secara terbuka bahwa tidak ada yang ditakutkan oleh para muslim, sekalipun itu mencuri ataupun berjudi, kecuali terhadap “babi”? Bahkan ada muslim lain yang menimpali, meskipun untuk sekadar guyonan, bahwa bila “babi”-nya di-“sunat”, maka akan menjadi “halal” juga. [Dikutip dari Radio Elshinta FM 90 Jakarta, tanggal 10 Oktober 2024]

Brief Answer: Antara dogma “dosa dan maksiat adalah haram” dan “penghapusan dosa adalah halal”, keduanya terdiri dari dua proposisi yang saling bertolak-belakang alias saling menegasikan satu sama lainnya, alias saling inkonsisten satu dogma dan dogma lain dari ajaran internal agama yang sama. Ini dan itu disebut sebagai “dosa” dan “maksiat”, seolah-olah mereka adalah “moralis” yang berhak menjadi “polisi moral” yang karenanya juga berhak menghakimi orang lain, sebelum kemudian berdelusi sebagai kaum yang paling “superior”.

Akan tetapi disaat bersamaan, mereka begitu kompromisik terhadap “dosa” dan “maksiat”, dan disaat bersamaan begitu intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan. Sekalipun, jelas-jelas bahwa ideologi korup bernama “penghapusan dosa” tidak dapat dinikmati bila tidak ada “dosa” maupun “maksiat” untuk dihapus. Agar dapat menikmati iming-iming “penghapusan dosa”, untuk itu terlebih dahulu Anda perlu berkubang dalam dosa, menimbun diri dengan segudang dosa, produktif dalam memproduksi dosa, dan mengoleksi segunung dosa. Itulah latar-belakangnya, mengapa mereka meng-klaim bahwa yang tidak menganut “Agama DOSA” merupakan kaum yang “merugi”.

PEMBAHASAN:

Ironisnya, definisi dari “Islam” ialah “patuh secara MUTLAK”. Karenanya, terhadap dogma-dogma dalam Islam, tidak boleh dikritisi ataupun dipertanyakan. Para muslim memeluk Islam, adalah bukan atas dasar pilihan maupun kesukarelaan, namun keterpaksaan tanpa pilihan, dibawah ancaman pedang maupun ancaman-ancaman dogmatik seperti “nonmuslim dilempar ke neraka”. Bertolak-belakang dengan Buddhisme, dimana para Buddhist memeluk Agama Buddha atas dasar kesukarelaan dan pilihan pribadinya tanpa adanya paksaan ataupun iming-iming maupun ancaman dogmatik. Rajin menanam Karma Baik, buahnya manis dipetik sendiri. Menanam Karma Buruk, menuai keburukan, sekalipun itu seorang Ateis. Itulah prinsip egalitarian berbasis “merit system”. Sekalipun kita tahu bahwa “berbuat dosa merupakan AURAT TERBESAR”, tetap saja banyak yang merasa bangga mempertontonkan kebodohan dirinya yang menjadi pemeluk dan pengikut dogma-dogma delusif berikut:

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Berbuat dosa—menjahati, melukai, maupun merugikan pihak lain—membuat perspektif berpikir dan memandang si pelaku menjadi keruh dan tumpul, sehingga tidak lagi mampu berpikir secara logis, kritis, dan jernih. Mengapa para muslim, kerap menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik, menghakimi orang lain (persekusi), serta “beringas”? Itu karena mereka sadar bahwa batin mereka tidak bahagia. Orang yang bahagia dalam hatinya, tidak akan menyakiti ataupun merugikan orang lain. Relevan terhahap bahasan di atas, kita dapar merujuk langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

236 (6) Seorang yang Layak Dicela (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang mencurigakan. (4) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang seharusnya dipercaya. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang mencurigakan. (4) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang seharusnya dipercaya. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

~0~

237 (7) Seorang yang Layak Dicela (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (4) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (4) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.