Bobot dalam Perspektif Buddhisme, Memberi secara Selektif
Question: Agama Buddha selalu mengajarkan kebaikan dengan cara memberi sesuatu kepada orang lain dalam setiap kesempatan. Namun apakah artinya, harus memberikan sesuatu secara tanpa pandang bulu dan secara membuta begitu saja?
Brief Answer: Sebaliknya, Sang Buddha mengajarkan kepada para
muridnya agar menjadi orang “baik yang bijaksana”, bukan menjadi “orang baik
yang dungu”. Tepat guna, tepat sasaran, dan tepat pada waktunya, prinsip
demikian berlaku dalam segala aspek kehidupan. Perihal “tepat sasaran”,
bilamana orang-orang yang hendak diberi subsidi oleh pemerintah, maka haruslah orang-orang
yang tergolong tidak mampu secara ekonomi, bukan para warga yang sebetulnya
mampu, namun akibat keserakahan lantas “mengaku miskin” ataupun “mendadak
miskin”. Prinsip “tepat sasaran” bila dicermati dari sudut pandang kualitas batin
pihak yang hendak dituju suatu pemberian atau yang akan menerima pemberian,
haruslah kita cermati terlebih dahulu, apakah moralitas dan tingkat kualitas
batinnya patut dan layak mendapat persembahan dan penghormatan?
Jangan hanya karena seseorang tampil bak “berkaki
buntung”, buta (tunanetra), tampak seperti gelandangan yang kelaparan dan
memprihatinkan, ataupun mereka yang memakai jubah seorang bhikkhu, maka kita
memberikan mereka dana ataupun persembahan secara membuta. Namun telah ternyata,
tidak jarang banyak diantara mereka yang sejatinya hanyalah kalangan “penipu
tulen” alias “original penipu”. Bahkan, memberikan makan seekor anjing masih
lebih mulia dan lebih besar Karma Baiknya ketimbang memberi makan seorang
koruptor. Lihatlah fenomena pamer kebodohan yang dipertontonkan Bangsa Indonesia,
ada calon Kepala Daerah ataupun Kepala Daerah yang korup, mengorupsi dan
memiskinkan bangsanya sendiri, telah ternyata para warga pendukungnya membela
sang koruptor secara membuta dan mati-matian, serta masih kembali memilihnya
sebagai Kepala Daerah.
PEMBAHASAN:
Sang Buddha mempromosikan sikap cerdas serta mengkampanyekan
“gaya hidup suka berderma secara bijak”, sebagaimana dapat kita jumpai lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
I. Layak Menerima Pemberian
1 (1) Layak Menerima Pemberian
(1)
Demikianlah yang kudengar. Pada
suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman
Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”
“Yang Mulia!” Para bhikkhu itu
menjawab.
Sang Bhagavā berkata sebagai
berikut:
“Para bhikkhu, dengan memiliki
enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak
menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan,
lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini?
(1) Di sini, setelah melihat
suatu bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih,
melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan
jernih.
[N’eva sumano hoti na dummano, upekkhako viharati sato
sampajāno. Kitab Komentar menerangkan :
“Tidak bergembira juga tidak bersedih: [dipenuhi] dengan kegembiraan yang
disertai dengan nafsu sehubungan dengan objek yang disenangi. Juga [ia tidak]
bersedih: [dipenuhi] dengan kesedihan yang disertai dengan penolakan sehubungan
dengan objek yang tidak disenangi. Melainkan [ia] berdiam dengan seimbang,
penuh perhatian, dan memahami dengan jernih: ia bukan seimbang karena ia telah
jatuh ke dalam ‘keseimbangan ketidaktahuan’ (aññāṇ’upekkhā) melalui sikap tidak peduli dalam hal objek yang netral;
melainkan, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mempertahankan
netralitas sehubungan dengan objek. Dalam sutta ini, yang dibahas adalah
keberdiaman konstan seorang Arahant.”]
(2) Setelah mendengar suatu
suara dengan telinga, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan
berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.
(3) Setelah mencium suatu
bau-bauan dengan hidung, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan
berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.
(4) Setelah mengalami suatu
rasa kecapan dengan lidah, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak
bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami
dengan jernih.
(5) Setelah merasakan suatu
objek sentuhan dengan badan, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak
bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami
dengan jernih.
(6) Setelah mengenali suatu
fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih,
melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan
jernih. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak
menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima
persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di
dunia.”
Ini adalah apa yang dikatakan
oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu puas mendengar pernyataan
Sang Bhagavā. [280]
~0~
2 (2) Layak Menerima Pemberian
(2)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak
menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima
penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini?
(1) “Di sini, seorang bhikkhu
mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari
banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa terhalangi menembus
tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; ia
menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; ia
berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk
bersila, ia terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia
menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia
mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā.
(2) “Dengan elemen telinga dewa,
yang murni dan melampaui manusia, ia mendengar kedua jenis suara, surgawi dan
manusia, yang jauh maupun dekat.
(3) “Ia memahami pikiran
makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan
pikirannya sendiri. Ia memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan
nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian
sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran
tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan
pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai
pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai
pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran terlampaui
sebagai pikiran terlampaui dan pikiran tidak terlampaui sebagai pikiran tidak
terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran
tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan
sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak
terbebaskan.
(4) “Ia mengingat banyak
kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat
kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran,
empat puluh kelahiran, lima puluh [281] kelahiran, seratus kelahiran, seribu
kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak
kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan
dunia, sebagai berikut: ‘Di sana aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan
begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti
ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir
kembali di tempat lain, dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan
penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku
seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku
terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya
dengan aspek-aspek dan rinciannya.
(5) “Dengan mata dewa, yang
murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan
terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan buruk dan berpenampilan baik,
kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai
kamma mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam
perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia,
menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan
salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di
alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi
makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani,
ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan
benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan
hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan yang
baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan
melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir
kembali, hina dan mulia, berpenampilan buruk dan berpenampilan baik, kaya dan
miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma
mereka.
(6) “Dengan hancurnya
noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan
langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan
melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.
“Dengan memiliki keenam kualitas
ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak
menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima
penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”
~0~
3 (3) Indria
“Para bhikkhu, dengan memiliki
enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima
keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa
yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? [282] Indria keyakinan,
indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi,
indria kebijaksanaan; dan dengan hancurnya noda-noda, ia telah
merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam
kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui
kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan
memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak
menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan,
lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.