EQ artinya Tahu Batas, Sadar Batasan, dan Mampu Membatasi Diri

EQ Tidak Ada Kaitannya dengan Intovert maupun Ekstrovert

Question: Apakah yang dimaksud dengan EQ (kecerdasan emosional,  emotional quotient), artinya pandai menyusun siasat dan licik dalam memanipulasi maupun mengeksploitasi orang lain tanpa orang lain tersebut menyadarinya?

Brief Answer: Sebaliknya, seseorang dengan EQ yang memadai atau bahkan tinggi, memiliki pemahaman perihal apa yang disebut sebagai “tahu batas”, yang dalam Bahasa Inggris kerap diistilahkan sebagai “don’t cross the line”. Sehingga, dalam praktik implementasinya, mereka dengan tingkat EQ yang memadai, sekalipun masih dapat berbuat kenakalan akan tetapi tetap “tahu batas”, sekalipun masih kerap bersifat pemalas namun tetap “tahu batas”, sekalipun masih berbohong namun “tahu batas”, sekalipun ditolerir / dimaafkan oleh orang lain namun tetap “tahu batas”, sekalipun tidak menaruh perduli namun tetap “tahu batas”, sekalipun menginginkan / menyukai sesuatu namun tetap “tahu batas”, sekalipun terobsesi namun tetap “tahu batas”, sekalipun posesif namun tetap “tahu batas”, sekalipun egoistik namun tetap “tahu batas”, sekalipun narsistik namun tetap “tahu batas”.

Itulah sebabnya, kalangan pengusaha yang paham, menghayati, menjiwai, serta mempraktikkan apa yang disebut sebagai “etika berbisnis”, merupakan pengusaha-pengusaha yang memiliki EQ yang mumpuni. Sekalipun kita sedang mengalami antusias atau sebaliknya, kemurungan akibat berita duka ataupun kejadian buruk, kita tetap perlu “cool down” agar senantiasa “under control”, dengan mengetahui batas-batas berduka, batas-batas bersedih, batas-batas bersuka-cita, batas-batas luapan kegembiraan, dan batas-batas lainnya. Bila kita gambarkan dalam bentuk grafik, maka kurvanya cenderung stabil, tidak ekstrem labil naik tinggi maupun menurun secara curam.

Ketika seseorang terobsesi untuk menang, akan tetapi tidak mengenal kata “batas”, akibatnya ialah yang bersangkutan tidak memahami apa yang disebut sebagai “seni menang dan kalah”. Sebaliknya juga, ketika seseorang pandai memanipulasi pikiran orang lain, seorang “maniak kendali”, namun gagal mengendalikan dan menertibkan pikiran dan jiwanya sendiri, maka yang bersangkutan tidak patut disebut memiliki EQ tinggi untuk ditiru ataupun diteladani. Untuk itulah, penting bagi kita untuk melepaskan diri dari standar-standar konvensional ketika memberikan penilaian perihal EQ seseorang, agar tidak menghakimi secara “dangkal”.

PEMBAHASAN:

Meski demikian, tampaknya yang dimaksud dengan EQ dari perspektif Buddhisme cukup berbeda dari pemaknaan secara konvensional. Sebagai contoh, apakah para koruptor yang dikenal memiliki jejaring politik luas, punya banyak kenalan dan jaringan sosial, artinya memiliki EQ yang tinggi? Apakah seseorang introvert, yang sekalipun tidak bersedia menghabiskan banyak waktunya untuk bersosialisasi namun penuh empati serta gemar berbuat kebajikan, disebut sebagai seseorang dengan EQ rendah alias “abnormal”? Dalam Buddhistik, seseorang yang moralitasnya kokoh tidak tercela, merupakan seseorang yang ber-EQ tinggi, mengingat dirinya memperlakukan orang lain sebagaimana dirinya ingin diperlakukan, dan disaat bersamaan tidak memperlakukan orang lain sebagaimana dirinya sendiri tidak ingin diperlakukan.

Integritas diri, tampaknya menjadi esensi dari latihan disiplin diri seorang manusia, dimana integritas diri dapat “menulari” orang-orang di dekat kita, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

40 (10) Pohon Sal

“Para bhikkhu, dengan berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam lima hal. Apakah lima ini?

(1) Pepohonan itu tumbuh dalam hal dahan, daun, dan kerimbunan;

(2) pepohonan itu tumbuh dalam hal kulit kayunya;

(3) pepohonan itu tumbuh dalam hal tunas;

(4) pepohonan itu tumbuh dalam hal kayu lunak; dan

(5) pepohonan itu tumbuh dalam hal inti kayu.

Dengan berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam kelima hal ini.

“Demikian pula, ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam lima hal. Apakah lima ini?

(1) Mereka tumbuh dalam keyakinan;

(2) mereka tumbuh dalam perilaku bermoral;

(3) mereka tumbuh dalam pembelajaran;

(4) mereka tumbuh dalam kedermawanan; dan

(5) mereka tumbuh dalam kebijaksanaan.

Ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam kelima hal ini.”

Seperti halnya pepohonan yang tumbuh dengan bergantung pada pegunungan berbatu dalam hutan belantara yang luas akan menjadi “raja hutan kayu,” demikian pula, ketika kepala keluarga di sini memiliki keyakinan dan moralitas, istri, anak-anak, dan sanak saudaranya semuanya tumbuh dengan bergantung padanya; demikian pula kerabat-kerabatnya, lingkaran keluarganya, dan mereka yang bergantung padanya.

Mereka yang memiliki kearifan, melihat perilaku baik orang bermoral itu, kedermawanan dan perbuatan-perbuatan baiknya, akan meniru teladannya.

Setelah hidup di sini sesuai Dhamma, jalan menuju alam tujuan yang baik, mereka yang menginginkan kenikmatan-kenikmatan indria bergembira, dan bersenang-senang di alam deva. [45]

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.