Kesuksesan adalah Urusan KERJA KERAS ataukah Faktor KEBERUNTUNGAN?

Yang Selamat dan Menang, adalah Orang yang BERUNTUNG

Bagaimana Cara Menciptakan KEBERUNTUNGAN, Itulah Pertanyaan Besarnya

Question: Bila orang zaman dulu, memandang bahwa kesuksesan adalah urusan “kerja keras”. Sekarang banyak berkembang pendapat bahwa untuk bisa sukses dan selamat ditengah persaingan dan kompetisi maupun keadaan ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja, maka kita harus “kerja cerdas”. Sebenarnya maksudnya apa, yang dimaksud dengan “kerja cerdas” ini?

Brief Answer: Betul bahwa saat kini untuk kita bisa bertahan hidup ditengah ketidak-pastian ekonomi dan sengitnya tingkat kompetisi antar pelaku usaha maupun antar pekerja, “kerja keras” saja sudah tidak cukup memadai. Namun, yang disebut “kerja cerdas” sekalipun telah ternyata membutuhkan apa yang disebut “THE LUCK FACTOR”. Baik itu talenta, bakat, keterampilan praktis, pengetahuan perihal “soft skill”, kecerdasan bergaul, penguasaan manajerial, mengakses modal, mendapatkan kepercayaan serta kesempatan, berjodoh dengan mitra-mitra strategis, diberi dukungan, dan lain sebagainya, butuh “keberuntungan”.

Pertanyaannya, apakah pernah, baik perguruan tinggi maupun para konsultan bisnis di republik kita mengajarkan dan mengungkapkan kepada para peserta didik mereka, “how to create THE LUCK FACTOR?”, bagaimana cara menciptakan “FAKTOR KEBERUNTUNGAN”? Begitupula terhadap pertanyaan, “belajar keras” ataukah “belajar cerdas”? Jawaban rasionalnya ialah, apa gunanya baik “belajar keras” ataupun “belajar cerdas”, bilamana kita tidak memiliki “modal” berupa “keberuntungan” itu sendiri yang bisa berupa akses materi pelajaran yang bermutu, mentor yang unggul, “otak yang encer”, IQ yang cemerlang, sekolah yang memadai, talenda serta bakat yang kokoh, dan lain sebagainya?

PEMBAHASAN:

Dahulu, ketika penulis masih sebagai seorang mahasiswa, seorang dosen yang sudah sangat “sepuh”, pernah bertanya kepada kami, para mahasiswa di ruang perkuliahan. Menurut kalian, orang bisa berhasil itu karena faktor “kerja keras”, ataukah karena faktor “keberuntungan”? Kami, para mahasiswa muda di kala itu, dengan naif-nya kompak menjawab : “KERJA KERAS!”. Sang dosen hanya tersenyum sebagai responsnya, lalu menambahkan bahwa hidup ini sedikit banyaknya dipengaruhi oleh “garis tangan”—dalam hal ini maknanya ialah “faktor X”, yakni “faktor KEBERUNTUNGAN” (the LUCK FACTOR) itu sendiri. Apa yang diutarakan oleh sang dosen, menjadi sangat relevan dalam kondisi kontemporer terkini, disaat persaingan dan kompetisi begitu ketat, dan disaat bersamaan keadaan ekonomi sedang jauh dari kata “baik-baik saja”.

Ketika kita merasa dan berdelusi bahwa satu-satunya faktor kesuksesan dan keselamatan seseorang, ialah faktor “kerja keras” semata, maka Anda terlampau “naif” dan disaat bersamaan “tidak membumi” alias terlampau menyombongkan diri Anda sendiri (overestimated diri sendiri). Ketika Anda menemukan diri Anda yang selama ini telah “bekerja (secara) keras”, namun justru tersisih dan terdesak hingga kondisi “di ujung tanduk”, maka pada saat itulah Anda akan menyadari bahwa hidup ini tidak melulu persoalan “kerja keras”. Baik itu kesempatan, akses permodalan, bakat, talenta, berjodoh dengan mentor yang baik, “otak yang encer”, kecermelangan ide dan gagasan, mampu memiliki pandangan yang visioner, prediktif serta efektif, dipercaya rekan bisnis, memiliki karyawan yang dapat dipercaya, mendapatkan “klien besar”, dan lain sebagainya, sejatinya merupakan faktor-faktor “keberuntungan” itu sendiri.

Ketika kita belum memiliki “faktor keberuntungan” tersebut, maka “faktor-faktor keberuntungan” dimaksud perlu mulai ditumbuhkan. Jangan biarkan hidup kita kering, kerontang, dan gersang, sehingga tidak dapat bertumbuh optimal. Pastilah kemudian Anda akan bertanya, bagaimana cara menciptakan “faktor keberuntungan” ini? Semua orang bijak akan memberi nasehat, janganlah belajar berenang, saat Anda telah dalam kondisi hampir tenggelam di dalam air. Kita perlu mempersiapkan diri untuk itu sejak sedini mungkin, yakni “rajin menanam benih-benih Karma Baik”, sebagaimana dalam khotbah Sang Buddha yang sangat memotivasi dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

IV. Sumanā

31 (1) Sumanā [Kitab Komentar mengidentifikasi Sumanā sebagai putri Raja Pasenadi dari Kosala.]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Putri Sumanā, disertai oleh lima ratus kereta dan lima ratus dayang, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Putri Sumanā berkata kepada Sang Bhagavā:

“Di sini, Bhante, mungkin ada dua orang siswa Sang Bhagavā yang setara dalam hal keyakinan, perilaku bermoral, dan kebijaksanaan, tetapi yang satu dermawan sedangkan yang lainnya tidak. Dengan hancurnya jasmani, [33] setelah kematian, mereka berdua terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ketika mereka telah menjadi deva, apakah ada kesenjangan atau perbedaan antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam lima hal: umur kehidupan surgawi, kecantikan surgawi, kebahagiaan surgawi, keagungan surgawi, dan kekuasaan surgawi. Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.

“Tetapi, Bhante, jika kedua orang ini meninggal dunia dari sana dan sekali lagi menjadi manusia, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang lainnya dalam lima hal: umur kehidupan manusia, kecantikan manusia, kebahagiaan manusia, kemasyhuran manusia, dan kekuasaan manusia. Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.

“Tetapi, Bhante, jika kedua orang ini meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli yang lainnya dalam lima hal.

(1) Ia biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya.

(2) Ia biasanya memakan makanan yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya.

(3) Ia biasanya menempati tempat tinggal yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati tempat tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya.

(4) Ia biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya.

(5) Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia menetap, biasanya memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. Mereka biasanya memberikan kepadanya apa yang menyenangkan, jarang memberikan [34] apa yang tidak menyenangkan. Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.

“Tetapi, Bhante, jika keduanya mencapai Kearahattaan, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka setelah mereka mencapai Kearahattaan?”

“Dalam hal ini, Sumanā, Aku nyatakan, tidak ada perbedaan antara kebebasan [yang satu] dan kebebasan [yang lainnya].”

Menakjubkan dan mengagumkan, Bhante! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.

“Demikianlah, Sumanā!, demikianlah, Sumanā! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna Menempuh Sang Jalan, Sang Guru, lebih lanjut berkata sebagai berikut:

Seperti halnya rembulan tanpa noda bergerak di sepanjang lintasan di angkasa cahayanya lebih cemerlang daripada semua bintang di dunia, demikian pula seseorang yang sempurna dalam perilaku bermoral, seorang yang memiliki keyakinan, lebih cemerlang karena kedermawanan daripada semua orang kikir di dunia.

“Seperti halnya awan hujan berpuncak-seratus, bergemuruh, di dalam lingkaran halilintar, menurunkan hujan ke bumi membanjiri dataran-dataran dan tanah rendah, demikian pula siswa Yang Tercerahkan Sempurna, yang bijaksana yang sempurna dalam penglihatan, melampaui orang kikir dalam lima aspek: umur kehidupan dan keagungan, kecantikan dan kebahagiaan. Memiliki kekayaan, setelah kematian ia bergembira di alam surga.” [35]

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.