(DROP DOWN MENU)

Ketika Agama Samawi Menguasai Seluruh Pikiran Penduduk Dunia : BERBONDONG-BONDONG PRODUKSI DOSA SEMBARI BERDELUSI YAKIN MASUK SURGA

Agama Samawi, BERKAH ataukah PETAKA bagi Dunia, Semesta, dan Kemanusiaan?

Question: Apa yang akan terjadi, bila seluruh penduduk dunia ini beragama samawi?

Brief Answer: Terdapat satu dogma yang sama atau senada antara agama samawi yang satu dan agama samawi yang lainnya, yakni dogma berisi iming-iming delusif “too good to be true” yang bernama ideologi korup “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins), dimana “hanya seorang pendosa yang butuh penghapusan dosa”. Mari kita buat simulasi sederhana, katakanlah seorang pemeluk agama samawi, bernama “pendosawan”, setiap harinya mencetak dosa, memproduksi segunung dosa, mengoleksi segudang dosa, berkubang dalam samudera dosa, dengan menyakiti, melukai, maupun merugikan para pemeluk agama samawi lainnya yang notabene sesama pendosa.

Sang pendosawan, setiap harinya berdoa atau melakukan ritual “penghapusan dosa” atau apapun itu istilahnya, yang pada pokoknya ialah sikap-sikap “pengecut” yang tidak berani bertanggung-jawab atas perbuatan buruk mereka sendiri dan disaat bersamaan terlampau “pemalas” untuk menanam benih-benih perbuatan baik. Setiap tahunnya pula, sang pendosawan merayakan hari raya dimana sang pendosawan “meningkat konsumsinya” dan disaat bersamaan melakukan ritual “penghapusan dosa” yang menghapus dosa-dosanya selama satu tahun penuh. Ketika meninggal dunia, sanak-keluarga sang pendosawan melakukan ritual doa-doa yang memanjatkan permohonan “penghapusan dosa” bagi sang almarhum pendosawan. Praktis, tidak pernah satu kali pun nasib “korban” diperhatikan ataupun diberikan keadilan. “Kabar gembira” bagi pendosawan, merupakan “kabar buruk” bagi kalangan korban.

Ketika baik sang pendosawan maupun si korban meninggal dunia, keduanya masuk ke alam surga, maka jadilah “dunia manusia jilid kedua”, dimana sang pendosawan kembali melakukan apa yang kita kenal dengan istilah “business as usual”, yakni seperti biasanya kebiasaan para pendosawan tersebut selama masih di dunia manusia : berkeliaran mencari mangsa empuk, sibuk memangsa korban, menjadi predator yang memangsa sesamanya, merampas hak orang lain, berbuat tercela, berprofesi sebagai penjahat, bangga bisa berhasil berbuat kejahatan, penuh niat dan rencana jahat, buruk, dan busuk. Akibatnya, sang korban kembali menjadi korban untuk kali keduanya atau untuk kali sekiannya. Alhasil, mereka dengan penuh kebanggaan dan keyakinan berbondong-bondong dan berlomba-lomba menjadi “pendosa penjilat penuh dosa level dasar”, “pendosa penjilat penuh dosa level menengah”, “pendosa penjilat penuh dosa level elite”, “pendosa penjilat penuh dosa level advance”, “penjilat pendosa penuh dosa level maestro”, dan seterusnya.

PEMBAHASAN:

Ketika agama samawi belum diperkenalkan ke dunia ini—oleh seorang pendosa tentunya, mengingat hanya seorang pendosa yang mempromosikan “penghapusan dosa” bagi kalangan pendosawan, dimana ada “demand” ditengah-tengah kalangan pendosawan yang ingin masuk surga maka ada “supply” berupa “Agama DOSA”—tidak ada seorang pun pendosa yang merasa yakin akan masuk surga ketika ajal menjemput mereka. Kini, ketika agama samawi dilahirkan, para pendosa berbondong-bondong memproduksi dosa dan disaat bersamaan merasa yakin seyakin-yakinnya telah memiliki tiket, terjamin, serta “karpet merah” menuju alam surgawi, lengkap dengan puluhan bidadari “berdada montok” yang siap melayani urusan “selangkangan”, rahmatan lil kelamin.

Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik. Akan tetapi terhadap kaum yang berbeda keyakinan, para agamais tersebut begitu intoleran. Babi, di-haram-kan. Namun ironisnya, “penghapusan dosa” justru di-halal-kan bahkan diberi stempel / logo “halal lifestyle”. Dari ujung rambut hingga ujung kaki dibalut busana, menyebutnya sebagai “aurat”. Namun, disaat bersamaan, para pendosawan tersebut secara vulgar mempertontonkan perbuatan buruk dengan menyakiti, melukai, maupun merugikan orang lain. Sekalipun, perbuatan buruk merupakan “AURAT TERBESAR”. Makanannya halal, namun ucapannya penuh dusta, fitnah, kejahatan, tipu-muslihat, provokasi, kepalsuan, kebusukan, pecah-belah, manipulasi, putar-balik fakta, selicik dan berbisa seperti bisa ular, mau menang sendiri, serta “setajam silet”.

Kini, mari kita gunakan sudut pandang atau “point of view” sebagai “KORBAN”, bukan sebagai “PELAKU” (PENDOSA PECANDU “PENGHAPUSAN DOSA”), dalam mencermati dogma-dogma berikut:

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Dalam berbagai kesempatan, ketika penulis berada satu tempat dimana dua orang nasrani saling berbincang, perbincangan mereka yang kerap penulis jumpai dimana pun berada dari mulut dua orang nasrani yang sedang berbincang ialah : “Orang Buddhist baik-baik sih orangnya, tapi karena tidak percaya ‘nabi celana dalam’ yang kita sembah, maka (mereka) masuk neraka.” Senada dengan itu, sebuah masjid lewat toa pengeras suara eksternalnya yang mana gelombang suaranya membahana hingga menerobos masuk ruang toilet hingga lubang jamban masing-masing kediaman rumah warga, seorang imam / ustad berceramah lantang penuh percaya diri, dengan bangga mempertontonkan kebodohan kognitif-nya sendiri : “Ada yang mengatakan, orang baik akan masuk surga sekalipun bukan muslim. Saya tidak setuju! Kalau orang baik bisa masuk surga tanpa memeluk islam, lalu untuk apa kita solat lima kali sehari?

Anda lihat, sungguh berbahaya dan tidak nyamannya (penuh ancaman) hidup berdampingan dangan para “agamais” pemeluk “Agama DOSA” (pada pendosawan)—disebut demikian, semata karena mempromosikan gaya hidup penuh dosa plus “penghapusan dosa” alih-alih mengkampanyekan cara hidup higienis dari dosa—sewaktu-waktu dapat dimangsa dan dijadikan korban, dimana para “agamais-pendosawan” tersebut terlampau “pemalas” untuk menanam benih-benih perbuatan baik dan disaat bersamaan terlampau “pengecut” untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri yang telah pernah atau masih sedang sibuk melukai, mencelakai, maupun merugikan orang lain.

Pendosa, hendak berceramah perihal hidup bersih, luhur, murni, suci, jujur, mulia, luhur, serta unggul? Itu menyerupai orang buta yang hendak menuntun kalangan butawan lainnya. “Neraka” pun, mereka sebut dan pandang sebagai “surga” dan berbondong-bondong “tancap gas penuh” ber-akselerasi ke arah lubang nista tersebut. Kini, dengan masih memakai “sudut pandang” atau perspektif seorang korban, cobalah Anda renungkan dan cermati khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

V. Perbuatan Buruk

241 (1) Perbuatan Buruk

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang menyalahkan diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, mencelanya. (3) Ia memperoleh reputasi buruk. (4) Ia meninggal dunia dalam kebingungan. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang tidak mencela diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, memujinya. (3) Ia memperoleh reputasi baik. (4) Ia meninggal dunia tanpa kebingungan. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik itu.”

~0~

242 (2) Perbuatan Buruk Melalui Jasmani

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani itu.”

~0~

243 (3) Perbuatan Buruk Melalui Ucapan

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan itu.”

~0~

244 (4) Perbuatan Buruk Melalui Pikiran

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran ini. Apakah lima ini? [268] … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran itu.”

~0~

245 (5) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk

Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang menyalahkan diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, mencelanya. (3) Ia memperoleh reputasi buruk. (4) Ia menjauh dari Dhamma sejati. (5) Ia kokoh dalam Dhamma palsu. Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk itu.

Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang tidak menyalahkan diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, memujinya. (3) Ia memperoleh reputasi baik. (4) Ia menjauh dari Dhamma palsu. (5) Ia kokoh dalam Dhamma sejati. Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik itu.”

~0~

246 (6) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk Melalui Jasmani

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani itu.”

~0~

247 (7) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk Melalui Ucapan

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan itu.”

~0~

248 (8) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk Melalui Pikiran

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran itu.”

~0~

249 (9) Tanah Pemakaman

“Para bhikkhu, ada lima bahaya di tanah pemakaman. Apakah lima ini? Tidak murni, berbau busuk, berbahaya, menjadi alam makhluk-makhluk halus yang jahat, [sebuah tempat di mana] banyak orang menangis. Ini adalah lima bahaya di tanah pemakaman. Demikian pula, ada lima bahaya pada seseorang yang serupa dengan tanah pemakaman ini. Apakah lima ini? [269]

(1) “Di sini, seseorang melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia tidak murni, seperti halnya tanah pemakaman yang tidak murni, Aku katakan orang ini serupa dengan itu.

(2) “Karena ia melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka ia memperoleh reputasi buruk. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia berbau busuk. Seperti halnya tanah pemakaman yang berbau busuk, Aku katakan, orang ini serupa dengan itu.

(3) “Karena ia melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka teman-temannya para bhikkhu menghindarinya dari jauh. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia [dianggap sebagai] berbahaya. Seperti halnya tanah pemakaman [dianggap sebagai] berbahaya, Aku katakan, orang ini serupa dengan itu.

(4) “Dengan melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, ia berdiam bersama dengan orang-orang yang serupa dengan dirinya. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia menjadi alam bagi [orang-orang] jahat. Seperti halnya tanah pemakaman menjadi alam bagi makhluk-makhluk halus yang jahat, Aku katakan orang ini serupa dengan itu.

(5) “Setelah melihatnya melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, teman-temannya para bhikkhu yang berperilaku baik mengeluhkannya, dengan berkata: ‘Oh, betapa menderitanya kami menetap bersama orang-orang demikian!’ Ini, Aku katakan, adalah bagaimana mereka menangis karenanya. Seperti halnya tanah pemakaman adalah [sebuah tempat di mana] banyak orang menangis, Aku katakan orang ini serupa dengan itu.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima bahaya itu yang serupa dengan tanah pemakaman.” [270]