Menyederhanakan Keingingan dan Obsesi, Hidup secara Sederhana menjadi Niscaya
Hidup secara sederhana, bukanlah tabu ataupun memalukan. Justru ketika kita mampu hidup secara sederhana, merupakan “seni hidup” itu sendiri. Ketika ekonomi global dan lokal mengalami fenomena riak-riak resesi, maka kita tidak perlu terobsesi mengutuk “gelap-gelitanya” keadaan ekonomi, akan tetapi mulai menghidupkan lampu pelita dengan berlatih hidup secara sederhana. Ditengah resesi ekonomi, mampu hidup secara sederhana merupakan adaptasi terbaik yang dapat kita lakukan, sebuah penyesuaian diri dalam rangka “survival of the fittest”. Semua orang mampu bergaya hidup mewah, ketika dirinya mengalami kemakmuran keuangan finansial. Namun, tidak semua orang sanggup untuk hidup secara sederhana ketika keadaan keuangannya mengalami kontraksi dan kejatuhan. Karenanya, hidup secara sederhana adalah “seni” itu sendiri. Tidak ada yang lebih menakutkan, ketika seseorang mengalami penurunan strata sosial, dari jutawan manjadi orang miskin. Sebaliknya, orang sederhana siap dalam setiap keadaan, apapun kondisi dan situasinya.
“Demi kemakmuran”, banyak diantara anggota masyarakat
kita yang melakukan segala hal, baik secara legal maupun yang melawan hukum,
baik yang etis maupun yang tidak etis, tidak terkecuali melakukan hal-hal yang
merendahkan martabat, melecehkan kemanusiaan, menggadaikan jiwa, “menjual diri”
sendiri ataupun orang lain, koruptif, manipulatif, mempertontonkan keserakahan,
memangsa hak orang lain, merampas hak-hak orang lain, hingga menjelma seorang “manusia
iblis” ataupun “predator”. Akan tetapi, berapa banyak diantara kita yang pernah
mendengar istilah “demi kesederhanaan”? Justru itulah yang tepatnya perlu mulai
kita kampanyekan dan dengungkan, yakni “demi kesederhanaan”, dimana kita
bergerak atau berjuang untuk hidup secara sederhana dengan memasuki hidup dalam
kesederhanaan.
“Simple is
beautiful”, kesederhanaan itu indah. Begitu pula, “keheningan ialah musik
terindah”. Kejujuran tanpa diwarnai dusta, adalah indah. Kesetiaan tanpa
perselingkuhan, adalah indah. Kesehatan tanpa penyakit, adalah indah. Ketulusan
dan bersikap otentik, tanpa “persona”
(topeng), adalah indah. Bergaya hidup bersahaja, adalah indah. Kertas putih polos,
adalah indah. Apa adanya, tanpa “hidden
agenda”, adalah indah. Ada berbagai keindahan dibalik kesederhanaan
kehidupan ataupun kesederhanaan lainnya dalam hidup ini, bila kita mau bersikap
peka terhadapnya dan membuka mata lebar-lebar serta terbuka terhadap
kesederhanaan. Umpama air murni, susu murni, keju murni, sifatnya begitu polos
dan sederhana, namun karena kemurniaannya itulah ia menjadi indah serta
berharga. Ketika sesuatu diperkeruh oleh keinginan yang tidak mengenal kata “puas”,
maka pada saat itulah awam hitam menutupi langit cakrawala penglihatan kita, dan
merampas keindahan dibalik kesederhanaan. Nila setitik, rusak susu sebelanga.
Telah ternyata, “demi kesederhanaan” tidak identik dengan
kita “merugi” ataupun “kehilangan sesuatu yang berharga”. “Demi kesederhanaan”,
dapat bermakna kita merasa cukup terhadap sesuatu yang ada dan mampu berfokus
kepada hal tersebut, serta bersedia untuk puas terhadapnya. “Demi kesederhanaan”,
kita dapat berharap merealisasi “kepuasan dalam hidup” serta indera yang tenang
terkendali. Pepatah pernah berkata, ketika satu pintu tertutup bagi kita, maka
pintu lain terbuka bagi kita. Mengadopsi paradigma demikian, prinsip yang sama dapat
kita berlakukan, yakni : ketika kita menutup pintu “keserakahan” penuh
ketidak-puasan, dan membuka pintu “kesederhanaan”, mungkin saja pikiran kita
akan lebih jernih dan lebih terfokus, disamping lebih dapat menikmati hidup dan
lebih bahagia, membuka diri terhadap “sebagaimana apa adanya”, tanpa lagi
berupaya memungkiri kenyataan ataupun lari dari kenyataan yang ada, memberikan
kita keberanian untuk menerima dan menghadapinya.
Hidup secara sederhana, artinya kita menetapkan
sebentuk batasan, dan melepaskan obsesi yang berlebihan ataupun yang tidak
memiliki keterpuasan. Mungkin istilah “demi kesederhanaan”, hanya ada atau
untuk kali-pertamanya diperkenalkan oleh khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
IV. Penghuni Hutan
181 (1) Penghuni Hutan
“Para bhikkhu, ada lima jenis
penghuni hutan ini. Apakah lima ini?
(1) Seorang yang menjadi
penghuni hutan karena ketumpulan dan kebodohannya;
(2) seorang yang menjadi
penghuni hutan karena ia memiliki keinginan jahat, karena ia didorong oleh
keinginan;
[Kitab Komentar : Pāpiccho icchāpakato āraññiko hoti. “Ia
berpikir, ‘Sewaktu aku sedang menetap di hutan, mereka akan memberikan
penghormatan padaku dengan empat benda kebutuhan, dengan berpikir bahwa aku adalah
seorang penghuni hutan. Mereka akan menghargai moralitasku, dengan berpikir
bahwa aku puas dan terasing, dan seterusnya.’ Demikianlah ia menjadi seorang
penghuni hutan berdasarkan pada keinginan jahat, karena ia dikuasai oleh
keinginan.”
(3) seorang yang menjadi
penghuni hutan karena ia gila dan pikirannya terganggu;
(4) seorang yang menjadi
penghuni hutan, [dengan berpikir]: ‘Hal ini dipuji oleh para Buddha dan para
siswa Buddha’;
(5) dan seorang yang menjadi
penghuni hutan demi keinginan yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan
[kekotoran-kekotoran], demi keterasingan, demi kesederhanaan. Ini adalah
kelima jenis penghuni hutan itu. Seorang yang menjadi penghuni hutan demi keinginan
yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan [kekotoran], demi keterasingan,
demi kesederhanaan, adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan
yang terutama di antara kelima jenis penghuni hutan ini.
Seperti halnya, para bhikkhu,
dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi
mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim-ghee, yang
dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula seorang yang menjadi
penghuni hutan demi keinginan yang sedikit … demi kesederhanaan adalah yang
terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima
jenis penghuni hutan ini.”
~0~
182 (2) – 190 (10) Pemakai
Jubah Potongan Kain, dan seterusnya.
“Para bhikkhu, ada lima jenis
pemakai jubah potongan kain ini … lima jenis orang yang menetap di bawah pohon
… [220] … lima jenis orang yang menetap di tanah pemakaman … lima jenis orang yang
menetap di ruang terbuka … lima jenis orang yang menjalankan praktik selalu
duduk … lima jenis orang yang menjalankan praktik menggunakan tempat tidur apa
saja … lima jenis orang yang menjalankan praktik satu kali … lima jenis orang yang
menjalankan praktik menolak makanan tambahan … lima jenis orang yang
menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya. Apakah lima
ini?
(1) Seorang yang menjalankan
praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ketumpulan dan
kebodohannya;
(2) seorang yang menjalankan
praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ia memiliki
keinginan jahat, karena ia didorong oleh keinginan;
(3) seorang yang menjalankan
praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ia gila dan pikirannya
terganggu;
(4) seorang yang menjalankan
praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya, [dengan berpikir]: ‘Hal
ini dipuji oleh para Buddha dan para siswa Buddha’;
(5) dan seorang yang
menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya demi
keinginan yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan [kekotoran], demi
keterasingan, demi kesederhanaan. Ini adalah kelima jenis orang yang
menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya. Seorang yang
menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya demi keinginan
yang sedikit … demi kesederhanaan, adalah yang terunggul, terbaik,
terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis orang yang menjalankan
praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya.
“Seperti halnya, para bhikkhu,
dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi
mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim-ghee, yang
dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula seorang yang menjalankan
praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya [221] demi keinginan
yang sedikit … demi kesederhanaan adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka,
tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis orang yang menjalankan
praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya ini.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.