Semakin Banyak Kepemilikan, Semakin Terbuka Potensi Kerentanan Terluka dan Menderita
Memiliki sesuatu untuk bertahan hidup dan melangsungkan kehidupan, adalah hal yang positif karena produktif. Namun telah ternyata, tidak sedikit diantara kita yang seakan-akan “hidup untuk memiliki dan mengejar banyak kepemilikan”. Kita memang bebas memilih tujuan hidup kita. Akan tetapi memilih untuk terjerat oleh obsesi kita yang tidak pernah akan terpuaskan, sejatinya membuka pintu derita untuk diri kita sendiri. Berikut psikologi dasar seorang manusia, yang dapat Anda periksa kebenaran dan relevansinya dengan masing-masing dari pribadi kita sendiri : manusia selalu mendambakan segala sesuatunya yang tidak ia miliki, dan disaat bersamaan kurang menghargai terhadap apa yang telah ia miliki. Itulah sebabnya, obsesi tidak mengenal kata “akhir”, namun selalu “What next?”.
Kita tidak perlu terobsesi
untuk menguasai manusia lain, umat manusia, dunia ini, ataupun alam semesta. Mengapa?
Karena kepemilikan membuat Anda rentan untuk terluka. Semakin banyak
kepemilikan, semakin besar potensi kerentanan Anda untuk terluka dan menderita.
Kita cukup memilih hidup secara “moderat”, tidak berlebihan juga tidak
kekurangan, sudah sangat ideal. Karena itulah, kita tidak perlu meniru
jejak-langkah kekeliruan Tuhan, yang merasa sebagai pemilik dunia manusia dan
alam semesta ini, akibatnya Tuhan merasa “dipecundangi” serta “meradang” ketika
ada umat manusia yang memilih menjadi “NON” ataupun menjadi seorang “ateis”,
sehingga kemudian mengambil jalan pintas dengan cara membuat dogma berisi iming-iming
“too good to be true” maupun dogma
berisi ancaman-ancaman intimidatif (terkesan “kekanakan”, anak “rewel” yang “cengeng”)
yang menegasikan jargon “Maha Pengasih dan Penyayang”:
- Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang
banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]
- “Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk
surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi
menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan
Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan
menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah
sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa
pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan
menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
- “Saya diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN
BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami,
dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut,
niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Ketika kaum “NON muslim”
menolak dipaksa masuk islam atau tidak tertarik pada iming-iming korup untuk
kalangan pendosawan—hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan / pengampunan
dosa” (abolition of sins)—maka bagai “kebakaran
jenggot”, Allah menurunkan wahyu berupa ayat-ayat “cinta damai” (versi islam)
berikut:
- QS 9:14. Perangilah mereka,
niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu
dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta
melegakan hati orang-orang yang beriman,
- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah
orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap
mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk
tempat kembali.
- QS 2:191. Dan bunuhlah
mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat
mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari
pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika
mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat
itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [NOTE : Balas dizolimi dengan
pembunuhan, kapan konflik akan berakhir dan apakah proporsional? Apakah itu
bukan merupakan “alasan pembenar” alias alibi atau justifikasi diri seolah
berhak untuk merampas hidup orang lain?]
- QS 5:33. Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. [NOTE : Maha Pengasih juga
Maha Pengampun. Yang “Maha Pemurka” akan seperti apa perintahnya?]
- QS 8:12. Ingatlah, ketika
Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka
teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”. Kelak aku akan jatuhkan
rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH
KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.
- QS 9:5. Apabila sudah habis
bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja
kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di
tempat pengintaian. [NOTE: sekaligus sebagai bukti, selama ini siapa yang menyerang dan
siapa yang terlebih dahulu diserang. Mengaku “dizolimi”, namun mengapa justru
mengintai dan mengepung? Bagaimana mungkin, mengaku diserang, namun yang
diserang yang justru mengintai dan mengepung yang menyerang?]
Ketika Anda menjadikan seorang
wanita / pria sebagai kekasih, idaman, idola, pacar, ataupun pasangan hidup,
maka Anda sejatinya membuka potensi resiko “patah hati” ketika pasangan Anda itu
berselingkuh dengan orang lain, atau bahkan mengkhianati Anda dan menceraikan Anda
atau bahkan “membalas air susu dengan air tuba”. Sebaliknya, ketika kita membaca
berita, bahwa terjadi begitu banyak fenomena perceraian, mantan pasangan saling
gugat-menggugat harta gono-gini, suami merasa cemburu-buta lalu membunuh
istrinya sendiri, istri sakit-hati karena di-“madu” oleh suaminya, sang suami /
istri meninggal dunia terlebih dahulu akibat terserang penyakit, dan lain
sebagainya, kita hanya sebatas menaruh rasa prihatin, namun tidak bersedih—karena
memang mereka bukan pacar, kekasih, ataupun pasangan hidup kita.
Ketika berada di jalanan, kita
menyaksikan sebuah kendaraan rusak akibat tertabrak kendaraan lain, kita tidak
merasa perih di hati, karena memang itu bukanlah kendaraan milik kita,
karenanya juga tidak merasa terbebani oleh biaya untuk memperbaikinya. Memiliki
kendaraan, karenanya, serupa dengan memperluas tangan atau kaki kita, dan
disaat bersamaan membuat perasaan kita lebih rentan terluka maupun hati merasa
sakit ketika kendaraan milik kita tersebut rusak, serupa dengan tangan atau
kaki yang terluka. Sama halnya, bayangkan bila hanya ada satu tim kesebelasan
yang menjadi juara dunia sepak bola, artinya akan ada begitu banyak negara-negara
yang menderita kesedihan akibat kalah / tersisih dalam kompetisi sepak bola
dunia tersebut, sebagai “pecundang”. Seperti diutarakan oleh bhikkhu bernama Ajahn
Brahm, orang cerdas mendukung “tim yang menang”, agar tidak bersedih ataupun
berduka.
Tentu kita pernah mendengar
pemberitaan adanya kasus korban penipuan yang menderita kerugian sekian juta Rupiah,
atau kehilangan dana dari rekening miliknya akibat modus-modus kejahatan. Sebagai
warga yang menyaksikan pemberitaan tersebut, kita hanya memberikan rasa
prihatin bagi sang korban, namun kita tidak bersedih. Mengapa? Karena memang
itu bukan uang milik kita yang dirampas oleh pelaku kejahatan. Ketika seseorang
terobsesi untuk menguasai dunia, memiliki kekayaan yang tidak akan habis,
memiliki banyak properti, dan lain sebagainya, sejatinya sepanjang hidup mereka
akan dikuasai oleh kecemasan dan ketakutan harta-harta miliknya tersebut akan
jatuh ke tangan orang yang tidak ia inginkan. Penulis sudah banyak menjumpaui orang-orang
semacam itu, para pembaca pun pastilah pernah menjumpai kalangan semacam itu.
Memang tampaknya lebih indah
hidup berkecukupan, tidak berlebihan, juga tidak kekurangan, puas dengan sikap
hidup sederhana dan bersahaja. Mampu membatasi diri dari obsesi yang tidak
mengenal kata batas, serta terampil dalam membebaskan diri kita dari
jeratan-jeratan obsesi yang bisa mencekik leher kita sendiri. Seseorang pernah
berkata, hidup yang bahagia ialah hidup yang “pas-pasan”, pas butuh maka pas
ada. Bahkan, telah ternyata tingkat kemampuan spiritual
dalam pencapaian latihan dalam meditasi, ditentukan oleh faktor “ketercukupan
hati”, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
264 (14) Yang Lain Tentang
Jhāna Pertama
“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan
kelima hal ini, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.
Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal, kekikiran sehubungan
dengan keluarga-keluarga, kekikiran sehubungan dengan perolehan, kekikiran
sehubungan dengan pujian, dan tidak bersyukur atau tidak berterima
kasih. Tanpa meninggalkan kelima hal ini seseorang tidak mampu masuk dan
berdiam dalam jhāna pertama.
“Para bhikkhu, setelah
meninggalkan kelima hal ini, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna
pertama. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal,
kekikiran sehubungan dengan keluarga-keluarga, kekikiran sehubungan dengan
perolehan, kekikiran sehubungan dengan pujian, dan tidak bersyukur atau
tidak berterima kasih. Setelah meninggalkan kelima hal ini seseorang mampu
masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.”
~0~
265 (15) – 271 (21) Yang Lain
Tentang Jhāna ke Dua, dan seterusnya.
“Para bhikkhu, tanpa
meninggalkan kelima hal ini, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam
jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … seseorang tidak mampu
merealisasikan buah memasuki-arus … buah yang-kembali-sekali … buah yang-tidak-kembali
… buah Kearahattaan. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat
tinggal … tidak bersyukur atau tidak berterima kasih. Tanpa
meninggalkan kelima hal ini seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna
pertama.
“Para bhikkhu, setelah
meninggalkan kelima hal ini, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua
… jhāna ke tiga … jhāna ke empat … seseorang mampu merealisasikan buah memasuki-arus
… buah yang-kembali-sekali … buah yang-tidak-kembali … buah Kearahattaan.
Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal … tidak
bersyukur atau tidak berterima kasih. Setelah meninggalkan kelima hal
ini seseorang mampu masuk dan berdiam dalam buah Kearahattaan.” [274]