(DROP DOWN MENU)

Tuhan Agama Islam Membenci dan Bermusuhan Melawan Tuhan Yahudi maupun Tuhan Nasrani, PERANG ANTAR TUHAN & UMAT

Apakah Semua Agama, Tuhan-nya Sama? Tuhan Agama DOSA Vs. Tuhan Agama SUCI, Jelas Beda dan Tidak Serupa

Ada yang menyatakan, bahwa Tuhan semua agama adalah sama, satu Tuhannya.

Itu, namanya “berkelit”—alias mencoba memungkiri fakta realita, entah karena dungu tidak pernah membaca dogma-dogma dalam kitab masing-masing agama samawi, atau karena defensif ketika diserang karena status yang bersangkutan adalah NONmuslim atau sebaliknya, NONkristen.

Cobalah tengok, para ustad atau kiai ketika berceramah lewat speaker pengeras suara yang bahkan suaranya menerobos masuk ke dalam kamar mandi dan toilet rumah-rumah warga, selalu mengutuk Yahudi dan Nasrani.

Itu saja sudah menjadi bukti, Tuhan-nya agama Islam sedang “tidak baik-baik saja” terhadap Tuhan-Tuhan agama, tidak mesra, tidak rukun, tidak sama, serta bahkan saling berperang satu sama lainnya.

Jangan bersikap seolah orang lain itu buta dan tuli, yang tidak punya pikiran untuk menilai sendiri, toh jutaan masyarakat menjadi saksi-telinganya.

Pertama-tama, mari kita petakan personifikasi dibalik sifat Tuhan versi agama Islam:

“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Dari sunnah nabi di atas, telah ternyata:

1. Tuhan versi agama Islam memiliki propaganda berperang dan memerangi manusia;

2. ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’—artinya, Tuhan-Tuhan agama lain tidak diakui, dan agama-agama yang tidak mengakui Muhammad sebagai nabi juga tidak diakui;

3. Tuhan versi agama Islam menghalalkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA kaum NONmuslim;

4. itulah, “Cinta DAMAI” menurut perspektif Tuhan-nya Islam. “Cinta PERANG”-nya menurut Islam, seperti apakah ya?

Yang bilang saya “menista”, artinya sudah MURTAD karena membantah apa yang tertuang dalam “sunnah nabi”.

Islam itu, artinya “patuh secara MUTLAK”—itu saya juga tahunya dari speaker pengeras suara masjid ketika mereka berceramah.

Kalau diberi perintah, “diperintahkan untuk memerangi manusia”, ya harus dijalankan. Kalau tidak, itu namanya MURTAD!

Jadi, muslim yang “moderat” itu sejatinya sudah membantah dan membangkang Tuhan-nya sendiri.

Dalam islam, tidak ada itu “muslim moderat”. Yang ada ialah “muslim” VS. “kafir”.

Anda harus intoleran bila hendak memeluk Islam—karena dengan begitu barulah Anda siap dan bersedia menjalankan perintah Tuhan-nya Islam.

Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

Tuhan versi agama Islam, apakah artinya sebongkah “BATU”? ...batu yang “tidak berfaedah”?

“BATU YANG DICIUM-CIUM JUTAAN MUSLIM”? ... higienis tidak ya?

Kalian jawab sendiri ya, nanti saya dibilang “menista” agama—meskipun apa bisa, ditafsirkan lain?

Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]

Tuhan versi agama Islam lebih PRO terhadap PENDOSA—ketimbang berpihak kepada korban-korban para muslim.

“Kabar gembira” bagi PENDOSA = “kabar duka dan buruk” bagi kalangan korban-korban para PENDOSA tersebut.

Bukankah, hanya seorang PENDOSA, yang butuh “PENGHAPUSAN DOSA”?

Ada ustad yang berkelit, mengatakan bahwa muslim yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah, dimasukkan dulu ke neraka, “di-bejek-bejek” di sana, sebelum kemudian di masukkan ke surga—itu lagi-lagi saya tahu berkat speaker pengeras suara masjid, yang mana, menurut saya pribadi, kebodohan kok dipertontonkan kepada publik?

Mengapa saya bilang “bodoh”? Karena itu sama artinya hendak berkata bahwa Nabi Muhammad sempat mencicipi NERAKA!—lalu, dimana letak “bersyukur” ataupun “kabar gembira”-nya?

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

Kita buat “sorotan” pada kalimat “tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu”, itu artinya tiada Tuhan lain selain Allah-nya Islam—Owloh, bukan Yesus, bukan Allah-nya Nasrani, bukan juga Tuhan-nya Yahudi.

Pertanyaan “lapis kedua”, secara makro konsepsi mengenai Tuhan dibagi menjadi samawi dan agnostik.

Agnostik, artinya memercayai adanya Tuhan, namun tidak bersifat personifikasi selayaknya manusia “raja lalim” yang masih bisa suka, tidak suka, senang, tidak senang, marah, gembira, murka, emosional, sentimentil, cengeng, merengek, kekanak-kanakan, diktator, otoriter, dan lain sebagainya.

Dalam konsepsi Agnostik, Tuhan menciptakan alam semesta dan selanjutnya membiarkan Hukum Alam serta Hukum Karma yang mengambil-alih berjalannya perputaran, siklus, dan kehidupan semesta tersebut. Tuhan, karenanya, boleh tidur atau pensiun.

Sebaliknya, dalam konsepsi samawi, Tuhan adalah “budak” manusia, tidak boleh tidur, dimana Tuhanlah yang bertanggung-jawab atas terjadinya setiap bencana alam, kesenjangan ekonomi, kriminalitas, dan lain sebagainya. Bukan manusia hamba Tuhan, justru sebaliknya.

Pertanyaan “lapis ketiga”, Tuhan-nya Tuhan agama mana dulu, “Agama SUCI”, “Agama KSATRIA”, ataukah “Agama DOSA”?

Menurut “Agama SUCI”, memuliakan Tuhan adalah dengan cara menjadi seorang manusia yang mulia. Tidak ada semacam dogma-dogma “Penghapusan Dosa”—karena memang hanya seorang PENDOSA yang membutuhkan “PENGHAPUSAN DOSA”. Sehingga, ateis pun asalkan orang baik, masuk surga, otomatis.

Dalam “Agama KSATRIA”, sikap penuh tanggung-jawab dan siap serta berani untuk bertanggung-jawab atas setiap perbuatan buruknya yang telah dan/atau masih dapat melukai, merugikan, maupun menyakiti orang lain—sehingga tidak perlu korbannya mengemis-ngemis pertanggung-jawaban dari sang pelaku.

Adapun “Agama DOSA”, umatnya ialah kalangan pendosawan dimana para pendosa menjadi pemeluknya, yang mencandu ideologi korup bernama “PENGHAPUSAN DOSA”.

Mereka, bermulut besar mengenai Tuhan, agama, kitab, ayat, dogma-dogma, wahyu-wahyu, namun begitu PENGECUT untuk bertanggung-jawab terhadap luka ataupun kerugian korban-korban mereka, dan disaat bersamaan terlampau PEMALAS untuk menanam benih-benih Karma Baik.

Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik.

Namun terhadap kaum NON, begitu intoleran.

Babi, HARAM.

Penghapusan Dosa, HALAL.

Lalu, bagaimana dengan Buddhistik?

Berikut Sang Buddha membabarkan, menolak gagasan doktrin Theistik:

“Para bhikkhu, ada tiga doktrin sektarian ini yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak berbuat. Apakah tiga ini?

Ada para petapa dan brahmana lainnya yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta,’

Dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’

Ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena aktivitas Tuhan pencipta maka kalian mungkin melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan aktivitas seksual, berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berkata kasar, bergosip; maka kalian mungkin penuh kerinduan, memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah.’

Mereka yang mengandalkan aktivitas Tuhan pencipta sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini.

Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke dua atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

Bagaimana kawanku semua, yang manakah versi Tuhan yang Anda peluk dan anut?

Bukankah menjadi jelas, tidak ada satu Tuhan untuk semua agama, dan semua agama tidak ber-Tuhan pada satu sosok Tuhan yang sama.

Bila ada diantara para agamais tersebut yang mengklaim beragama semua agama, sehingga ia ber-Tuhan kepada Tuhan yang sama dengan semua agama, maka itu adalah modus “berkelit” yang klise. Bagaikan seseorang yang belum pernah memakan suatu jenis buah, lalu bercerita panjang-lebar perihal buah tersebut dan menyama-ratakannya dengan buah-buah lainnya.