Agama yang Meng-OBRAL Surga, Agama SAMPAH BERACUN. Hanya PENDOSA yang Butuh PENGHAPUSAN DOSA

Pernah suatu hari seorang muslim mencoba berdebat, ketika saya katakan bahwa selama ini di Indonesia, sesama muslim saling menyakiti, saling melukai, saling merugikan, dan saling menipu sesama muslim.

Sehingga, untuk apa juga kaum muslim sibuk mengurusi, menggurui, serta menghakimi umat beragama lain maupun negara lain?

Sang muslim kemudian mendebat, bahwa di negara-negara mayoritas pemeluk Agama Buddha, penghuni penjaranya ialah narapidana yang beragama Buddha.

Berikut jawaban saya, membuat sang muslim yang semula begitu senang berdebat menjadi merasa malu sendiri:

“Ya, benar, namun tidak ada Buddhist yang yakin masuk surga setelah melakukan perbuatan-perbuatan jahat semasa hidupnya! Berbeda dengan agama Islam, yang meng-OBRAL iming-iming PENGHAPUSAN DOSA—bagi PENDOSA, tentunya.”

Sang Buddha telah sejak lama bersabda:

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; ia menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air;

ia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, ia terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā.

(2) “Dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat.

(3) “Ia memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri. Ia memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu;

pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi;

pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran terlampaui sebagai pikiran terlampaui dan pikiran tidak terlampaui sebagai pikiran tidak terlampaui;

pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan.

(4) “Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh [281] kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran,

banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut:

‘Di sana aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini;

meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu;

meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya.

(5) “Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan buruk dan berpenampilan baik, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut:

Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka;

tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.’

Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan buruk dan berpenampilan baik, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka.

(6) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

~0~

“Para bhikkhu, ada lima cara ini untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun. Apakah lima ini?

(1) Ia harus mengembangkan cinta-kasih terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu.

(2) Ia harus mengembangkan belas-kasihan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu.

(3) Ia harus mengembangkan keseimbangan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. [186]

(4) Ia harus mengabaikan orang yang kepadanya ia merasa kesal dan tidak memperhatikannya; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu.

(5) Ia harus menerapkan gagasan kepemilikan kamma pada orang yang kepadanya ia merasa kesal, sebagai berikut:

‘Yang Mulia ini adalah pemilik kammanya, pewaris kammanya; ia memiliki kamma sebagai asal-mulanya, kamma sebagai sanak-saudaranya, kamma sebagai pelindungnya; ia akan menjadi pewaris kamma apa pun yang ia lakukan, baik atau buruk.’

Dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. Ini adalah kelima cara untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.”

SUMBER : Khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara.