Anda pasti pernah mengalami, kejadian dimana Anda makan satu meja dengan orang nasrani / kristiani. Mereka, dengan sok “agamais” berdoa sebelum makan.
“Oh, Tuhan Kristus, terimakasih atas makanan pemberian-Mu. Terimakasih
anu dan anu.”
Sementara
kita selaku NONkristen, apakah merasa “minder” ataupun “rendah diri”, karena di
agama saya tidak ada ritual semacam itu, makan ya makan saja?
Alih-alih merasa “rendah diri”, kita justru patut merasa geli dan lucu melihat tingkah orang-orang kristen ini.
Mereka,
para pecandu “PENEBUSAN DOSA” yang mirip “minta maaf dahulu sebelum berbuat
kejahatan”, sejatinya merupakan kaum yang begitu PEMALAS untuk menanam
benih-benih Karma Baik, dan disaat bersamaan terlampau PENGECUT untuk
bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri yang telah
pernah menyakiti, merugikan, ataupun melukai pihak-pihak lainnya.
Pernah
ada sebuah film yang mengisahkan kehidupan kasta-kasta buruh dan budak. Para
budak tersebut, mengemis-ngemis minta diberikan makan oleh tuannya, dan ketika
tuannya memberikan makanan, sang budak begitu merasa berterimakasih kepada sang
tuan.
Seseorang
disebut sebagai “budak”, karena ia merasa nasib hidupnya bergantung dari
pemberian pihak lain—alias tidak mengenal apa yang disebut sebagai “self determination”, menentukan nasib
sendiri ataupun menjadi arsitek dari nasib hidupnya sendiri.
Seperti
itulah, gaya orang-orang kristen. Meskipun mereka memakai jas bagus, busana dan
gaun yang indah, namun sejatinya mental mereka ialah mentalitas kasta seorang “budak”.
Seorang
bos atau tuan, makan ya makan. Sesimpel dan sesederhana itu.
Pendosa,
adalah orang yang “berhutang”. Orang yang “berhutang”, adalah orang yang
“miskin”—karenanya, orang-orang yang mencandu ideologi korup bernama “PENEBUSAN
DOSA”, adalah orang yang “miskin”.
Yang
“berhutang” adalah orang-orang Kristen, namun yang disuruh “menebus /
membayarnya” adalah Yesus? Meninggal di-salib-nya kapan, buat dosanya kapan...
Sang Buddha
pernah bersabda:
45
(3) Hutang
(1)
“Para bhikkhu, bukankah kemiskinan adalah penderitaan di dunia bagi seorang
yang menikmati kenikmatan indria?”
“Benar,
Bhante.”
(2)
“Jika seorang yang miskin, [352] melarat, dan papa berhutang, bukankah
hutangnya juga adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati
kenikmatan indria?”
“Benar,
Bhante.”
(3)
“Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang telah berhutang berjanji
untuk membayar bunga, bukankah bunganya juga adalah penderitaan di dunia bagi
seorang yang menikmati kenikmatan indria?”
“Benar,
Bhante.”
(4)
“Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang telah berjanji untuk membayar
bunga tidak mampu membayarnya ketika jatuh tempo, maka mereka menegurnya.
Bukankah menjadi ditegur ini juga adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang
menikmati kenikmatan indria?”
“Benar,
Bhante.”
(5)
“Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang ditegur tidak membayar, maka
mereka menggugatnya. Bukankah gugatan juga adalah penderitaan di dunia bagi
seorang yang menikmati kenikmatan indria?”
“Benar,
Bhante.”
(6)
“Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang digugat tidak membayar, maka
mereka memenjarakannya. Bukankah penjara juga adalah penderitaan di dunia bagi
seorang yang menikmati kenikmatan indria?”
“Benar,
Bhante.”
“Demikianlah,
para bhikkhu, bagi seseorang yang menikmati kenikmatan indria, maka kemiskinan
adalah penderitaan di dunia; berhutang adalah penderitaan di dunia; kewajiban
membayar bunga adalah penderitaan di dunia; ditegur adalah penderitaan di dunia;
gugatan adalah penderitaan di dunia; dan penjara adalah penderitaan di dunia.
(1)
“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seseorang tidak memiliki keyakinan dalam
[melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak memiliki rasa malu
dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak memiliki rasa
takut dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak memiliki
kegigihan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak
memiliki kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, maka dalam
disiplin Yang Mulia ini ia disebut seorang yang miskin, melarat, dan papa.
(2)
“Karena tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu, tidak memiliki rasa
takut, tidak memiliki kegigihan, tidak memiliki kebijaksanaan dalam [melatih]
kualitas-kualitas bermanfaat, maka orang yang miskin, melarat, dan papa itu
melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Ini, Aku
katakan, adalah ia berhutang.
(3)
“Untuk menyembunyikan perbuatan buruk
melalui jasmaninya, ia memelihara keinginan jahat. Ia berharap: ‘Semoga tidak
ada orang yang mengenaliku’; ia berkehendak [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada
orang yang mengenaliku’; [353] ia mengucapkan pernyataan [dengan tujuan]:
‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; ia melakukan usaha secara jasmani [dengan
tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku.’
“Untuk
menyembunyikan perbuatan buruk melalui
ucapannya … [sama dengan di atas];
“Untuk
menyembunyikan perbuatan buruk melalui
pikirannya, ia memelihara keinginan jahat. Ia berharap: ‘Semoga tidak ada
orang yang mengenaliku’; ia berkehendak [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada
orang yang mengenaliku’; ia mengucapkan pernyataan [dengan tujuan]: ‘Semoga
tidak ada orang yang mengenaliku’; ia melakukan usaha secara jasmani [dengan
tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku.’ Ini, Aku katakan, adalah
bunga yang harus ia bayar.
(4)
“Para bhikkhu yang berperilaku baik berkata sebagai berikut tentangnya: ‘Yang
mulia ini bertindak seperti ini, berperilaku seperti ini.’ Ini, Aku katakan,
adalah ia ditegur.
(5)
“Ketika ia pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke tempat tinggal yang kosong,
pikiran-pikiran yang tidak bermanfaat yang disertai dengan penyesalan menyerangnya.
Ini, Aku katakan, adalah ia digugat.
(6)
“Kemudian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, orang yang miskin,
melarat, dan papa itu yang melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan,
dan pikiran itu dibelenggu di dalam penjara neraka atau penjara alam binatang.
Aku
tidak melihat, para bhikkhu, penjara lainnya yang begitu mengerikan dan ganas,
[dan] begitu merintangi dalam mencapai keamanan tertinggi dari belenggu,
seperti halnya penjara neraka atau penjara alam binatang.”
Kemiskinan
disebut penderitaan di dunia;
demikian
pula dengan berhutang.
Seorang
miskin yang berhutang
mengalami
kesusahan sewaktu ia bersenang-senang.
Kemudian
mereka menggugatnya
dan
ia juga mengalami dipenjara
Penjara
ini sesungguhnya adalah penderitaan
bagi
seseorang yang merindukan perolehan dan kenikmatan indria.
Demikian
pula dalam disiplin Yang Mulia ini,
seseorang
yang tidak berkeyakinan, [354]
yang
tanpa rasa malu dan kurang ajar,
menimbun
kumpulan kamma buruk.
Setelah
melakukan perbuatan buruk
melalui
jasmani, ucapan, dan pikiran,
ia
membentuk keinginan:
“Semoga
tidak ada orang yang mengetahui tentang aku.”
Ia
berkelit dengan jasmaninya,
[berkelit]
melalui ucapan atau pikiran;
ia
menumpuk perbuatan jahatnya,
dalam
satu atau lain cara, berulang-ulang.
Pelaku
kejahatan yang dungu ini, yang mengetahui
perbuatan
buruknya sendiri, adalah seorang miskin
yang
jatuh dalam hutang,
mengalami
kesusahan sewaktu ia bersenang-senang.
Kemudian
pikirannya menggugatnya;
kondisi
pikiran yang menyakitkan yang muncul dari penyesalan
[mengikutinya
ke mana pun ia pergi]
apakah
ke desa atau hutan.
Pelaku
kejahatan yang dungu ini,
yang
mengetahui perbuatan buruknya sendiri,
pergi
ke alam [binatang] tertentu
atau
bahkan terbelenggu di neraka.
Ini
sesungguhnya adalah penderitaan dari belenggu
yang
mana orang bijaksana terbebaskan darinya,
yang
memberikan [pemberian] dengan kekayaan yang
diperoleh
dengan benar,
yang
mengokohkan pikirannya dalam keyakinan.
Perumah
tangga yang memiliki keyakinan
telah
melakukan lemparan beruntung dalam kedua kasus:
demi
kesejahteraan dalam kehidupan ini
dan
kebahagiaan dalam kehidupan mendatang.
Demikianlah
bagi para penghuni rumah
jasa
ini meningkat melalui kedermawanan.
Demikian
pula, dalam disiplin Yang Mulia,
seorang
yang memiliki keyakinan kokoh,
yang
memiliki rasa malu dan rasa takut terhadap kesalahan,
bijaksana,
dan terkendali oleh perilaku bermoral,
dikatakan
hidup berbahagia
dalam
disiplin Yang Mulia.
Setelah
memperoleh kebahagiaan spiritual,
kemudian
ia bertekad pada keseimbangan.
Setelah
meninggalkan kelima rintangan,
selalu
membangkitkan kegigihan,
ia
masuk ke dalam jhāna-jhāna,
menyatu,
waspada, dan penuh perhatian.
Setelah
mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya,
melalui
ketidak-melekatan sepenuhnya
pikirannya
dengan benar terbebaskan
dengan
hancurnya semua belenggu.
Dengan
hancurnya belenggu-belenggu penjelmaan,
bagi
seorang yang stabil, yang terbebaskan dengan benar,
maka
pengetahuan muncul:
“Kebebasanku
tak tergoyahkan.”
Ini
adalah pengetahuan tertinggi;
ini
adalah kebahagiaan yang tak terlampaui.
Tanpa
dukacita, bebas dari debu, dan aman,
ini
adalah kebebasan tertinggi dari hutang. [355]
Sementara
orang-orang kristen “berhutang” dan “meminta-minta” atau “mengemis-ngemis”,
para Buddhist “menabung” serta “memetik” buah manis Karma Baik yang mereka
tanam sendiri.
SUMBER
: Khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi
oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun
2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara.