Yesus Bukan Orang Baik, justru Kejam dan Intoleran, Ada Buktinya

Ada yang mengatakan, jika ada yang memberikan ia bingkisan berupa makanan dan minuman, namun didalamnya terdapat minuman bersoda, maka ia tidak akan mengonsumsinya, juga tidak akan memberikannya kepada orang lain agar tidak ada siapapun yang rusak kesehatannya akibat minuman bersoda.

Kita tahu, minuman bersoda mengandung asam sulfat yang tidak baik bagi kesehatan, yang konon dapat mengakibatkan pengeroposan tulang, hingga masalah pemanis buatan.

Namun ada pihak lain yang kemudian menimpali, bahwa membuang bingkisan pemberian orang lain, adalah perbuatan tercela.

Perbuatan baik, menurut Sang Buddha, artinya tidak merugikan orang lain, tidak merugikan diri sendiri, juga tidak melecehkan diri sendiri.

Karenanya, pandangan orang yang disebut pertama, sudah sangat arif dan bijaksana—layak disebut sebagai orang baik yang berbuat baik.

Diri sendiri selamat dengan tidak mengonsumsi perusak kesehatan, orang yang memberikan kita minuman soda pun selamat dari Karma Buruk, serta orang lain pun turut selamat karena tidak kita berikan minuman bersoda.

Saat Yesus disalib bersama dengan dua orang penjahat lainnya yang turut disalib bersama dengan Yesus—saya tahu ini karena dulu di bangku sekolah saya bersekolah di sekolah Katolik—dimana salah satunya adalah seorang penyamun.

Kemudian, Yesus menghapus dosa kedua penjahat yang disalib bersama dengan Yesus, sehingga sang pendosa masuk surga. “Kabar gembira” bagi penjahat, sama artinya “kabar buruk / duka” bagi kalangan korban dari sang penjahat yang dihapus dosa-dosanya.

Yesus, rupa-rupanya pandai mencari sensasi dan popularitas, bahkan terkesan meng-halal-kan segala cara demi mendapatkan penyanjung dan pengikut.

Sering kita jumpai orang-orang nasrani dan kristen berkata seperti ini—dan dimana-mana mereka mengatakan hal serupa—bahwa “orang-orang umat Buddhist, baik sih orangnya, namun karena tidak percaya kepada Yesus, mereka masuk neraka.”

Yesus, telah ternyata melempar manusia-manusia baik, ke neraka, semata karena tidak “LIP SERVICE” dengan menjilat bokong Yesus sebagaimana ritual para umat nasrani selama ini.

Dahulu, sebelum Yesus lahir ke dunia, pra era Masehi, orang-orang baik, sekalipun ateis ataupun NON, otomatis masuk surga jika rajin berbuat baik semasa hidupnya dan menghindari perbuatan-perbuatan buruk.

Paska lahirnya Yesus, era Masehi dimulai, para pendosa pecandu “penebusan dosa” dimasukkan ke surga, sementara itu orang-orang baik akan tetapi karena ateis atau NON justru dilempar ke neraka oleh Yesus—itukah, yang disebut sebagai “Maha Pengasih” ataukah “Maha Pendendam, Pencemburu, Pembenci, Pemarah, Kejam, otoriter, diktator, dan Maha Tidak Manusiawi”?

Karenanya, Yesus lebih layak diberi gelar sebagai “Juru SELAMAT” ataukan diberi julukan sebagai “Juru PETAKA” (mengingat Yesus telah merampas hak-hak orang baik dengan memonopoli pintu gerbang akses menuju surga)?

Alih-alih menjadikan “Hari Raya PETAKA”, para umat nasrani justru merayakan datangnya Hari Raya Natal—hari peringatan dimana Yesus merampas hak-hak orang baik atas surga dan memonopoli alam surgawi demi kepentingan dan kepuasan diri pribadi Yesus, yakni : minta dijilat bokongnya oleh para “pendosa penjilat penuh dosa” bernama umat nasrani

Yudas Iskariot merupakan sosok yang malang, dicelakai oleh Yesus yang membuat tangan Yudas dibanjiri oleh darah Yesus. Yesus sejatinya dapat memilih untuk melarikan diri dari kejaran pasukan Yahudi, atau setidaknya “bunuh diri” dalam rangka “menebus dosa”—memangnya Yesus punya uang sebanyak itu, menebus hutang-hutang para nasrani?

Namun telah ternyata Yesus memilih untuk “mati konyol”, bernasib yang sama seperti nasib kedua penjahat yang disalib bersama dengan Yesus. Yesus menyerahkan dirinya untuk dibunuh.

Mengapa dan atas dasar alasan apakah, Yudas Iskariot sejatinya merupakan tokoh yang malang?

Dalam Buddhisme, ada dua proposisi berikut:

Pertama, penjahat yang beruntung ialah kalangan penjahat yang selalu gagal melancarkan dan mewujudkan niat jahatnya.

Kedua, penjahat yang sial / malang, ialah penjahat yang selalu berhasil meng-gol-kan rencana-rencana jahatnya.

Berikut sebuah pengalaman pribadi yang bisa menjadi ilustrasi sederhana. Saat masih kecil di bangku sekolah dasar, sang siswa pernah mencuri selempeng keping berwarna keemasan milik temannya. Dikira emas. Saat menjelang dewasa, sang siswa nakal ini merasa lega dan bersyukur karena telah ternyata barang yang dulu ia curi dari teman sekelasnya ketika masih kecil, adalah bukan material yang terbuat dari emas.

Jika itu ternyata betul adalah emas, dapat Anda bayangkan, betapa besar Karma Buruk yang akan berbuah dan dipetik sendiri olehnya dikemudian hari.

Berani berbuat, berani bertanggung-jawab—itulah yang disebut, jiwa seorang KSATRIA.

Umat kristiani akan merasa mudah saja : meminta Yesus untuk menebus dengan cara membayarnya kepada Korban.

Orang suci, disebut suciwan, karena memilih untuk hidup dalam jalan hidup penuh latihan diri lewat praktik disiplin “self control” yang ketat.

Sementara kaum ksatria, disebut ksatriawan, karena memilih untuk tampil berani bertanggung-jawab dan mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan buruknya sendiri yang telah pernah serta masih dapat merugikan, menyakiti, dan melukai orang lain.

Sebaliknya, hanya seorang PENDOSA yang butuh “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA”.

Para umat nasrani, dari pengalaman pribadi menjadi korban kejahatan para umat nasrani, selama ini bermulut besar perihal Tuhan, agama kristen, perihal isi ayat-ayat dalam Kitab—namun NIHIL dan MISKIN untuk urusan persoalan tanggung-jawab.

Karenanya, mereka terlampau PEMALAS untuk menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik sendiri buah manisnya, dan disaat bersamaan terlampau PENGECUT untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri.

Karenanya juga, tidaklah berlebihan bila kita memberi stigma kepada umat nasrani sebagai kaum dari kasta paling rendah, hina, dangkal, tercela, ternoda, kotor, busuk, buruk, serta terkutuk.

BUNG, HANYA SEORANG PENDOSA YANG BUTUH IDEOLOGI KORUP SEMACAM “PENGHAPUSAN DOSA” (ABOLITION OF SINS).

Demi ego pribadi, anak kandung sendiri dirampas nyawa dan hak hidup maupun masa depannya. Orangtua yang baik, akan memilih untuk DILEMPAR KE NERAKA ataupun menukar nyawa hidupnya sendiri demi keselamatan dan hidup anaknya yang terkasih.

Alkitab, kisah pengorbanan Ishak atas perintah Allah kepada Abraham (Ibrahim) tercatat dengan eksplisit dalam Kitab Kejadian, (Alkitab) 22:1-3.

(1) Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.”

(2) Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”

(3) Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya.

Pertanyaannya, dogma-dogma demikian, merupakan “Kitab SUCI” sumber “Agama SUCI”, ataukah merupakan “Kitab DOSA” sumber dari “agama dosa”?

Berkebalikan dengan dogma-dogma dalam agama nasrani, Sang Buddha bersabda: [dikutip dari Dhammapada dan Angguttara Nikaya]

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

~0~

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

~0~

“Para bhikkhu, ada empat usaha ini. Apakah empat ini? Usaha dengan mengendalikan, usaha dengan meninggalkan, usaha dengan mengembangkan, dan usaha dengan melindungi.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, usaha dengan mengendalikan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan mengendalikan.

(2) “Dan apakah usaha dengan meninggalkan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan meninggalkan.

(3) “Dan apakah usaha dengan mengembangkan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk memunculkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan mengembangkan.

(4) “Dan apakah usaha dengan melindungi? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk mempertahankan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidakmundurannya, meningkatkan, memperluas, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha dengan melindungi.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.