Orang dungu, disebut dungu, karena mereka mengatasnamakan kemiskinan, lalu berbuat kejahatan untuk mengatasi kemiskinan mereka—sebuah solusi yang “delusif”.
Itulah, yang disebut “kerja bodoh”.
Semisal, supir angkutan umum, mengatas-namakan “kejar setoran”, lalu
memperlakukan penumpang seperti seekor sapi, dimana penumpang belum duduk di
kursi atau belum benar-benar turun namun sang supir sudah “tancap gas”, tidak
menghargai keselamatan penumpang.
Berkebalikan dengan itu, orang cerdas, disebut cerdas, karena mereka mengatasi kesulitan ekonomi dengan cara menanam benih-benih Karma Baik. Kemiskinan sekalipun, bukan menjadi alasan bagi mereka untuk menyakiti, merugikan, ataupun melukai orang lain.
Sebaliknya, orang-orang cerdas akan
memanfaatkan setiap momen dan kesempatan yang ada, untuk menanam benih-benih perbuatan
baik.
Itulah, yang disebut sebagai “kerja
cerdas”—“kerja cerdas” mana melahirkan “kemujuran” sebagai buah yang akan
dipetik olehnya dimasa yang akan datang.
Berikut Sang Buddha mengajarkan:
“Para
bhikkhu, ada lima bencana ini. Apakah lima ini? Bencana yang disebabkan oleh
[kehilangan] sanak saudara, bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] kekayaan,
bencana yang disebabkan oleh penyakit, bencana sehubungan dengan perilaku
bermoral, dan bencana sehubungan dengan pandangan.
Bukanlah karena bencana yang
disebabkan oleh [kehilangan] sanak saudara, atau bencana yang disebabkan oleh
[kehilangan] kekayaan, atau bencana yang disebabkan oleh penyakit maka dengan
hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam
sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.
Adalah karena bencana sehubungan
dengan perilaku bermoral dan bencana sehubungan dengan pandangan, maka dengan
hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam
sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima
bencana itu.
“Para
bhikkhu, ada lima keberhasilan ini. Apakah lima ini? Keberhasilan dalam hal
sanak saudara, keberhasilan dalam hal kekayaan, keberhasilan dalam hal
kesehatan, keberhasilan dalam hal perilaku bermoral, dan keberhasilan dalam hal
pandangan.
Bukanlah karena keberhasilan dalam
hal sanak saudara, keberhasilan dalam hal kekayaan, keberhasilan dalam hal
kesehatan maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk
terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.
Adalah karena keberhasilan dalam hal
perilaku bermoral dan keberhasilan dalam hal pandangan maka dengan hancurnya
jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam tujuan yang
baik, di alam surga. Ini adalah kelima keberhasilan itu.”
~0~
75 (1) Dalam Penderitaan
“Para bhikkhu, dengan memiliki enam
hal, seorang bhikkhu berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini – dengan kesusahan,
siksaan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam
tujuan yang buruk menantinya. Apakah enam ini?
Pemikiran indriawi, pemikiran berniat
buruk, pemikiran mencelakai, persepsi indriawi, persepsi berniat buruk, dan
persepsi mencelakai. Dengan memiliki keenam hal ini, seorang bhikkhu berdiam
dalam penderitaan dalam kehidupan ini – dengan kesusahan, siksaan, dan demam –
dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam tujuan yang buruk
menantinya.
“Para bhikkhu, dengan memiliki enam
hal, seorang bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini – tanpa
kesusahan, siksaan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian,
alam tujuan yang baik menantinya. Apakah enam ini?
Pemikiran meninggalkan keduniawian,
pemikiran berniat baik, pemikiran tidak mencelakai, persepsi meninggalkan
keduniawian, persepsi berniat baik, dan persepsi tidak mencelakai.
Dengan memiliki keenam hal ini,
seorang bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini – tanpa kesusahan,
siksaan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam
tujuan yang baik menantinya.” [430]
~0~
76 (2) Kearahattaan
“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam
hal, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah enam ini? Keangkuhan,
sikap rendah diri, kesombongan, menilai diri sendiri terlalu tinggi, sifat
keras kepala, dan merendahkan diri sendiri. Tanpa meninggalkan keenam hal ini,
seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan.
[KITAB
KOMENTAR : “Keangkuhan (māna) adalah
menganggap diri sendiri [sebagai lebih baik] berdasarkan kelahiran, dan
sebagainya. Sikap rendah-diri (omāna)
adalah keangkuhan, ‘aku lebih rendah’ (hīno’ham
asmī ti māna). Kesombongan (atimāna)
adalah keangkuhan meninggikan diri sendiri. Menilai diri sendiri terlalu tinggi
(adhimāna) adalah membayangkan diri
sendiri telah mencapai [apa yang sebenarnya belum ia capai]. Sifat keras kepala
(thambha) adalah karena kemarahan dan
keangkuhan. Merendahkan diri sendiri (atinipāta)
adalah keangkuhan ‘aku lebih rendah’ yang muncul pada seorang yang memang lebih
rendah.”]
“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam
hal, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah enam ini? Keangkuhan,
sikap rendah diri, kesombongan, menilai diri sendiri terlalu tinggi, sifat
keras kepala, dan mencela diri sendiri. Setelah meninggalkan keenam hal ini,
seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan.”
~0~
85 (1) Kesejukan
“Para bhikkhu, dengan memiliki enam
kualitas, seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan kesejukan yang tidak
terlampaui. Apakah enam ini?
(1) Di sini, seorang bhikkhu tidak
menekan pikirannya pada saat seharusnya ditekan;
(2) ia tidak mengerahkan pikirannya
pada saat seharusnya dikerahkan;
(3) ia tidak mendorong pikirannya pada
saat seharusnya didorong; dan
(4) ia tidak melihat pikirannya dengan
keseimbangan pada saat seharusnya dilihat dengan keseimbangan.
(5) Ia berwatak rendah dan (6) ia bersenang
dalam eksistensi diri.
Dengan memiliki keenam kualitas ini,
seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan kesejukan yang tidak terlampaui.
[KITAB
KOMENTAR : Pikiran harus ditekan (niggahetabbaṃ) oleh konsentrasi pada saat muncul kegelisahan;
harus dikerahkan oleh kegigihan pada saat jatuh ke dalam kelambanan; harus
didorong (paggahetabbaṃ) dengan konsentrasi pada saat kelesuan; dan harus
dilihat (ajjhupekkhitabbaṃ) dengan faktor pencerahan keseimbangan ketika berlangsung
secara seimbang.]
“Para bhikkhu, dengan memiliki enam
kualitas, seorang bhikkhu mampu merealisasikan kesejukan yang tidak terlampaui.
Apakah enam ini?
(1) Di sini, seorang bhikkhu menekan
pikirannya pada saat seharusnya ditekan;
(2) ia mengerahkan pikirannya pada
saat seharusnya dikerahkan;
(3) ia mendorong pikirannya pada saat seharusnya
didorong; dan
(4) ia melihat pikirannya dengan keseimbangan
pada saat seharusnya dilihat dengan keseimbangan.
(5)
Ia berwatak mulia dan (6) ia bersenang dalam nibbāna.
Dengan
memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu mampu merealisasikan kesejukan
yang tidak terlampaui.”
SUMBER : Khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara.