Akal Sakit Milik Orang Sakit, LOGIKA ORANG SAKIT
Terdapat sebuah seni berdebat, dimana ketika kita berhadapan dengan pihak-pihak yang mencoba mendebat kita, kita memakai cara berpikir dan logika pihak tersebut itu sendiri—alias melawan mereka dengan logika milik mereka sendiri. Dalam kesempatan ini, Anda akan belajar seni berdebat tersebut, sekaligus mencerahkan pandangan Anda sendiri.
Ada kaum “agamais” pemeluk
agama samawi, yang melontarkan argumentasi menentang kaum NON maupun kaum
ateis. Mereka mencoba membela Tuhan yang mereka sembah—alih-alih Tuhan yang
membela mereka, sungguh kasihan “Tuhan yang butuh pahlawan”—dengan argumentasi
: udara tidak kelihatan, apa artinya udara tidak ada? Atas dasar alibi
tersebut, mereka menyerang dan menyudutkan kaum NON maupun ateis, semata karena
tidak percaya dan tidak menyembah Tuhan yang dianut sang “agamais”.
Sayangnya, mereka tidak mau
bertanya dengan logika yang sama dengan logika milik mereka sendiri, bahwa hukum
karma, kelahiran kembali, Nibbana, juga tidak kelihatan, namun mengapa para
“agamais” tersebut tidak mau mempercayai dan memeluknya? Lagipula, kita harus
percaya dan meyakini Tuhan yang mana, Tuhan yang lebih PRO terhadap Pendosa
dengan menghapus dosa-dosa para pendosawan tersebut, ataukah Tuhan yang lebih
PRO terhadap korban-korban dari para Pendosawan tersebut? Surga, surga yang
mana dulu, yang isi penghuninya ialah dijejali para Pendosa pecandu
“penghapusan dosa”?
Manusia dengan daya pikir yang
sempit, mirip seperti manusia yang memandang superior Planet Bumi tempat mereka
menghuni, planet yang “hidup”, lalu mengagung-agungkan Tuhan sebagai “Maha
Kuasa”, “Maha Pencipta”, dan puja-puji lainnya, sekalipun bencana alam adalah
hal yang alamiah saja terjadinya karena siklus alam.
Namun, ketika seseorang dengan
cara berpikir “out of the box”, tidak
lagi menyerupai “katak dalam tempurung”, memahahi bahwa bila kita memakai sudut
pandang seorang astronot, Planet Bumi ini sungguh tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan luas-megah-nya ALAM SEMESTA, dimana banyak planet-planet
lain di luar sana, yang mana bisa jadi terdapat planet “hidup” lainnya
disamping tebaran planet “mati”, matahari, maupun “lubang hitam”.
Kita ambil contoh permainan
logika berikut. Anda diberi kesempatan melempar dadu sebanyak 10 kali, namun
tantangannya ialah dadu tersebut jatuh dengan “titik enam” di bagian atasnya.
Bila Anda mampu membuat dadu tersebut jatuh dengan sisi “titik enam” di bagian
atasnya, sebanyak 9 kali dari 10 lemparan, Anda tergolong luar biasa “hebat”.
Sebaliknya, tengoklah Tata Surya tempat Planet Bumi dan Matahari kita
mengorbit, ada 9 planet, hanya 1 planet yang “hidup”. Dimana letak hebatnya
Tata Surya ini? Kita buat hitungan secara lebih luas, yakni ukuran Galaksi Bimasakti
ini, terdapat triliunan planet, terdapat berapa planet-kah yang “hidup”?
Ada kaum “agamais” yang begitu
bangga dan “ngotot” berspekulasi, bahwa segala sesuatunya adalah karena kuasa,
izin, dan rencana Tuhan. Jika begitu, mengapa kaum “agamais” itu sendiri yang
melanggar dogma-dogma mereka, yang dapat kita lihat fenomena supir kendaraan
truk “ODOL”, over dimension and over load.
Alasan pengemudi tersebut mengangkut muatan dua kali batas maksimum muatan yang
diizinkan pemerintah, ialah karena “terpaksa”, demi tuntutan “dapur ngebul” di
rumah.
Padahal, kata mereka selama
ini, “rezeki ada di tangan Tuhan”, “menikah membuka pintu rezeki”, “rezeki
sudah ada yang atur”, “manusia hanya bisa berupaya, Tuhan yang menentukan”,
“nasib manusia di tangan Tuhan”, dsb. Kesenjangan ekonomi, kian lebar
senjangnya. Itukah yang disebut, “Tuhan tidak pernah tidur”?
Bahkan, kaum “agamais” tersebut
juga sesumbar, bahwa detak jantung manusia pun setiap detiknya diatur oleh
Tuhan. Akan tetapi, disaat bersamaan, bagai “berstandar-ganda”, mereka juga
berkata, bahwa “jika ada hal-hal yang baik, itu karena Tuhan. Tapi jika ada
hal-hal yang buruk, itu karena kesalahan saya.” Itu artinya, sang “agamais”
hendak berkata, ada loh, yang terjadi diluar atau bukan atas dasar rencana,
niat, izin, maupun kuasa Tuhan.
Terdapat pertanyaan-pertanyaan
sederhana mendasar, yang bahkan hingga saat kini tidak pernah mampu dijawab
oleh para “agamais” tersebut—entah karena tidak sanggup menjawabnya, malu
menjawabnya, atau karena takut menjawabnya. Menurut Anda, apakah dogma-dogma
berikut, lebih layak disebut sebagai “Agama SUCI”, ataukah “Agama DOSA”?
“Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan
memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.”
Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun
dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
Menurut Anda, apakah Anda akan
patuh menjalankan perintah dari Tuhan berikut ini, atau sebaliknya berkata
tegas “TIDAK” dan melakukan perlawanan sengit sebagaimana sosok seorang
HERCULES yang tidak gentar melawan apa yang dijuluki sebagai “GOD”?
“Saya diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH
DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan
kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut,
niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Itukah yang mereka maksudkan
sebagai “agama Cinta DAMAI”? Jika begitu, pertanyaannya, yang “Cinta PERANG”
itu seperti apa? JIka sudah ada kalimat pengunci “TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH”, maka
apakah artinya Tuhan semua agama abrahamik atau samawi adalah sosok yang sama?
Manakah yang lebih “berhala”,
dogma agama berikut ini, ataukah umat penyembah batu yang bahkan tidak pernah
mencium-cium batu ataupun patung kayu yang mereka sembah?
Umar bin al-Khattab, rekan
Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan
menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau
hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan
siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak
akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
Menurut Anda, apakah pendosa
tidak dapat disamakan dengan “orang buta”? “Kabar gembira” bagi Pendosa yang
dihapus dosa-dosanya, apakah bukan merupakan “kabar duka dan buruk” bagi
korban-korban para Pendosa tersebut? Perhatikan dogma berikut untuk
menjawabnya:
Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang
banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]
Siapakah yang butuh
“Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa”, seorang Pendosa ataukah orang
suci dan orang baik hati ataupun ksatria yang siap-berani bertanggung-jawab
atas perbuatan-perbuatan buruknya sendiri? Bung, hanya seorang Pendosa yang
butuh “Penghapusan Dosa” atau istilah korup sejenis lainnya.
Pendosa, hendak berceramah
perihal hidup suci, luhur, mulia, agung, bersih, lurus, dan baik? Bukankah itu
menyerupai “orang buta”, yang hendak menuntun para butawan lainnya? Neraka pun
dipandang dan diyakini sebagai surga, berbondong-bondong mereka terjerumus ke
dalam lembah gelap tersebut. Pepatah sudah lama mengingatkan kita, “don’t judge the book, by the NAME”—sekalipun
itu judulnya “Kitab SUCI”, namun isinya mempromosikan “Penghapusan Dosa”, bagi
Pendosa, tentunya.
Kaum “agamais” mencoba
berkilah, dengan ber-alibi bahwa sang pendosa terlebih dahulu di-“bejeg-bejeg”
di neraka, baru dimasukkan ke surga. Itu sama seperti hendak berkata, nabi
rasul Allah yang mereka sembah sebagai sosok manusia paling mulia dan sempurna,
sempat dilempar ke neraka untuk mencicipi neraka, terlepas kemudian masuk surga
atau tidaknya.
Agama yang mempromosikan
“Penghapusan Dosa” alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa
ataupun maksiat, lebih layak diberi gelar “Agama SUCI” ataukah “Agama DOSA”?
Terhadap dosa dan maksiat,
begitu kompromisik. Namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan, begitu
intoleran. Saat masih sebagai minoritas, mereka menuntut dan menikmati
toleransi beragama. Namun saat mereka menjelma mayoritas, mereka ingin
memberangus toleransi yang dahulu mereka nikmati dari nenek-moyang Nusantara
yang beragama Buddha sejak Abad ke-1 Masehi hingga ke-15 Masehi era Kerajaan
Majapahit. [selengkapnya lihat Kitab Jawa DHARMO GHANDUL serta bukti sejarah
bahwa Kitab Sutasoma akar dari Pancasila merupakan warisan Buddhisme di
Nusantara]
Sekujur tubuh, mulai dari ujung
rambut hingga ujung kaki, ditutup busana, “aurat” katanya. Namun, “AURAT
TERBESAR” berupa perbuatan dosa dan jahat yang melukai, merugikan, maupun
menyakiti pihak lain, justru dipertontonkan lewat doa-doa dan ceramah-ceramah
“tidak tahu malu” bernuansa “permohonan Penghapusan Dosa”—bagi para Pendosa,
tentunya. Pakai speaker pengeras suara pula, mempertontonkan dosa-dosa,
dosa-dosa mana minta dihapuskan. Tidak tahu malu, jorok, korup, vulgar, serta
“P0RN0”.
Para “agamais” tersebut merasa
bangga, bahkan merayakannya, peristiwa seorang ayah (Abraham / Ibrahim)
diperintahkan menyembelih anak kandungnya sendiri (Ismail / Ishaq). Namun,
mereka tidak pernah mau bertanya, atas dasar motif apakah, sang ayah menuruti
perintah “Tuhan”? Demi bisa bersetubuh dengan puluhan bidadari berdada montok
di surga, alias “selfish motive”, EGO
PRIBADI sang ayah.
Pertanyaan kedua, itu adalah manifestasi
“bisikan Tuhan” ataukah “bisikan SETAN” (evil
whisper)? Bukankah seorang ayah yang baik, akan lebih memilih MASUK NERAKA
daripada merampas hidup dan masa depan anaknya sendiri?
Kaum NON maupun ateis, menjadi
NON dan ateis, juga atas dasar kehendak, izin, rencana, serta kuasa Tuhan,
mengapa kaum “agamais” tersebut yang protes dan memprotesi keyakinan orang lain
alih-alih mengurus keyakinannya sendiri? Pendosa pecandu “penghapusan dosa”,
namun berdelusi sebagai “polisi moral” yang berhak menghakimi kaum lainnya?
Sapu kotor, bisa untuk membersihkan apa, justru lantainya yang jadi kotor.
Ketika bulan Ramadhan, para
“agamais” meningkat konsumsinya—sehingga harga-harga kebutuhan pokok meningkat—masih
pula menuntut minta dihormati dengan melarang orang lain makan, menuntut
Tunjangan Hari Raya, kerja malas-malasan, razia rumah makan, dan disaat
bersamaan OBRAL pesta-pora “Penghapusan Dosa”—dosa-dosa setahun
dihapuskan—alias mabuk-mabukan “Penghapusan Dosa”. Apakah para pecandu
“Penghapusan Dosa” alias kaum Pendosa tersebut, layak dan patut untuk dihormati
karena berpuasa? Yang hebat, dengan demikian, ialah justru yang ANTI berpuasa,
karena berjiwa ksatria menolak iming-iming “too
good to be true” bernama “Penghapusan Dosa”.
Manusia, disebut-sebut diberi
cobaan oleh Tuhan. Memangnya, sudah berapa lama usia umat manusia? Usia umat
manusia sudah setua usia Planet Bumi ini. Hanya “Profesor LING-LUNG”, yang
masih mencoba-coba makhluk ciptaannya sendiri, seolah-olah tidak paham atas
ciptaannya sendiri, dan penciptaannya tidak berdasarkan “road map” maupun
“cetak biru”. Bagi Tuhan, manusia tidak bedanya tikus untuk bereksperimen.
Buktinya diciptakan tidak secara sempurna, lalu dicoba-coba.
Manusia yang dilahirkan tidak
sempurna, bukan salah ibu yang mengandung, salahkah Tuhan. Memangnya ada,
pencipta lain selain Tuhan? Lagipula dogma-dogma agama samawi sendiri yang
melarang manusia untuk sempurna, lewat jargon “hanya Tuhan yang sempurna” atau
seperti “kesempurnaan hanya milik Tuhan”. Itu justru membuktikan, bahwa iblis
yang membisikkan bisikan-bisikan jahat, adalah bekerja untuk Tuhan, dalam
rangka mencobai manusia. Tuhan, dengan demikian, adalah “BIG BOSS”-nya para
iblis. Jika tidak diberi izin oleh Tuhan, iblis pun tidak berdaya mencobai
manusia. Dahulu kala, ada iklan obat cacing yang bunyi jingle-nya seperti ini. “Untuk
anak sendiri, kok dicoba-coba?”
Ada sekolah, yang tidak pernah
mau menuliskan ke dalam raport muridnya sebagai “TIDAK NAIK KELAS”, atau bahkan
“TURUN KELAS”. Mengapa? Karena itu mencerminkan gagalnya guru-guru para sekolah
tersebut dalam mengajar dan mendidik sang murid. Sama halnya, neraka sejatinya
merupakan “MONUMEN KEGAGALAN TUHAN”. Semakin banyak manusia yang dilemparkan
oleh Tuhan ke neraka, sama artinya semakin besar “MONUMEN KEGAGALAN TUHAN”.
Ketika ada seorang manusia yang memilih menjadi NON atau ateis, maka pada saat
itulah Tuhan menjelma “Maha PECUNDANG”. Semudah itulah, melawan dan mengalahkan
Tuhan—yakni dengan menjadi seorang NON ataupun ateis.
Dahulu kala, sebelum
agama-agama samawi diperkenalkan ke dunia ini, orang-orang baik otomatis masuk
surga, sekalipun ateis. Orang-orang jahat, otomatis masuk neraka. Memuliakan
Tuhan adalah dengan cara menjadi seorang manusia yang mulia, bukan menjadi
seorang pendosa. Mereka, adalah nenek moyang kita, sejak jutaan tahun lampau,
yang sudah tidak terhitung jumlahnya. Kini, sejak agama-agama samawi
diperkenalkan, surga dimonopoli kaum Pendosa pecandu ideologi korup bernama “Penghapusan
Dosa”. Jika tidak meyakini dan menyembah sang nabi atau sang Tuhan—Tuhan versi
agama tertentu, tentunya—maka akan dilempar ke neraka.
Pertanyaannya, sang nabi
tersebut adalah “juru selamat”, ataukah “juru PETAKA”? Sang nabi adalah penuh
“welas asih”, ataukah pembenci dan kejam, yang tega melempar manusia ke neraka,
semata karena tidak menyembah dirinya? Apa bedanya dengan memeras umat manusia,
toh dahulu PRA agama samawi, orang-orang baik otomatis masuk surga sekalipun
ateis? Kelahiran agama-agama samawi tersebut, adalah “kabar gembira” ataukah
“kabar PETAKA”?
Dogma-dogma samawi menyebutkan,
manusia NON adalah “domba yang hilang”. Disaat bersamaan dogma agama yang sama
mengajarkan, bahwa setiap hewan adalah sah dan halal untuk dimakan alias disantap.
Artinya, ketika “domba-domba” tersebut kemudian ditemukan, akan dijadikan apa?
Babi, HARAM. Hebat sekali,
meng-halal-haram-kan segala sesuatunya, seolah-olah paling moralis dan paling
superior. Tapi, “Penghapusan Dosa”, HALAL—bahkan dijadikan maskot “HALAL
Lifestyle”. Bung, hanya seorang PENDOSA yang butuh “PENGHAPUSAN DOSA”! Mereka,
para pendosa pencandu ideologi korup tersebut, sejatinya merupakan kasta
terendah, kasta paling rendah, kotor, dan tercela di jagat raya ini—namun
berdelusi sebagai kaum yang paling superior.
Sebagai penutup, khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, berikut
sangat relevan:
18 (8) Kesejahteraan (2)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi
tidak demi kesejahteraannya sendiri. Apakah lima ini?
(1) Di sini, seorang bhikkhu
tidak sempurna dalam perilaku bermoral tetapi mendorong orang lain agar menjadi
sempurna dalam perilaku bermoral;
(2) ia sendiri tidak sempurna
dalam konsentrasi tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam
konsentrasi;
(3) ia sendiri tidak sempurna
dalam kebijaksanaan tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam
kebijaksanaan;
(4) ia sendiri tidak sempurna
dalam kebebasan tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam
kebebasan;
(5) ia sendiri tidak sempurna dalam
pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tetapi mendorong orang lain agar
menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.
Dengan memiliki kelima kualitas
ini, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi tidak demi
kesejahteraannya sendiri.”
~0~
19 (9) Kesejahteraan (3)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih tidak demi kesejahteraannya sendiri
juga tidak demi kesejahteraan orang lain. Apakah lima ini?
(1) Di sini, seorang bhikkhu
tidak sempurna dalam perilaku bermoral dan juga tidak mendorong orang lain agar
menjadi sempurna dalam perilaku bermoral;
(2) ia sendiri tidak sempurna
dalam konsentrasi dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna
dalam konsentrasi;
(3) ia sendiri tidak sempurna
dalam kebijaksanaan dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna
dalam kebijaksanaan;
(4) ia sendiri tidak sempurna
dalam kebebasan dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam
kebebasan;
(5) ia sendiri tidak sempurna
dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dan juga tidak mendorong orang
lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.
[14] Dengan memiliki kelima
kualitas ini, seorang bhikkhu berlatih tidak demi kesejahteraannya sendiri juga
tidak demi kesejahteraan orang lain.”
~0~
20 (10) Kesejahteraan (4)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan
juga demi kesejahteraan orang lain. Apakah lima ini?
(1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna
dalam perilaku bermoral dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam
perilaku bermoral;
(2) ia sendiri sempurna
dalam konsentrasi dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam
konsentrasi;
(3) ia sendiri sempurna
dalam kebijaksanaan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam
kebijaksanaan;
(4) ia sendiri sempurna
dalam kebebasan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan;
(5) ia sendiri sempurna
dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dan mendorong orang lain agar
menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.
Dengan memiliki kelima kualitas
ini, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi
kesejahteraan orang lain.”