Umat Agama Samawi yang menjadi Ateis, atau sebaliknya, Ateis menjadi pemeluk Agama samawi, ibarat Keluar Mulut Harimau namun Masuk Mulut Buaya.
Itulah
vonis atas nasib hidup mereka.
Dengan
memilih menjadi negara “NON Blok”, artinya “Blok” itu sendiri, yakni “NON
Blok”.
Sama
halnya, Atheis juga adalah “Agama” itu sendiri, yakni “Agama Atheis”.
Terdapat
dua kutub ekstrem agama yang terdapat di dunia ini, yakni “agama Samawi” dan
“agama Atheis”.
Yang
satu ialah pandangan ekstrem seperti “segala sesuatunya karena Tuhan”
(theisme), sementara yang berseberangan dengannya ialah “segala sesuatunya
berangkat dari kenihilan alias tanpa ada sebab yang mendahului” (nihilisme).
Nihilisme, merupakan bahasa lain dari Atheis/Ateis.
Agama
Atheis, sama arogannya dengan umat pemeluk agama Samawi.
Bila
dalam pandangan Agnostik, Tuhan itu eksis adanya, namun tidak turut campur
tangan kehidupan dunia dan semesta semenjak diciptakannya alam semesta lengkap
dengan Hukum Alam maupun Hukum Karma.
Namun
kaum Atheis meyakini dunia bergerak berdasarkan “hukum-hukum fisika”, akan
tetapi disaat bersamaan secara “berstandar ganda”, mereka menolak adanya Hukum
Karma maupun alam-alam setelah kematian—sekalipun Hukum Karma adalah “hukum
sebab dan akibat” itu sendiri.
Mereka
terlampau arogan terhadap kesombongan hidupnya sendiri—biasanya
berlatar-belakang orang-orang yang cukup berpunya dan berpendidikan tinggi.
Sayangnya,
mereka overestimated terhadap
kecerdasan akademik mereka sendiri. Contoh, banyak kaum Atheis menertawakan
perihal “reborn” atau “tumimbal
lahir”.
Ketika
metode ilmiah psikologi “past life
regression” untuk melihat masa lampau kehidupan seseorang ditemukan dan
telah mendapat pengakuan luas, tetap saja sebagian besar kaum Atheis menolak
dan menentangnya—jadi tidak benar-benar ilmiah dan empirik cara berpikir kaum
Atheis.
Ada
cacat logika yang bersarang di kepala kaum Atheis. Mereka, adalah kaum paling
PLIN-PLAN di muka Bumi. Atas alasan apakah?
Kita
tahu ilmu pengetahuan bersifat “tentatif”—ia tidak mutlak kebenarannya, selalu
diperbaharui seiring perkembangan zaman dan selalu berubah.
Pada
suatu waktu atau suatu era, berkembang dan diyakini satu teori fisika. Namun,
pada era berikutnya, berkembang teori lain yang kemudian mengoreksi teori-teori
sebelumnya.
Itulah
agamanya orang Atheis, keyakinannya bersifat “PLIN PLAN”.
Contoh
paling mudah ialah obat. Pada suatu hari, suatu zat obat tertentu diyakini
adalah manjur, aman, dan teruji. Tidak lama kemudian, obat tersebut dilarang
oleh pemerintah karena telah ternyata berbahaya bagi pemakainya.
Dahulu,
para ilmuan meyakini bahwa inti terkecil yang tidak lagi dapat dibelah ialah Atom.
Sampai kemudian, dikoreksi menjadi Proton, Elektron, dan Neutron. Namun, pada
era berikutnya, telah ternyata kesemua itu masih dapat dibelah ke dalam
elemen-elemen yang lebih kecil bernama Quark.
Sangat
tentatif sifat kebenaran dunia sains dan teknologi.
Kekuatan
supranatural, bahkan mampu melampaui hukum-hukum fisika, seolah-olah hukum
fisika tidak tunduk pada feneomena-fenomena supranatural. Sebagai contoh
kekuatan meditatif yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai “ajaib”, hingga
kini tidak mampu dijelaskan secara ilmiah.
Pernah
suatu hari, seorang Atheis yang mengaku sebagai Sarjana Fisika yang paham betul
teori Quantum, teori Relativitas, dan lain sebagainya—seakan paling tahu
tentang alam semesta dan dunia ini, menantang kami selaku Buddhist.
Sayangnya,
mereka keliru mencari lawan, karena Sang Buddha sudah lama memberi tips atau
kiat, cara menghadapi arogansi seorang Atheis.
Secara
panjang-lebar, sang Atheis membanggakan gelar Sarjana Fisika serta buku-buku
sains yang ia miliki. Seolah, dengan mengandalkan sains belaka, mereka adalah
kaum paling superior.
Sejatinya,
mereka kaum paling kering hidupnya, karena memang tidak mengetahui makna hidup
mereka sendiri. Mereka hanya menyerupai bakteri amoeba yang membelah dan
berkembang biak, tanpa tahu untuk apa mereka melakukan “ritual kehidupan”
demikian—tanpa tujuan dan tanpa alasan.
Namun,
ketika kami utarakan khotbah Sang Buddha berikut ini, sang Atheis tidak lagi
menyombongkan gelar akademiknya, atau mungkin bahkan mulai merasa malu atas
kesombongannya sendiri.
“Bayangkan seorang pria yang terkena panah
beracun”, kata Sang Buddha. “Seorang
dokter datang, siap mencabut anak panah dan memberinya penawarnya, tetapi pria
itu menghentikannya.”
''Jangan terburu-buru! Pertama, aku ingin
tahu siapa yang menembakku. Dari kota atau desa mana dia berasal? Aku juga
ingin tahu dari kayu apa busurnya dibuat. Juga, apakah itu busur silang atau
busur panjang?''
“Jelas,” kata Sang Buddha, “orang itu akan mati dan pertanyaan-pertanyaannya
akan tetap tidak terjawab.”
“Saya tidak akan melepaskan panah
ini sampai saya tahu apakah orang yang melukai saya adalah seorang prajurit
yang mulia, seorang pendeta, seorang pedagang, atau seorang pekerja.”
Dia
mungkin juga akan berkata, “Saya tidak
akan melepaskan panah ini sampai saya tahu nama yang diberikan dan nama klan
dari orang yang melukai saya ... sampai saya tahu apakah dia tinggi, sedang,
atau pendek ... sampai saya tahu apakah dia berkulit gelap, coklat kemerahan,
atau keemasan ... sampai aku tahu kampung halamannya, kota kecil, atau kota
besar ... sampai aku tahu apakah busur yang melukai aku adalah busur panjang
atau busur silang ... sampai saya tahu apakah tali busur yang melukai saya adalah
serat, benang bambu, urat, rami, atau kulit kayu ... sampai saya tahu apakah
batang yang melukai saya itu liar atau dibudidayakan ... sampai saya tahu
apakah bulunya dari batang yang melukai saya adalah yang dari burung nasar,
bangau, elang, merak, atau burung lain ... sampai saya tahu apakah batang yang
melukai saya terikat dengan otot lembu, kerbau, lutung, atau monyet.”
Dia
lebih mungkin juga akan berkata, “Saya
tidak akan melepaskan anak panah ini sampai saya tahu apakah batang yang
menyebabkan saya terluka adalah anak panah biasa, anak panah melengkung, anak
panah, bergigi betis, atau anak panah oleander.”
Bila
sang Atheis masih juga memamerkan arogansi dan kesombongan intelektualnya, maka
uraikan saja Khotbah Sang Buddha berikut ini, yang secara berturut-turut adalah
doktrin-doktrin dari Jainisme, Theistik, dan tanpa-penyebab. Dalam tiap-tiap
kasus—aktivitas Tuhan pencipta ataupun tanpa-penyebab—para pelaku menghindari
tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka:
“Para bhikkhu, ada tiga doktrin sektarian ini yang,
ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa
menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak berbuat. Apakah tiga
ini?
(1) “Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan brahmana
yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang
ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh apa
yang telah dilakukan di masa lalu.’
(2) Ada para petapa dan brahmana lainnya yang
menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini –
apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh
aktivitas Tuhan pencipta.’
(3) Dan ada para petapa dan brahmana lain lagi yang
menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini –
apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa
suatu sebab atau kondisi.’
(3) “Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para
petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa
pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu
sebab atau kondisi,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian
para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ Ketika Aku menanyakan hal
ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau
begitu, adalah tanpa suatu penyebab atau kondisi maka kalian mungkin melakukan
pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan aktivitas seksual,
berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berkata kasar, bergosip;
maka kalian mungkin penuh kerinduan, memiliki pikiran berniat buruk, dan
menganut pandangan salah.’
“Mereka yang mengandalkan ketiadaan penyebab dan
kondisi sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk
melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang
tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena
mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan
dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga
diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat
dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke tiga
atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.
“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga doktrin sektarian
itu yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para
bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak
berbuat.
[SUMBER
: Khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi
oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun
2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara.]
Para
Atheis, karena menganut pandangan “NIHILISME”, dengan demikian terjebak kepada
demotivasi untuk menjadi orang baik-baik, dan lebih cenderung menjadi orang
jahat karena tidak meyakini adanya konsekuensi dibalik perbuatan-perbuatan
jahatnya—mengingat Hukum Karma sampai saat kini tidak dapat dijelaskan secara
ilmiah, metoda sainstifik, maupun alat-alat laboratorium maupun teropong
observasi.
Mereka,
para Atheis tersebut, hanya akan terjebak dalam dunia materialistik, yang
dikejar pun hanya sebatas kehidupan materialistik, tanpa akan pernah bergerak
lebih jauh, bagai “katak kerdil dalam tempurung sains yang penuh keterbatasan
dan tentatif sifatnya”.