AZAB, Buat Umat Kristen, kata Muslim. Tapi, Bencana Alam bagi Sang Muslim, adalah COBAAN Tuhan. Standar Ganda umat Muslim

Agamais, namun semakin agamais justru kian tidak bermoral. Agamais tidak identik dengan moralis maupun humanis.

Saat terjadi bencana alam kebakaran hebat di negara Barat, para Muslim yang berdemo di Kedutaan Besar Amerika Serikat berkata lantang kepada jurnalis suatu media yang meliput : “Itu adalah AZAB bagi kafir!

Namun, sang muslim lupa untuk bercermin : apakah negerinya sendiri, setiap tahunnya kekurangan musibah dan bencana alam?

Tidak lama berselang setelah “penghakiman” tersebut diucapkan oleh sang muslim, terjadi kebakaran hebat di berbagai wilayah di Indonesia, dan disaat bersamaan terjadi pula kebanjiran meluas di sejumlah wilayah di Indonesia, dengan merenggut korban jiwa yang tidak sedikit.

Belum lagi kita bicara “kutukan” seperti stunting, demam berdarah, gunung meletus, gempa akibat pergeseran lempeng tektonik, rumah sakit tidak pernah sepi dari pasien, kekeringan, kebodohan akut dengan rata-rata tingkat IQ anak bangsa yang mendekati “disfungsi kognitif”, korupsi berjemaah, hingga kesuburan tanah yang kian menurun maupun produk-produk pangan yang dicemari logam berat, paparan merkuri, hingga racun pestisida melebihi ambang batas.

Kesemua itu, justru mencerminkan betapa moralitas bangsa yang “agamais”—yang konon lebih Arab daripada Arab—ini justru level moralitasnya patut diragukan serta dipertanyakan.

Sang Buddha membagi manusia kedalam tiga kategori:

1. Manusia manusia;

2. Manusia dewa; dan

3. Manusia hewan.

Berkat dogma berisi iming-iming berupa KORUP bernama “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA”, jadilah para agamais tersebut memiliki paradigma berpikir : “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT? ADA PENGHAPUSAN DOSA. MERUGI JIKA TIDAK MENJADI PENDOSA YANG MENCANDU PENGHAPUSAN DOSA!

Ketika suatu bangsa menjadi demikian “agamais”, artinya bangsa tersebut turun martabatnya menjadi bangsa “manusia hewan”—ketika agama yang dipeluk para “agamais” tersebut adalah “Agama DOSA” yang mempromosikan “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins) alih-alih “Agama SUCI” yang mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa.

Terhadap dosa dan maksiat, demikian kompromisik. Namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan, begitu INTOLERAN.

Para agamais tersebut, begitu PEMALAS untuk menanam benih-benih Karma Baik, dan disaat bersamaan terlampau PENGECUT untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri yang telah pernah dan masih akan sedang menyakiti, melukai, maupun merugikan individu-individu lainnya.

Untuk menghibur diri serta masih pula berdelusi sebagai kaum paling superior yang merasa berhak menghakimi bangsa lain dengan menjadi “polisi moral”, para agamais tersebut berspekulasi dengan menyebut bahwa musibah yang dialami bangsa “kafir” sebagai “AZAB”. Sementara musibah tahunan yang mengguncang dalam negeri sang agamais itu sendiri, diklaim sebagai sebatas “COBAAN” dari Allah.

Sang Buddha pernah bersabda, membuat kita merasa geli terhadap tingkah-laku bangsa agamais pemeluk “Agama DOSA” (PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA), yang berdelusi sebagai kaum paling superior tersebut:

197 (7) Hujan

“Para bhikkhu, ada lima rintangan pada hujan ini yang tidak diketahui oleh para peramal cuaca, di mana mata mereka tidak dapat menjangkaunya. Apakah lima ini?

(1) “Para bhikkhu, elemen panas di bagian atas langit menjadi terganggu. Karena hal ini, awan-awan yang telah muncul menjadi berhamburan. Ini adalah rintangan pertama pada hujan yang tidak diketahui oleh para peramal cuaca, di mana mata mereka tidak dapat menjangkaunya.

(2) “Kemudian, elemen udara di bagian atas langit menjadi terganggu. Karena hal ini, awan-awan yang telah muncul menjadi berhamburan. Ini adalah rintangan ke dua pada hujan …

(3) “Kemudian, Rāhu raja asura mengambil air dengan tangannya dan membuangnya ke samudra. Ini adalah rintangan ke tiga pada hujan …

(4) “Kemudian, para deva hujan menjadi lalai. Ini adalah rintangan ke empat pada hujan …

(5) “Kemudian, umat manusia menjadi tidak baik. Ini adalah rintangan ke lima pada hujan …

“Ini adalah kelima rintangan pada hujan yang tidak diketahui oleh para peramal cuaca, di mana mata mereka tidak dapat menjangkaunya.”

SUMBER : khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press.